12

700 76 33
                                    

Tibalah pada puncaknya. Acara fashion show nigt mode diselenggarakan PT Vigo Grup akan segera berakhir di sebuah hotel berbintang lima. Semua berjalan sukses, tidak ada sedikit kesalahan apa pun. Dari segi penataan panggung, dekorasi, penyuguhan model-model cantik yang berlenggak di atas panggung dengan mengenakan hasil karya Alana, cukup terkesan spektakuler. Semua tamu undangan pun tampak puas. Ada beberapa kolega Vania yang datang dari berbagai kota menginginkan semua design Alana untuk diproduksikan ke luar negeri. Salah satunya seorang pengusaha asal dari Bali. Vania baik pun Alana terlihat senang. Suatu kehormatan bagi mereka, pengusaha terkaya nomor satu seantero kota Bali itu mengajak bekerja sama. Tanpa berpikir panjang lagi, Vania sekaligus pemilik perusahaan langsung menyetujuinya, begitu pun dengan Alana.

"Saya sangat bangga dengan kerja keras kamu. Baru beberapa detik saja, banyak tamu yang menganggumi karya-karya kamu. Alana, kamu hebat sekali," puji Vania tersenyum lebar.

Alana tertawa tipis. "Terima kasih, Bu Vania. Ini berkat Ibu juga, yang sudah mempercayai saya mengerjakan project ini sampai tuntas. Saya pun juga dibantu oleh Pak Aidan."

"Kalian hebat, pokoknya. Lalu, di mana Aidan?"

"Dia tadi minta izin sama saya untuk pulang cepat. Katanya sih, dia mau menemani ayahnya di rumah sakit. Ayahnya mau dioperasi."

"Oh, begitu, ya." Vania menganggukkan kepala. Matanya menyapu ke sekeliling arah, tamu undangan masih ramai dan belum ada yang pulang. Kemudian, matanya tertuju pada sosok pria tinggi memakai jas hitam berdiri tak jauh beberapa meter tempat ia berdiri. Pria itu melambaikan tangan kepada Vania. Vania pun juga membalas lambaiannya, sembari tersenyum lebar.

"Alana, saya menemui Pak Reza dulu, ya."

Alana mengangguk. Matanya juga ikut tertuju pada sosok tersebut. Pria itu mengalihkan pandangan dengan mimik datar ke arah Alana. Alana tertunduk. Sedikit takut melihat tatapan penuh arti dari wajah pria itu. Segera saja Alana menjauh, berjalan cepat keluar dari ruangan itu. Ia melirik jam pada pergelangan tangannya. Tanpa ada yang menyadari, ada sosok pemuda berkumis memakai coas, memakai topi hitam menutupi helaian rambutnya. Pemuda itu sejak tadi duduk di kursi paling pojok dekat pintu masuk ruangan ini, sambil memerhatikan Alana.

Alana berdiri di lobi hotel. Rasa gelisah mengelabui dirinya, sebab orang yang ia nantikan sejak tadi belum menampakkan batang hidungnya. Wajah Alana terbingkai sedih. Padahal, tadi pagi ia memberi pesan singkat pada orang itu meminta untuk datang di hari pentingnya ini. Namun, orang yang dimaksud tidak kunjung datang juga.

"Rasya benar-benar enggak datang," ucapnya lirih.

Alana melangkah keluar. Untuk kembali ke dalam ruangan itu, tidaklah mungkin. Karena di dalam sana Alana ingin menghindari kontak mata dengan Reza. Ia takut bila Reza menatapnya lagi tanpa menunjukkan ekspresi sama sekali. Selalu dingin, mata yang tajam, bahkan tidak pernah bersikap ramah padanya. Lebih baik ia di sini, sampai semua tamu undangan sudah pulang.

"Alana ...."

Sebuah tepukan lembut mengalihkan tubuh Alana ke belakang dan mendapati sosok pemuda berkumis.

"Iya, Anda siapa?"

Pemuda itu membuka topi, lalu ia melepas kumis yang menempel di sudut bibirnya. Teryata cuma kumis palsu.

"Gatal banget," eluh pemuda itu, sambil menggosok sudut bibirnya yang terasa gatal.

Alana memelototkan matanya, saking tidak percaya bahwa orang di depannya ini, ialah sosok yang ia tunggu kehadirannya.

"Rasya? Lo ...." Alana tidak dapat berkata apa-apa. Ia sungguh pangling, rasa bahagia mulai terpancar di dalam dirinya.

"Apa? Gue selalu nepatin janji buat datang ke acara yang paling membosankan ini."

Rasya Dan Alana 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang