14. WME

4.7K 782 254
                                    

Kara tatap Taehyung di sisinya, ia masih diam setelah buang empat jam waktunya untuk berpikir dalam remang. Bagaimana bisa Taehyung memanipulatif keadaan dengan begitu apik selama ini? Tidak pernah ada kelembutan begitu mata terbuka, alasan rapi yang disimpan dalam kubus marginal dan begitu sesak. Ruangnya sempit, dan Taehyung sering memaksakan rahasianya untuk ditumpuk pada hampa-hampa sesak di dalam sana. Barangkali jika Kara berusaha membuka pengait pintu kubus, dunianya yang penuh dendam akan melebur bersama satu ledakan hebat yang semua partikelnya adalah berisi rahasia Taehyung. Pada bagian ini, kemungkinannya adalah terbesar, nyaris sentuh angka teratas.

Setelah empat jam berpikir, Kara masih tetap rasakan nyeri pada selangkangan yang terus mengambil alih isi otak hingga kembali berakhir gagal berjalan mundur dengan benar. Saat rasionya ingin menguak isi kubus tanpa kunci, Kara lagi-lagi hanya ditarik dua langkah sebelum berakhir di atas ranjang dengan tubuh penuh memar. Langkah pertama adalah tentang ingatan bagian Taehyung bersama wajah sangarnya tengah berusaha merampas hidup melalui penyempitan kerongkongan. Ia dicekik hingga lemas, kemudian didorong—dipaksa naik lebih tepatnya—untuk memasuki mobil dan pulang.

Kemudian pada langkah keduanya, penyiksaan lain lewat pemuasan. Sejujurnya pada bagian itu, Kara baru dapatkan detensi terparah hari ini. Ketika Taehyung menumbuknya tanpa ragu, menusuknya terlalu dalam, bahkan meremas dadanya dengan kelewat kencang. Untuk pertama kalinya Kara menangis, bahkan menjerit di hadapan Taehyung. Itu sakit sekali, bukan pada bagian fisiknya, tetapi lebih pada batin gadis tersebut. Yang baru saja terjadi adalah seks mereka yang terkasar, Kara nyaris merasa diperkosa berandalan pasar yang baru saja diverifikasi sebagai anggota rumah sakit kejiwaan. Seandainya benar berandalan gila, Kara akan berbalik menyerang, bahkan tak akan ragu sekalipun untuk melenyapkan.

Sayangnya, yang berada tepat di atasnya adalah Kim Taehyung, lelaki nyaris kepala empat yang begitu ia cintai. Bahkan Kara ingat dengan jelas afirmasi Taehyung tentang perasaan itu. Ia bertahan hanya karena ingin lihat kesungguhan lelaki itu dalam melukainya, Kara berharap akan ada sedikit imbalan kasihan atau setidaknya selintas ekspresi menyesal. Nyatanya, Taehyung terus menghancurkan bagian terdalam dirinya, Kara nyeri, dan patah hati untuk pertama kalinya. Diperkosa oleh Taehyung adalah kejatuhan harga dirinya paling dalam. Kara menangisi itu, ia menangisi bagaimana pusat wanitanya terasa dihunjami tombak berukuran kapital, bahkan menghancurkan rahimnya yang hanya sisa serpihan menggantung sejak lama.

Untuk pertama kalinya pula, Kara memohon ampun dengan begitu pedih. Ia meminta Taehyung untuk berhenti sambil menangis dan menjerit, bukan karena fisiknya dilukai, tetapi kepercayaan dan juga harapan yang ia junjung tinggi perihal harga diri. Amertanya, ia hanya menangisi kekalahan meski sesungguhnya mampu menjungkirbalikkan Taehyung dengan begitu mudah. Kara tidak lakukan itu dengan alasan afeksi yang dilahirkan hatinya, ia telah mencintai Taehyung sedalam itu tanpa sadar. Sayatan lainnya adalah Taehyung justru semakin gila mendengar jeritannya, lelaki itu menjadi semakin berpotensi merusak bagian lain, seakan berambisi untuk menjadi bagian dari sadisme.

Dua langkah mundur yang Kara ingat itu adalah pendestruksi otak paling aktual, sebab ketika ia memejamkan mata untuk membuka kubus marginal gelap Taehyung, yang tandang justru sebuah kenangan banding pelepasan ereksi dengan fragmen-fragmen lampau yang kusut masai. Benar, Taehyung adalah tipe dominan yang lebih banyak kuasai permainan. Benar, lelaki itu juga bukan pribadi yang gemar menggoda lewat gerakan pancingan. Selama ini, Taehyung selalu utamakan pemuasannya sendiri, ia tidak menggoda hanya agar Kara mendesah atau memohon untuk mengawini dirinya dengan jantan dan benar, ia akan selalu bergerak serampangan, mencari kenikmatan, serta mengabaikan kondisi tubuh yang sedang mengangkang lebar di bawahnya. Selalu ada bagian tersakit ketika Taehyung hentikan pergumulan bahkan sebelum Kara dapat meraih puncak, katanya itu bagian dari detensi.

Sekarang, Kara sudah semrawut bukan main. Ia mengenakan kaus tanpa lengannya kembali meski bra miliknya tetap mencabuli lantai. Ia masih diam, menatap Taehyung yang tertidur dengan kening sesekali berkerut, sebenarnya, mengapa Taehyung harus seperti itu? Ketidaktahuannya selama ini membuat Kara tak ayal malu sendiri sebab sempat membenci bahkan tanpa mau gali alasan yang disembunyikan. Ia membenci Taehyung yang terus merusaknya, mengotori epidermisnya dengan gores-gores luka atau corak warna biru. Kara benci itu semua yang bahkan tak pernah tahu bahwa Taehyung justru juga sedang disakiti di sini.

Selintas terpikir mengapa Taehyung lampiaskan ini padanya? Apa dosa yang Kara komidikan dengan tidak sengaja?

"Kau menyakitiku, Tae." Akhirnya Kara bisikkan itu yang ternyata terdengar lantang dalam ruang hampa vokal itu. Setelahnya, detak jantung jam sahuti kesepian di sana.

"Kau tahu aku sedang berusaha untuk membencimu kembali, mengapa jadi susah?"

Bahkan detak jantung jam yang kembali sahuti suara, ketika busur kurusnya yang merah mencumbui tiap titik kecil detik di sana. Taehyung masih diam saja meski dua labiumnya terspasi agak luas.

"Aku tidak ingin mencintaimu dan kau cintai juga dengan cara seperti ini," lanjutnya susah payah. "Ayo perbaiki, atau setidaknya sama-sama hentikan cinta itu dari hati masing-masing.  Akan terasa benar jika kau melukaiku dengan parah ketika kau dan aku sama-sama dalam konteks saling membenci."

Dada Taehyung masih bergerak seirama dengan curian udara yang dua lubang hidung bangir itu lakukan. Kara tertawa perlahan, bukan tawa sungguhan, sekarang ia jutru merasa menemukan kepuasan setelah membiarkan tangannya mendarat pada kebidangan itu, melewati puting yang terlalu cokelat hingga nyaris hitam pekat, dan berakhir pada rahang tegas yang kerap dikeraskan ketika berhadapan dengannya.

"Kau tahu? Terkadang aku ingin sekali benar-benar berlari ke arah Jimin, atau menerima uluran tangan Jungkook," curahnya lagi. "Namun aku tidak dapat mengusir ekspektasi wajah marahmu setiap kali memikirkan itu."

Sekarang tangan Kara telah berpindah lokasi pada leher Taehyung, menyusulkan tangan lainnya untuk ikut daratkan diri di sana. Sejenak, Kara begitu ingin mencekik, untuk menyampaikan kecewanya di sana. Membantu Taehyung untuk dapat merasakan menjadi dirinya ketika berada di posisi itu.

"Aku ingin mencekikmu," Kara bilang. "Selama ini aku selalu memiliki kesempatan untuk balas menghancurkan dirimu, untuk lukisi kulitmu dengan warna biru yang sama, untuk tarik epidermis itu agar mengelupas sama parahnya, atau sekedar membolongi dagingmu menggunakan jarum tumpul yang serupa."

Namun kemudian Kara tarik kembali dua tangannya dengan lunglai, ia hanya membawanya pada tumpuan sendiri sembari menatap Taehyung yang masih begitu damai seperti mati.

"Aku bertanya-tanya mengapa tidak melakukan semua itu? Mengapa tidak menbunuhmu yang jahat ini?" Kara jeda sejenak untuk kepalkan tangan serta mantapkan hati untuk kembali lanjutkan, "Kemudian malam ini aku temukan alasannya."

Kara biarkan satu air matanya lolos lagi. Ah sial, malam yang cengeng. "Itu adalah bentuk terima kasihku padamu. Terima kasih, Tae. Terima kasih telah membawaku kabur dari Ayah. Terima kasih karena kau masih membawaku ke rumahmu meski aku meminta untuk dipulangkan. Terima kasih karena telah menyelamatkan ayahku."

Kara tidak berbohong, ia percaya bahwa ayahnya terlindungi berkat Taehyung. Terima kasihnya itu kredibel sekali, Kara ucapkan itu dengan penuh integritas. Kara memang tidak diselamatkan di sini, tetapi setidaknya ia bersyukur sebab Taehyung menyelamatkan ayahnya.

Epidermis dada Taehyung dingin, tetapi bukan itu yang membuat Kara berjengit samar kemudian keraskan rahang. Itu adalah karena Taehyung mendadak susulkan tangannya pada pergelangan tangan Kara, menggenggam erat sekali dan timbulkan sakit di sana. Namun Kara tidak bereaksi, sebab sakit itu bukan apa-apa baginya.

Ketika Taehyung membuka mata dan langsung menyorot angkuh padanya, Kara diam saja. Sama-sama saling sorotkan tatapan mematikan. Hingga satu remasan kuat dari tangan Taehyung, serta susulan gema barithone itu menyentak Kara dari segala pikiran subalnya, "Mengapa menangis? Kau justru membuatku ingin segera membunuhmu karena melihat sisi lemah itu."

Mereka memang menjadi api ketika mata terbuka, tetapi Kara sadar bahwa selalu ada yang berbeda ketika mata tertutup. Ia hanya harus lebih giat mengingat banyak konteks, Taehyung dan kubus marginalnya akan ia buka segera.[]

PROTAGONIST Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang