07

816 109 21
                                    


Kernyitan alis bertautan hingga menimbulkan kerutan di dahi sosok tampan, yang sedang serius mempelajari lembaran kertas di dalam map merah itu dengan teliti. Ia membaca secara cermat, terdapat deretan tulisan kecil dan berupaya untuk memahami apa isi dari tulisan dalam lembaran kertas tersebut.

Rasya melirik sejenak dua pemuda yang duduk berhadapan dengannya, kemudian kembali lagi fokus pada kertas yang ia pegang. Jarak antara tempat duduk dua pemuda itu dan Rasya terpisah oleh meja kaca bulat terletak di tengah. Suasana sore hari ini serentak menghadirkan hujan gerimis, yang mengalun bagaikan irama denting piano menuaikan sebuah nada demi nada lembut, hingga mengusik gendang telinga beberapa pengunjung cafe shop milik Reno, sedang asyik menikmati secangkir kopi hangat beserta aneka cemilan.

Dua pemuda itu tak lain adalah Lepi dan Reno. Mereka berdua menatap Rasya yang masih berkutat dengan map merah. Lepi paham betul sosok Rasya. Pemuda berwajah dingin itu perlu mempelajari lembaran kertas ia berikan terlebih dahulu agar tidak tercipta simpang siur dari isi tersebut. Lagi pula, Lepi membuatnya pun berdasarkan perincian yang sesuai, tidak ada penambahan atau ditambahkan.

"Bagaimana, Sya?" tanya Lepi sembari menyesap secangkir kopi hangat yang sempat ia abaikan beberapa detik lalu di atas meja.

"Oke, nanti gue transfer sesuai nominal yang lo buat di kertas ini," ujar Rasya. Map merah ia letakan kembali di atas meja.

"Enggak masalah. Gue udah cukup senang akhirnya lo mau membeli ruko gue, ya ... walaupun harga yang lo tawarin itu, enggak sesuai dengan pengeluaran gue yang udah merenovasi tempatnya. Coba lo bayangin, berapa uang yang harus gue keluarin itu enggak sedikit. Gue enggak dapat untung dari hasil jual beli. Kalo balik modal iya ...."

Rasya berdecih. "Lo mau itung-itungan sama gue? Salah lo sendiri, kenapa lo bilang terserah gue mau kasih berapa yang penting tempat lo terjual. Ingat enggak, lo? Masih untung gue yang beli. Jadi jangan banyak protes. Lagian tempat lo itu sangat kecil ruangannya, sempit pula!"

"Gue enggak protes. Gue, 'kan cuma bilang aja. Ya, gue ingat kok apa yang gue bilang." Lepi menyanggah penuh penekanan dengan senyum tipis terlukis jelas pada parasnya yang juga cukup tampan. "Lo juga jangan salah kaprah mulu sama gue, demi lo yang gue sayangin dan gue cintai ya ... gue rela banget kok rugi sedikit. Apa sih yang enggak ada buat lo, ikhlas gue," ucap Lepi lagi dengan tawa lebarnya.

"Jijik banget gue denger lo ngomong gitu. Jangan-jangan lo homo lagi," celetuk Rasya sarkatis. Sedangkan Reno yang sejak tadi hanya menjadi pendengar setia pembicaraan mereka, sontak saja tawanya meledak bagaikan bom mengeluarkan api sedashyat mungkin.

Lepi mendengus, tak terima ucapan Rasya yang mengatainya homo begitu menohok hati. Harga diri Lepi seakan jatuh telak sebagai penyandang pemuda tertampan bagi kaum hawa yang memuja-mujanya. Terus-terang saja Lepi tak suka, perkataan Rasya itu cukup pedas tanpa berpikir lagi jika orang-orang di sekelilingnya merasa tersinggung. Untunglah Lepi tahu watak Rasya terbilang kurang stabil. Apa pun tutur kalimat Rasya keluarkan, Lepi hanya mengelus dada sabar dengan sertamerta menahan gejolak amarahnya. Dua tahun Lepi mengenal sosok Rasya. Pertemuan mereka terbilang unik, ketika itu Reno tengah berlibur di London bersama Lepi dan berkunjung ke rumah Rasya. Tanpa basa-basi Reno mengenalkan Lepi pada Rasya,  mengajaknya mengobrol, bersenda gurau, sampai akhirnya Lepi dan Rasya menjadi sahabat. Lantas, Lepi pun sering bolak-balik Jakarta-London yang kebetulan pemuda 23 tahun itu juga memiliki usaha pribadi di sana.

"Gue enggak homo," ujar Lepi ketus.

"Kalo gitu lo gay," timpal Rasya.

"Gue juga bukan gay."

"Berarti lo cowok jadi-jadian."

"Sialan lo, Sya, asal ngomong aja!"

"Suka-suka gue," celetuk Rasya tanpa sedikit ada rasa bersalah dengan ucapannya tersebut.

"Ckk ... gue ini ganteng, Sya. Kalaupun gue gay ... gue pilih-pilih juga kali. Dan gue akan jadi seme-nya," ujar Lepi sembari menautkan alisnya. "Kayak lo, gue suka."

Rasya mendesis. Kalimat terakhir Lepi membuat tubuh Rasya jadi merinding sampai kedalam-dalamnya. Lepi tergelak ketika menyadari perubahan wajah Rasya tampak menyembur merah seperti kepiting rebus.

"Kalo gitu gue enggak mau deket-deket lo lagi!" seru Rasya menatap Lepi dengan tajam.

"Hahaha ... gue bercanda Rasya. Ya enggaklah, gue ini cowok normal masih tertarik dengan cewek cantik dan sexi kali," ujar Lepi disela-sela tawa sampai harus memegang perut datarnya.

"Gila lo," desis Rasya.

"Eh, btw perbedaan homo dan gay apa?" tanya Lepi memasang wajah polos dan pura-pura tidak mengerti. Namun, sebenarnya ia tahu kalau kata homo dan gay adalah satu artian tapi pengucapan kalimatnya yang berbeda.

"Enggak tahu, tanya aja sama Reno."

Merasa namanya disebut, Reno berpaling ke arah Rasya dan Lepi bergantian. Pemuda kelahiran di bulan Juni itu tak mengerti maksud percakapan mereka barusan. Reno kurang fokus karena sibuk mengisi perutnya dengan berbagai makanan di hadapannya.

"Apa?" tanya Reno dengan mimik bingung.

"Enggak ada apa-apa," jawab Lepi kikuk sambil mengambil minuman kemudian meneguknya sekali habis.

***

Tak dipungkiri lagi apabila rasa kerinduan pada seseorang kian menggetar di dalam dada, seperti ada magnet terus melekat pada besi yang kokoh. Membaur dalam perasaan setelah lama sosok itu menjauh dari pandangannya. Hal itu selalu dirasakan Rasya saat ini. Ia tak bisa menyangkal ketika rasa rindu pada Alana makin mengerat dalam jiwanya begitu kuat.

Sudah satu minggu Rasya berada di Jakarta. Namun, Rasya tak pernah berniat untuk bertemu Alana. Sosok gadis yang dulu selalu mengisi hari-hari indahnya dan menjadi sandaran hati dikala ia jatuh dalam kerapuhan hidup.

Namun, Rasya memilih untuk tidak bertemu sebelum hatinya benar-benar mantap, dan berupaya untuk tidak masuk kembali ke dalam gemelut asmara terhadap gadis itu, walaupun ia sungguh menginginkannya. Saat ini Rasya bimbang, pikirannya terisolasi karena satu kenyataan pahit dalam hidupnya, senantiasa tersimpan rapat tanpa ada satu pun orang lain tahu.

Selama Rasya berada di London banyak sekali kejutan tidak disangkankan hadir dengan cara mengantri. Cobaan hidup terus mengalir Rasya hadapi. Namun, itu semua tidak membuat ia jatuh dalam ketepurukan. Rasya sungguh cerdas menyimpan semuanya, karena ia tak ingin ada orang lain menganggapnya sebagai pemuda lemah dan rapuh.

Rasya menatap bingkai foto yang ia dapatkan dari dalam laci nakas kecil di samping tempat tidur. Wajah Rasya terlukis lirih, saat melihat paras cantik yang telah lama tak pernah lagi muncul semenjak ia pergi.

Rasya tak menampik kalau dirinya masih merindukan sosok gadis di foto itu. Ingin rasanya Rasya datang dan mencurahkan segala rasa rindu yang selama ini dipendamnya. Rasya ingin seperti dulu lagi membangun kembali mahkota cinta yang sempat pupus bersama gadis itu. Tapi, sekarang harapan untuk bersama dengan gadis itu sudah hancur dikarenakan ada sesuatu yang tak bisa dijabarkan.

"Lo apa kabarnya? Maafkan gue Alana. Gue belum bisa untuk bertemu lo, walaupun sebenarnya ... gue sangat ingin."

Buliran air mata lolos sudah dari kedua netra Rasya. Hatinya sakit ketika ia harus merasakan posisi seperti ini lagi. Banyak perkara muncul begitu hebat dalam hidupnya, berawal dari kisah klasik cintanya dengan Alana dulu dibidik oleh orang-orang berhati congkak hingga harus terpisah.

"Maafkan gue Al---"

Srek

Rasya terkejut dan langsung menoleh ke samping, ketika bingkai foto dalam genggamannya direbut oleh seseorang.

"Kak Reza ...."

_____________________________

07.08.18

Rasya Dan Alana 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang