13

536 66 11
                                    

Rasya membuka pagar besi yang tidak terlalu tinggi. Melangkahkan kakinya masuk menuju sebuah rumah mewah bergaya klasik ala Korea. Senyum manis terukir kala Rasya mendapati sosok bocah kecil berjenis kelamin laki-laki duduk di lantai teras rumah sambil memasang wajah cemberut, saat Bik Asih menyuapkan nasi ke mulutnya.

Rasya menghentikan langkahnya. Memandangi wajah gembul bocah empat tahun itu tampak menggemaskan. Rasya menggeleng, memerhatikan aksi mengambek bocah kecil itu membuat kewalahan Bik Asih memberinya makan, baru satu suap hendak mendarat ke mulutnya, bocah itu malah mendorong sendok tersebut hingga mengenai wajah Bik Asih.

Tingkah bocah itu ingin sekali Rasya mencubit pipinya. Kasian dengan Bik Asih, lantas Rasya mendekati mereka. Sadar dengan kedatangan Rasya, bocah kecil itu langsung berdiri dan berlari mendekatinya.

"Om Lasya, Galih enggak mau makan," adu bocah kecil itu bernada cadel, sembari memeluk kaki Rasya.

Rasya berjongkok, menyamakan tubuhnya pada bocah kecil yang tak lain bernama Galih. Rasya mengusap pucuk rambut Galih penuh sayang.

"Kenapa?"

"Kangen mama. Galih selalu sendili telus, papa kelja telus," ucap Galih. Air matanya mulai menetes. "Mama kenapa enggak pulang-pulang, Om? Apa mama sama papa masih malahan, Om?"

Rasya terdiam. Pertanyaan bocah empat tahun ini begitu sulit untuk ia jawab. Sesungguhnya Rasya tahu bagaimana persoalan orang tua Galih. Tidak mungkin Rasya berkata jujur pada bocah itu, Rasya tidak ingin membuat Galih sedih.

"Mama Galih,'kan juga sibuk kerja. Cari uang buat Galih. Begitu juga dengan papa Galih. Katanya Galih mau dibelikan mainan yang banyak." Lagi dan lagi, Rasya harus memberi alasan dengan kebohongan. Ini kesekian kalinya Galih mempertanyakan kapan orang tuanya bisa menemaninya, saat Rasya berkunjung. Sebab itu, jika ada waktu senggang Rasya meluangkan jadwal kosongnya untuk datang dan menemui Galih.

"Iya, Om. Galih mau dibelikan mainan sama papa yang banyak," ucapnya dengan binar mata tampak lucu, ketika mendengar kata mainan dan melupakan kesedihannya tadi.

Rasya menoleh ke arah Bik Asih. "Bik, Kak Rezky belum pulang?"

"Kata bapak, hari ini pulang malam lagi. Karena dokter yang bertugas malam ini enggak masuk, Tuan," jelas Bik Asih.

Rasya mengembus napasnya. Lantas menatap Galih lagi. Ada rasa iba terpancar pada diri Rasya pada Galih. Beberapa bulan ini kepelikan rumah tangga sang kakak ditimpa badai dasyat.

Rezky, kakak kedua Rasya. Sudah menikah dan mempunyai seorang anak. Kini pernikahan sang kakak memasuki tahun ke lima. Namun siapa sangka, dalam beberapa bulan ini biduk rumah tangga Rezky yang Rasya tahu tidak seharmonis seperti dulu. Rasa ego keduanya sama-sama teguh, mempertahankan prinsip sampai mengambil keputusan akhir yang seharusnya tidak boleh mereka lakukan. Yaitu, berpisah. Tanpa disadari Galih menjadi korban keegoisan orang tuanya.

Galih mengingatkan Rasya dulu. Saat orang tuanya sibuk bekerja, ia hanya ditemani pengasuhnya dan beberapa pelayan di rumah. Kesepian, tidak ada yang menemaninya ketika ingin makan bersama, mengajarinya belajar tentang hal yang ia tidak ketahui, apalagi di hari ulang tahun pun orang tuanya sama sekali tak pernah mengingatnya. Tapi, Rasya selalu mengerti apa yang orang tuanya lakukan. Bekerja siang dan malam demi memenuhi kebutuhannya agar terus tercukupi. Walaupun di hatinya sering menangis, mengharapkan orang tuanya meluangkan waktu untuk bersamanya.

Galih masih beruntung. Meski Rezky sibuk bekerja, memenuhi kewajiban sebagai dokter, tetapi Rezky tidak pernah mengabaikan anak sematawayangnya. Bila tugas sebagai dokter menangani pasien-pasiennya sudah selesai, Rezky langsung pulang ke rumah.

"Bibik ke dalam aja, Galih biar aku yang nemenin."

"Asyik, Om Lasya mau nemenin Galih?"

Rasya mengangguk seraya tersenyum. Galih berjingkrak senang, momen inilah yang ditunggu bocah kecil berbadan bonsor itu. Rasya tahu apa yang Galih inginkan, menemaninya sambil bermain bersama menjelang ayahnya pulang.

"Galih senang?" Rasya mencubit pelan hidung Galih.

"Iya, Om," ucapnya antusias.

Rasya berdiri, lalu menggendong Galih dan membawa kakinya melangkah masuk ke dalam rumah itu.

***

Lepi mengamati sebuah liontin perak bergambar kelinci. Matanya menyipit, sinis, seakan tersirat makna dibalik benda berbentuk bulat itu yang ia pegang. Wajahnya sedih, ketika teringat sesuatu yang berhubungan dengan benda tersebut. Lepi tidak bisa melenyapkan rasa aneh yang terus saja memberonta hidupnya. Walau ia tahu, rasa ini terlarang ia simpan. Namun, kendati tak mudah ia lawan.

"Gue selalu menyimpan ini. Kelak lo akan tahu, dan mengingat semuanya."

Lepi, ternyata sosok misterius dan penuh teka-teki. Tidak ada yang bisa menebak, apa yang lelaki tampan itu sedang pikirkan. Kalimat taksa baru tercetus dari mulutnya, terkait untuk siapa yang ia maksudkan.

"Sembilan tahun, gue nantikan itu. Ketika lo pindah sekolah hanya karena gue berbeda, betapa sakitnya hati gue! Dan sekarang gue berhasil menemukan lo, gue ... Surya Pranata Lepi Atmaja. Memastikan lo dalam genggaman gue."

Lepi melemparkan liontin tersebut ke sembarang arah. Wajahnya memerah, matanya berkaca-kaca, setetes kristal bening akhirnya keluar juga. Lepi memandang wajahnya sendiri di cermin. Tangannya memegang dada kanan yang tiba-tiba saja terasa nyeri. Tubuhnya bergetar hebat karena menahan emosi yang siap akan dileburkan. Namun ia tahan. Mencoba menetralkan rasa sakit yang selama ini terbelenggu dalam dirinya.

"Lo, enggak akan bisa lari lagi dari gue, enggak akan pernah bisa," ucapnya tegas, penuh keyakinan. Walau emosinya sudah tersulut tanpa bisa untuk ditahan lagi.

_________________________________

29.05.19

Rasya Dan Alana 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang