Hidangan yang tersaji oleh Mbok Lili di atas meja, tidak sedikit pun menggugah selera Rasya untuk menyantap sarapan pagi ini. Segelas susu cair masih utuh belum ia minum. Bahkan, sepiring nasi goreng pedas kesukaannya pun, tidak ingin ia sentuh. Sepertinya mood Rasya kini dalam fase sangat buruk. Secara, tadi malam ia pulang larut langsung disugukan kata-kata pedas berisikan gertak sambal dari Reza. Rasya tidak bisa tidur nyenyak semalam, karena memikirkan perihal tersebut.
Wajah pucat tanpa polesan apa pun tampak jelas, pertanda keadaan pemuda itu tidak cukup baik. Rasya menopangkan dagu dengan sebelah tangan, pikirannya kosong. Tampaknya ia tengah melamun. Sampai tidak menyadari kalau Mbok Lili yang sejak tadi menata makanan di atas meja, tengah memandangnya sendu. Mbok Lili merasa prihatin, melihat kondisi sang majikan yang hanya diam tanpa gairah. Ibarat pepatah mengatakan, Rasya bak hidup segan mati tak mau. Sesekali Mbok Lili bertanya, tapi Rasya pun menjawab tidak lebih dari kata singkat.
"Den, makan atuh nasi gorengnya," kata Mbok Lili. Sekali lagi mengingatkan Rasya untuk menyantap sepiring nasi goreng tersebut.
Rasya mengangguk. Lantas tangannya bergerak, mengambil sendok di dalam piring nasi goreng dan mengaduk-aduknya. Namun ia tetap enggan untuk melahapnya. Mbok Lili mendesah, tidak ingin menganggu acara melamun majikannya, wanita paruh baya itu pun beranjak dari ruang makan, pergi ke dapur untuk menyambut setumpuk piring-piring kotor yang harus ia cuci.
Dering ponsel berbunyi di atas meja. Terlihat ada pesan masuk tertera di layar ponsel tersebut. Rasya meraih ponsel itu, lalu membukanya. Ia tersenyum tipis, setelah tahu siapa orang yang mengiriminya pesan.
From : Alana
Sya, nanti malam lo bisa datang enggak, ke acara fashion show nigt mode?
To : Alana
Fashion show nigt mode?
From : Alana
Iya, lo bisa,'kan? Acara dimulai jam tujuh. Gue tungguh.
To : Alana
Lihat nanti, ya. Gue enggak bisa janji.
Rasya meletakkan ponselnya kembali di atas meja, sesudah membalas pesan dari Alana. Rasa ragu untuk datang ke acara fashion show yang dimaksud gadis itu, semakin kuat. Ihwalnya, Rasya tahu, Alana bekerja di perusahaan milik Vania, teman dekat Reza. Jika ia datang ke sana, kemungkinan besar Reza pasti ada di sana dan melihatnya. Rasya tidak mau itu terjadi. Mengingat, ancaman telak Reza semalam untuknya tidak main-main. Rasya cukup paham watak Reza, memiliki sifat jemawa, nekat, dan tidak ada kata belas kasihan, apabila ia melanggar suatu kesepakatan tersebut.
"Gue harus gimana?" gumamnya pelan.
***
Lepi menyeruput secangkir kopi hangat. Duduk santai di sofa dalam ruangan kantor yang kedap suara. Sesekali pemuda jangkung itu melirik jam di dinding, menampilkan jarum pendek ke angka 11 dan jarum panjang ke angka 12. Rasa bosan mengelabui diri Lepi, sendiri di dalam ruangan itu selama tiga jam, menunggu seseorang sampai kini belum menampakkan batang hidungnya.
"Lama amat, sih, datangnya!" cerca Lepi semakin kesal.
Majalah tergeletak di atas meja kaca ia sambar, lalu membuka lembaran demi lembaran halaman majalah itu tanpa berniat untuk membacanya. Rasa bete kian melanda, menunggu terlalu lama suatu hal yang paling anti bagi Lepi. Sampai majalah pun di tangannya menjadi korban bantingan pelan olehnya.
"Kalau bukan teman, udah gue pergi dari tadi."
Berselang tidak lama Lepi melontarkan ocehan kekesalannya, pintu kaca digerek seseorang. Lepi menoleh, wajahnya masam. Sementara orang yang baru saja masuk hanya bersikap tak acuh. Lantas mendekat pada pemuda itu, seraya menjatuhkan bokongnya mendarat ke sofa panjang tersebut.
"Lama amat, Sya, datangnya? Capek gue nungguin lo dari jam delapan tadi!"
"Tapi lo nunggunya enggak nyampe pingsan,'kan?" Pemuda tak lain Rasya menyahut dengan ekspresi wajah biasa-biasa saja. Seolah tidak merasa bersalah, kalau Lepi betul-betul menunggunya terlalu lama.
"Sialan, lo!"
"Sorry ... sertifikatnya udah lo urus?"
"Iya, tapi masih di notaris. Lo jangan khawatir. Btw ... kakak lo belum tahu masalah lo membeli ruko gue?"
Rasya menggeleng. "Dia enggak perlu tahu."
"Hmm ... gitu?"
"Kalau ada tamu, lo suguin dong, air minum. Enggak sopan banget," ujar Rasya. Sembari memicit pelipisnya.
Lepi mendengus sebal. "Sudah terlambat datang, enggak sesuai jam yang dijanjikan. Ngatain gue enggak sopan lagi. Mau minum apa?"
"Apa aja, asalkan jangan racun lo kasih ke gue," jawab Rasya asal.
"Enggak. Paling sianida gue masukin ke minuman lo," timpal Lepi. Lalu berdiri menuju meja kerjanya, menarik gagang telepon dan menekan nomor untuk ia hubungi sampai terdengar suara dari seberang sana. "Novi, tolong antarkan segelas kopi hangat ke ruangan saya."
"Kalo gue mati, jangan harap hidup lo bisa tenang," ujar Rasya ketus.
Lepi tertawa. Meski perkataan Rasya terlalu ceplas-ceplos, Lepi jusru menganggapnya hanyalah sebuah banyolan belaka. Rasya yang begitu frontal, tidak peduli pada tempatnya ia berucap.
"Kalo lo mati, gue malah jadi kesepian," timpal Lepi. Masih dengan tawa hingga menggelitik perut datarnya.
"Jijik gue dengarnya, lo ngomong gitu."
"Emang kenyataannya. Tanpa lo, hidup gue di dunia ini hampa banget, Sya."
Rasya mendesis. Sekaligus bergidik, tata bicara Lepi yang tidak tahu aturan membuat tengkuknya seketika merinding.
"Dasar homo."
"Terserah lo, lah, mau bilang gue apa." Lepi tertawa terbahak-bahak. Lantas membawa kakinya melangkah ke arah sofa panjang tersebut. Kemudian duduk di samping Rasya yang kini menunjukkan wajah sedatar mungkin.
"Gue datang ke sini bukan lihat lo tertawa kayak orang gila. Sekarang cepetan lo mau ngomong apaan? Gue enggak bisa lama-lama berada di ruangan lo yang bau dan bikin sesak napas gue kambuh."
"Sabar, lo terburu-buru banget. Minumannya juga belum datang."
"Gue sibuk."
"Sibuk apaan? Paling cuma melukis, melamun, dan tidur doang," tukas Lepi.
"Gue ada janji sama orang."
"Siapa?"
"Lo enggak perlu tahu!"
Lepi terdiam. Daripada membuat Rasya bertambah kesal, ia pun mulai membicarakan pokok soal yang ingin ia sampaikan pada Rasya. Tampak serius, secara detail Lepi mengusut permasalahan tersebut. Rasya menyimak, mencoba memahami apa yang disampaikan pemuda jangkung itu. Hingga pintu kaca terbuka memperlihatkan seorang gadis memakai seragam biru dengan nampan berisikan segelas kopi di tangannya.
"Ini Pak kopinya," ucap gadis itu.
"Terima kasih, Novi."
Gadis itu mengangguk sambil tersenyum. Lalu mengundurkan diri keluar dari ruangan itu.
"Lo udah pikirin matang-matang buat ngajakin dia kerja sama?" tanya Rasya. Setelah mendengar penjelasan Lepi sembari mengambil kopi dan menyeruputnya.
"Sebenarnya gue ragu, sih. Badget juga enggak sesuai yang dia tawarkan."
"Kalo menurut gue, mendingan enggak usah. Gue bisa usaha sendiri tanpa orang lain ikut campur masalah pekerjaan gue," kata Rasya.
"Gue, sih terserah lo aja. Apa pun yang lo lakukan, gue selalu mendukung lo, asalkan lo senang."
"Thank's."
"Your wellcome."
________________________________
02.03.19

KAMU SEDANG MEMBACA
Rasya Dan Alana 2
Ficción GeneralCover By @rishapphire ( risha ) Sebelum membaca squel ini. Ada baiknya baca dulu Rasya dan Alana satu, Ya .... "Cinta nggak butuh banyak syarat. Tapi cinta butuh kesetiaan dan kejujuran." ~ Alana. "Kalau gue mati, apa lo akan melupakan kenangan kita...