2%

695 47 2
                                    

Bunuh saja dia ketika tak ada yang peduli.
Siapa sangka itu akan terjadi nanti.
Bila sudah tepat.
Tunggu saja!
Kau yang akan mati.
_________

Pasha sedari tadi hanya melamun, memikirkan Ingha tentunya. Dirinya sedang memikirkan bagaimana cara membantu Ingha kalau Ingha tidak mau memberitahu apa yang harus Pasha bantu?

Kan aneh.

Ruang kelas XI IPA-1 sangat sepi, hanya suara Bu Hani saja yang terdengar sedang menerangkan pelajaran. Pasha tak terlalu peduli apa yang Bu Hani jelaskan, ia hanya terfokus menatap keluar jendela.

Pasha semakin menajamkan matanya, dia melihat Ingha sedang berbicara padanya dari luar jendela.

Sedang apa Ingha disana?

Apa yang dia katakan?

Pasha yang penasaran hanya terus menyipitkan matanya untuk melihat Ingha.

"Dia punya dendam, jadi tolong aku."

Pasha bingung, apa yang Ingha katakan?

Ia terus memikirkan itu dalam benaknya. Ketika Pasha berbalik ingin menatap jendela lagi, Ingha sudah menghilang. Mata Pasha membulat, sedikit kaget. Membuat jantungnya berdetak lebih cepat, ia mulai merinding.

"Apasih?" Umpat Pasha pada dirinya sendiri.

***

"Rel, hp lo mana? Coba sini gue pinjem." Pinta Eva sedikit memaksa.

Raut wajah Aurel berubah jengkel, "Apaan sih? Lo kan punya hp juga. Berasa paling miskin banget." Tandas Aurel.

"Ah pelit lo, tapi gapapa. Yang kenapa-kenapa ya si Gita itu, nangis mulu. Kenapa coba?" Tanya Eva sedikit penasaran, ya memang dari tadi Gita menangis sampai matanya benar-benar terlihat bengkak.

Eva langsung menghadap kebelakang, tepat nya Gita duduk di belakang kursinya sendiri. "Git, ta, git, ta."

Aurel menatap kearah Eva, sepertinya ia memang harus bersabar dan tidak boleh emosi, "Va." Panggilnya.

"Ya?" Sahut Eva sambil berbalik dari menatap Gita menuju menatap Aurel, lalu berbalik lagi menatap Gita.

Aurel mulai jengkel lagi, "Lo kenal si Dirga engga?" Tanya Aurel.

Kali ini Eva menatap Aurel sambil menopang pipinya, "Mungkin tau, kayak pernah denger."

Eva tersenyum jahil, "Kenapa? Naksir lo sama si siapa namanya? Gadir? Kek pernah kenal. Lupa tapi."

"Bukan gue, tapi Pasha." Jelas Aurel.

"Oh Pasha, tumben. Udah normal dia? Suka sama cowok." Eva tersenyum memaklumi, "Biasa ya, faktor remaja perbucinan." Masih menopang dagu sambil menahan tawa.

Aurel menyeringitkan dahinya, "Dih? Iya juga ya, tumben waras va."

"Beras? Lo mau beras pas pelajaran gini? Aduh aneh rel, autis." Yang diajak berbicara hanya tersenyum sabar, memaklumi manusia yang ada di hadapannya sekarang.

ArwahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang