24. Nyaris Ujung

4.4K 589 227
                                    

Kim Taehyung sedang hangat, ia memejam selama beberapa waktu ketika satu tubuh kini sedang peluk dirinya dengan erat; tumpahkan tangis yang mulai diganti isak-isak kecil tak mau berhenti. Tangannya memberi belai ringan di setumpuk rambut yang digelung, sebelum beralih mengusap punggung renta yang dari setengah jam lalu tak ingin sekatkan wajah dari dadanya. Tidak dipungkiri, ia pun rasanya tak mau berhenti untuk terus berkunjung ke rumah sakit ini setelah sekian tahun menjadi tempat pulang rumah keduanya.

Ibunya—atau mungkin kini telah kembali pada gelarnya menjadi ibu Kara—tak henti-hentinya memberikan kalimat sendu dan kecupan basah pada belah pipinya yang kering. Taehyung menyayangi ibunya tersebut, dan ia ingin sekali membuang penyesalan dari apa yang kini telah diputuskannya. Bukankah terlalu buruk untuk berpisah seperti ini?

“Bu, mau sampai kapan?” Akhirnya ia beranikan diri untuk bertanya.

Berikutnya yang bekuk dirinya adalah kelompang yang semakin nyata, hatinya menjadi lebih sepi dari biasanya, dan ia yang hanya mampu memandangi wajah ibu tepat di hadapannya. Ranjang di bawah bokongnya terdengar berderik pelan tepat ketika ibu mengundurkan diri dari pelukan, memilih untuk mengusaikan waktu dalam rekat untuk saling bertatapan. Wajah tua itu, bagaimana cara Taehyung melunasi rindunya kelak?

“Kau menyakiti hati ibu.” Begitu katanya, dan Taehyung tahu sebesar apa kecewa ibu padanya.

Namun memangnya ia bisa lakukan apa? Sebab ia tidak main-main ketika katakan dirinya telah kalah.

“Ibu, tolong jangan begini. Mau pergi jalan-jalan hari ini dengan Taehyung?” Ia tawarkan itu dengan kondisi hati paling tulus. Sayangnya, apa yang ibunya lakukan setelah itu adalah menggeleng perlahan sembari beri hantaman kasar pada ulu hatinya.

“Ibu tidak mau ini hanya jadi kenang dari awal perpisahan. Bukankah kau dulu katakan akan pergi bersama ibu dan Kara jika semuanya berhasil? Kenapa berbohong?” tuntut ibunya.
Taehyung raih jemari ringkih tersebut, digenggamnya dengan hangat, salurkan gelisahnya pun di sana. Ia tak tahu lagi harus menjadi sebodoh apa untuk lewati situasi yang semakin rumit ini. Sialnya, yang dirinya lakukan adalah kabur dan menumpuk egois diri dalam setiap kesempatan.

Taehyung ingin katakan banyak hal, tetapi memang apa gunanya itu sekarang? Sebab mereka akan bubar, terpencar, dan harus putus korelasi jika ingin selamat dalam semua tempat. “Aku telah berjanji pada seseorang untuk terus dengannya.” Taehyung bawa tatapannya pada seberang, tepat ke arah seorang gadis yang duduk diam sembari tak katakan apa pun. Jukyung mematuhinya untuk tidak melepaskan earphone yang ia pasangkan, sebab ini adalah percakapan yang tak boleh gadis itu dengar. Cukup Kara yang menjadi korban kebejatannya, jangan ada lagi yang seperti dia.

Ibunya mungkin mengerti bahwa ia kini tak memiliki pilihan, dari itu yang ibunya lakukan hanya diam, meremas kembali genggaman tangan mereka sebelum bersuara dengan lebih tenang, walau indikasi tangis masih tertilas pada rautnya.

“Jadi kau menyerah atas perasaanmu pada Kara?”

Ini dia. Taehyung bukannya ingin merelakan hatinya serta, tetapi dalam kondisi begini, memang apa yang dapat dirinya lakukan? Segalanya menjadi lebih hampa dan kosong akan asa. Mungkin dirinya dan Kara memang bukanlah akronim yang bagus, itu sebabnya mereka tak kebagian ruang untuk dijadikan domisili yang bagus untuk bersama.

“Ibu yang paling tahu sebesar apa perasaanku pada Kara, dan itu mungkin tak akan pernah dapat dibunuh oleh siapa pun.” Taehyung katakan itu dengan serius. Ia gerakkan ibu jarinya di punggung tangan ibu, mengusap pelan sebelum melanjutkan, “Tetapi Jukyung sedang hamil, dan tidak ada yang bisa diharapkan dari bedebah sepertiku. Hidup denganku hanya akan menyakiti Kara, juga menyakiti janin yang kini dikandung Jukyung. Dia butuh ayah, Bu, dan aku adalah ayahnya. Bagaimana bisa aku tutup mata?”

“Lalu kau akan bercerai dengan Kara?”

Ini pun tak luput dari tafsirannya, bukannya ia merencanakan ini tanpa tingkat kematangan yang tinggi. Diliriknya berkas-berkas yang ia letakkan di nakas rumah sakit, dan itulah hasil dari juangnya selama delapan tahun terakhir. Ia menghabiskan banyak waktu untuk berpikir, mengumpulkan uang setiap bulan, juga mempersiapkan diri setiap hari. Dirinya bukanlah orang kaya raya, setelah usianya menginjak dua puluh tahun, warisan orang tuanya menipis, dan itu sebabnya ia harus berjuang untuk lebih hemat. Ada banyak rencana yang harus dipenuhinya; biaya tanah, biaya bangunan, serta biaya untuk hidup di Amerika dalam waktu delapan bulan sebelum mendapat pekerjaan membutuhkan finansial yang tidaklah sedikit. Taehyung menghitung semuanya, dan kini adalah final dari semua rencananya yang barangkali bukanlah yang paling sempurna.

Semua karena lagi-lagi harus ada hati yang patah, Taehyung mengakui kepatahannya, dan ia hanya tidak tahu saja bahwa barangkali sebab rencana ini ada banyak sekali kalbu yang kehilangan keutuhannya.

Namun Taehyung lebih percaya, bahwa dengan ini setidaknya ia bisa memenuhi satu janjinya; menyatukan kembali seorang ibu dan anak dengan melepaskan keduanya dari jerat sang ayah. Jadi, bukankah apa yang dilakukannya ini adalah benar?

“Ibu tahu kita tidak punya waktu untuk itu, lahan dan rumahnya telah siap, dan pesawatnya akan terbang besok. Mengurus surat-surat perceraian, serta menjalani beberapa kali sidang membutuhkan waktu yang sangat lama. Lagi pula, bukankah bercerai seperti itu hanya akan mengundang atensi ayah? Bagaimana kalo ayah datang lebih dulu untuk merebut Kara sebelum aku benar-benar bercerai?” Taehyung perhatikan perubahan wajah ibunya, dia tegang seolah terancam, dan ia tahu kini sebesar apa kelegaannya untuk benar-benar melepas gadis itu; Kara bertemu orang yang tepat untuk melanjutkan hidup, ibunya.

“Jadi, ketika ibu tiba di Amerika nanti bersama Kara, bagiku, itulah hari di mana aku dan dia bercerai. Tanpa surat dan pengadilan,” katanya dengan suara tak stabil, sebabnya ia justru kembangkan senyum demi tahan rontaan hatinya yang berantakan. “Karena mungkin kita tidak akan bertemu lagi dalam waktu yang lama. Tolong berjanjilah untuk terus sehat, Bu. Kara akan menggantikanku menjaga Ibu, dan Ibu akan menggantikanku menjaga Kara. Tolong berjanjilah untuk itu.”

Bagi Taehyung, hatinya telah mengalami patah ribuan kali, dan mungkin sebab itulah kini ia tak lagi merasa sensitif, tak lagi kehilangan nalar, dan masih genggam waras dalam akal. Jika bertanya siapa yang paling paham lukanya kehilangan, maka dia adalah Taehyung. Lihat betapa hebatnya ia saksikan kisah hidupnya sendiri yang masih mau-mau saja berdiri setelah kehilangan sosok ibu yang tidak hanya satu kali.

Mungkin semesta memang mengutuk Kim Taehyung sedalam itu.[]

Satu jam lagi :") Menunggu?

PROTAGONIST Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang