08. Hell

4.6K 780 340
                                    

Langkahnya terburu-buru seakan tengah diburu waktu. Beberapa mahasiswa yang kebetulan satu trotoar dengannya memilih menyingkir; terlihat memberi akses lebih pada sebentuk daksa dengan tungkai-tungkai yang berpijak tak seimbang. Semuanya tahu bahwa ada yang salah dengan kaki iblis tersebut, sebab meski berusaha berjalan normal, ada cacat yang mereka temukan dari celah langkahnya; kaki kiri sedikit tertinggal dan nampak lebih gemulai menyentuh dasar trotoar.

Kara mengabaikan itu; tatap-tatap heran serta nyeri-nyeri pada kakinya akibat beling yang semalam ia injak dengan sengaja. Dua hal yang membuat gadis itu memijak dengan tempo langkah lebih cepat. Pertama, dirinya harus segera menemukan Jukyung, kemudian memberi pelajaran pada perempuan sialan itu. Kedua, Kara mengejar waktu sebelum Kim Iblis Taehyung tiba di universitas dan merusak niatnya seperti biasa. Namun, sepertinya tidak, sebab Kara menemukan lelaki tua itu masih teronggok mengenaskan tanpa kesadaran di ruang tengah pagi tadi, bersama beberapa botol soju yang tandas tanpa isi.

Oh, jadi, semalam si iblis itu sedang stres juga?

Pada persimpangan dekat kantin, Kara menghentikan langkah; mengatur napas dan menggerakan jari-jari kakinya yang terbungkus kaus kaki basah. Lukanya pasti berdarah lagi, dan Kara tidak ingin ambil pusing dengan pekat merah yang mungkin akan membuatnya merutuk dalam hati. Sekarang misinya hanya menemukan Jukyung dan menghabisi perempuan laknat itu. Namun, dimana Kara harus mencarinya?

Siapa yang harus Kara ajak bicara sementara beberapa manusia yang tak sengaja melihatnya justru kabur dengan segera? Bahkan untuk menyungging tawa miris pun tak akan bisa; tak berguna sementara Kara mengetahui semesta menghukum dirinya dengan itu. Bertekad penuh, gadis itu kembali menuai langkah menuju kelas dan mencari tujuannya.

Namun sial sekali, pada langkah ketiga Kara merasakan sesuatu yang robek dan pecah pada kaki kanannya. Sepertinya luka yang tadi pagi hanya menganga biasa semakin tertawa lebar di bawah sana. Komplit sekali. Kini, kedua kakinya mengalami cedera yang teramat sialan. Tidak bisa, dia harus kembali. Sekarang, seluruh tubuhnya pun terasa ikut mengutuk dirinya. Apa yang bisa Kara lakukan setelah dua pilar tubuhnya lapuk luar biasa?

Koridor sepi, dan itu adalah kesempatan bagus baginya untuk menutupi cacat yang ia alami. Kara melangkah setengah berlari, mengulum rapat dua labiumnya sembari mengadu gigi dengan erat. Dua tangannya ikut terkepal begitu merasakan kakinya memaksa untuk ambruk secepatnya. Luka-luka di sana pasti semakin mengaga, dan Kara tidak mengerti bagaimana harus bicara pada sahabatnya itu agar berhenti menyiksa.

Gadis itu berbelok cepat ke arah toilet, mengubur diri di dalam sana. Dan menggigit bibir dalamnya hingga ikut pecah. Demi Tuhan, rasanya sakit sekali. Bahkan untuk sekedar menahan tubuh pun Kara tak sanggup tegak lebih lama. Air mukanya memucat dengan cepat. Bulir-bulir dingin itu muncul pada bagian dahi, basahi anak rambutnya dan juga leher. Napasnya dibuang tidak beraturan dan geraman lirih-lirih ikut menyapa udara di dalam sana. Tepat ketika Kara menemukan satu bias lain dari kaca, tangannya ikut basah. Sekarang, tubuhnya kental dengan pekat merah. Anyir dimana-mana, sebab tangannya ikut berteriak murka akibat pecahan beling parfum yang semalam ia genggam. Ayolah, jangan menuntut sekarang. Bahkan karma tidak datang secepat itu.

"Oh halo, Kara?"

Rupanya apa yang Kara tujukan kini berdiri dibelakangnya. Dan sekali lagi Kara melepaskan kutukan dalam hati. Sekarang, apa? Kara sedang tidak bisa melakukan apa-apa tanpa tenaga. Lalu, bagaimana caranya ia melakukan niatnya pada Jukyung?

"Kulihat kau sedikit berlari, pincang, dan ...," lensa Jukyung menelisik tubuh gadis di depannya, "kelihatan lemah sekali. Menyedihkan."

Kara memutar tubuh menghadap Jukyung dengan sorot menantang, meski keringat-keringat berontakan kasar pada dahinya tidak menepis fakta bahwa siksa tengah memeluk daksanya saat ini.

PROTAGONIST Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang