12. Sweat

5.5K 813 682
                                    

Kara sengaja berkeliaran dengan pakaian nyaris terbuka; lengan baju yang dibiarkan melorot ke bawah menampilkan bahu hingga lengan yang kebetulan sedang bersih dari memar, bagian bawah kemeja ia ikat terlalu ke atas dan ketat hingga menampilkan bentuk perut rata dengan pusar nyaris sekecil ujung kelingking, celana yang super pendek dengan ujung seperti terkoyak, serta rambut yang ia gelung tinggi-tinggi secara arbitrer memamerkan kejenjangan leher, dan seakan pemandangan itu menjadi begitu indah sebab ada beberapa helai meloloskan diri dan menjuntai di beberapa tempat.

Ini adalah hari pertama ia memasuki kelas kembali usai menjalani masa penyembuhan konyol, yang ternyata akan lebih cocok dikatakan sebagai detensi arestasi oleh Kim Iblis Taehyung untuk dirinya. Segalanya menjadi semakin sulit, setiap hari dirinya hanya akan dibiarkan berjalan di dalam rumah, hidup tanpa sapaan, dan ditusuk kembali menggunakan jarum tumpul jika berani melongokkan kepala keluar pintu utama. Rumah itu bukan hanya sekedar tentang peti mati, tetapi juga penjara yang Taehyung ciptakan khusus untuk memayatkan tubuhnya. Meski substansinya Kara adalah pembangkang nomor satu, pemakan paling rakus pada segala regulasi yang lelaki tua itu buat, nyatanya ia tidak melintangi perintah Taehyung; mengurung diri di dalam kamar sembari merenungi banyak hal, ikut bungkam pada lelaki tua itu, menelan suara, dan menciptakan sunyi yang kelewatan.

Kini, setelah dirinya menjadi begitu luar biasa lelah akan hidup. Intuisi dalam dadanya justru memaksa untuk bergerak semakin dinamis, automatis dan meronta-ronta akan kebebasan. Walaupun siapa pun tahu, bahwa hidup Kara barangkali memang substansinya tanpa merdeka.

Haruskah tetap mencintai Taehyung seperti ini?

Sewajarnya tidak ada kenormalan, sebab memang semestanya lahir karena kutukan. Kara tidak perlu bersusah payah sendirian, karena itu semua bukan hal yang berguna. Ia akan tetap berdiri dalam kegelapan, menghabisi sisa eranya dengan kebencian dan kemarahan. Hukuman adalah makanannya, dan luka masih menjadi sahabat terbaiknya.

Begitu, terus akan begitu perjalanannya; monoton tanpa kedinamisan.

"Kara?"

Rasanya kembali pada saat itu, dan Kara tidak percaya bahwa Jeon Jungkook kini akan kembali berdiri di depannya, menghalangi jalan.

"Kenapa tidak menghampiriku?" tanya Jungkook.

Kara angkat alis berpretensi gagal paham konteks. Meski sesungguhnya ada pojok otak yang mengerti ke mana arah pertanyaan itu berlari. Ia sedikit tidak berkompetensi untuk menjawab, sebab dirinya memang tidak terlalu membuka diri untuk menerima orang lain dalam hidupnya. Siapa pun itu.

"Diam saja? Apa ini tidak berfungsi lagi?" Gerakan tangan Jungkook menuju bibir mungil itu ditepis kasar bahkan sebelum melandas. Ekspresi keduanya kontras, Jungkook terkekeh, sedang Kara sendiri menyorot penuh peringatan bahaya.

"Aku kaget, sih," ujarnya sembari mengejar langkah kaki yang tampak berjalan menjauh, Kara. "Aku tidak pernah sangka kau akan berada di apartemen Jimin Hyung."

Oh, hari itu, ya?

Kara menoleh sekilas, kembali berasumsi bahwa tidak apa-apa. Barangkali berteman dengan Jungkook bukan sebuah masalah, bukankah keduanya sama-sama sakit? Kara bisa sedikit membuka pintu, bukan? Jungkook adalah orang yang memiliki pola pikir cacat seperti dirinya.

Maka, setelah dirasa cukup dengan argumen-argumen tanpa suara dalam kepalanya. Kara membuang napas kecil sebelum akhirnya ikut sumbangkan suara, "Kau pacaran dengannya? Kupikir kau tidak sakit."

Mendengar interogasi itu Jungkook lantas terkekeh, merangkul pundak Kara dengan santai. Rupanya persiapan untuk menerima tepisan itu tidak teraplikasikan, sebab Kara hanya diam saja, tidak mencoba menghindar ataupun memberi dirinya pelajaran karena menyentuh sembarangan. Dan itu sempat membuat Jungkook terjelengar; tumben?

PROTAGONIST Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang