00. Intro; Dark

16.2K 1.1K 202
                                    

Satu pukulan kembali mendarat pada punggung telanjangnya; dengan gagang sapu yang telah patah sebagai sarananya.

Pukulan yang menghabiskan tenaga tidak main-main itu membuat banyak ringisan kecil terlontar dari belah labium gadis bertubuh ringkih yang kini tengkurap di atas ranjang tipis. Derai air matanya menjadi penanda betapa terluka tubuh bagian luar maupun dalam ketika sang Ayah bahkan tak sudi menunjukkan belas kasihan. Akan tetapi, sekalipun nyeri tak tertahankan itu mendera hingga ke tulang, tak ada isakan; sebagai gantinya sesekali terdengar geraman tertahan begitu punggungnya kembali beradu dengan gagang sapu. Seakan saling bersaing menunjukan siapa yang terkuat di antara keduanya dan akan berakhir patah.

Kim Kara. Namanya bahkan tak pernah dikenal banyak orang. Hidup di sebuah distrik yang begitu jauh dari pusat kota; tenggelam bersama usaha yang tak sekalipun mampu mencapai udara bebas. Mungkin akan selamanya teredam hingga kemudian mencapai dasar dan menghilang seutuhnya.

"Ayah--," cicitnya menahan gejolak sakit luar biasa. "Sakit."

Kara mulai kebas di beberapa tempat tertentu, kakinya yang diikat mulai tak terasa eksistensinya pada tubuh, apakah mungkin sudah terlepas dan terpisah dari bagian tubuh yang lain?

Punggungnya mungkin tak akan kembali normal setelah ini; hanya berharap semoga tulang-tulang masih menyambung dan utuh. Masalah nyeri dan sebagainya bisa dipikirkan nanti, karna untuk saat ini Kara hanya menangisi dunianya yang dikutuk sedemikian rupa. Kenapa? Kenapa setiap kali Ayahnya menyiksa dirinya tak bisa pingsan? Kenapa kesadarannya tak mau pergi seakan mengajak mencicipi sakit-sakit lainnya?

Selama ini Kara selalu berbuat baik. Dia suka menolong banyak orang yang kesulitan; bahkan merelakan waktu berharganya untuk kepentingan orang lain. Kara takut berbuat kesalahan sehingga menjadikannya pribadi yang mudah mengutarakan maaf. Tetapi kenapa Tuhan mengutuknya? Beginikah karma yang diberikan dunia atas perilaku baiknya?

Ini-- sangat tidak adil. Kemana orang-orang yang selalu ia bantu? Kenapa mereka tak mencari dirinya ketika hampir dua minggu tak lagi datang untuk menolong? Kenapa orang-orang begitu jahat dengan membiarkan dirinya terkurung penuh siksa tanpa belas kasihan? Dimana arti kalimat kebaikan akan dibalas dengan kebaikan? Semua itu omong kosong.

"Jangan panggil aku Ayah, Brengsek!" teriakan barithone itu menggema.

Mengoyak isi telinga Kara kemudian menusuk jantungnya dengan pedang karatan yang tumpul. Satu kali pukulan terakhir, sebelum sang Ayah pergi dari kamar. Meninggalkan dirinya yang sekarat tanpa pertolongan.

Dua kali terbatuk, dan darah segar ternyata ingin menyapa seprai kasurnya yang berbau apek melalui mulutnya. Berantakan, hidupnya hancur tidak hanya secara parsial. Kara tiba-tiba tertawa sinis, terbahak-bahak bahkan mengabaikan nyeri luar biasa pada punggung nya yang tak lagi indah. Tak mulus lagi berkat corak keunguan dan lebam-lebam, bahkan kulit-kulit mengelupas bekas cambukan dua hari lalu kembali parah.

Tidak hanya punggungnya, barangkali gagang sapu tadi juga membentur kepalanya dengan keras. Karena Kara berhasil menatap realita dengan benar dan dipaksa untuk memikirkan solusi atasnya. Ya, dia tak pernah mengenal manusia, dia tidak mengerti bagaimana cara kerja malaikat. Namun jelas dia paham bagaimana cara Iblis menguasai. Hidupnya, penuh dengan iblis-iblis kasat mata. Darinya, Kara sadar bahwa dirinya tidak bisa menjadi satu-satunya manusia di tengah kepungan makhluk bertanduk merah. Jika ingin hidup dan terus menyesuaikan diri, maka ia juga harus menjadi iblis seperti mereka.[]


Tbc

This story is purely imagination. Not concerned with figures that I make visual supporters. Once again, this story contains sensitive adult content. Please be wise to choose reading.

Elderwrite - Vy
Purple you💜

PROTAGONIST Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang