TWD 25

67 5 8
                                    

Semua orang berbaju hitam menatap sendu dua batu nisan di hadapan mereka. Nisan di sebelah kanan tertulis nama Ravenel Smith, sedangkan nisan di sebelah kiri tertulis nama Cayla Rustin. Semua orang menundukkan kepala, mendoakan yang terbaik untuk dua insan di bawah sana. Setelahnya, satu-persatu dari mereka pulang.

Menyisakan seorang gadis dengan air mata mengering. Serta tiga orang pria yang beberapa bagian tubuhnya di balut oleh perban.

Daniel, Billy, dan Alvin menatap punggung Ashly sendu. Tanpa melihat wajahnya pun semua orang tau gadis itu sedang bersedih. Kehilangan dua orang yang di sayangi tidaklah mudah. Terlebih mereka adalah sahabat dan kekasihnya. Daniel, Billy, dan Alvin yang mengenal Raven sejak SMP saja merasa sangat kehilangan. Apalagi Ashly yang sudah bersamanya sejak kecil.

Lama mereka berdiri di situ. Hanya diam dengan memandangi dua batu nisan di depan. Hingga Alvin merintih memegangi perutnya yang telah di jahit. Begitupun dengan Billy. Sadar bahwa kondisi keduanya belum sembuh benar, Daniel meminta mereka pulang duluan. Alvin dan Billy menepuk pelan pundak Daniel sebelum pergi. Seolah mengatakan pada Daniel untuk membujuk gadis di depan sana pulang. Karena mereka yakin gadis itu akan betah berdiri di sana seharian.

Setelah Billy dan Alvin pergi, Daniel berjalan ke arah Ashly. Ia berhenti tepat di sampingnya. Daniel bisa melihat jelas wajah murung Ashly. Daniel berdehem.

"Pulanglah. Mau sampai kapan kau berdiri disini." kata Daniel, namun Ashly hanya bergeming.

Daniel merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kalung perak berliontin merpati yang terdapat sedikit noda darah. Ia menyodorkannya pada Ashly.

"Selamat tinggal. Itulah kata-kata terakhirnya." kata Daniel.

Ashly menatap kalung itu. Tangannya lalu bergerak mengambil kalung tersebut dari tangan Daniel. Ashly mengamatinya dalam diam.

"Ayo pulang!" ajak Daniel sekali lagi.

Akhirnya Ashly mengangguk lalu berjalan mendahului Daniel. Tanpa berkata apapun. Daniel mengikutinya dari belakang.

Ponsel Ashly berdering. Ashly menggeser tombol hijau lalu menempelkan ponsel itu di telinga.

"Ashly, ini aku."

Suara David. Ashly hendak mematikan ponselnya. Namun, perkataan David mengurungkan niatnya.

"Aku minta maaf."

Ashly diam, menunggu kalimat selanjutnya.

"Aku ingin meminta maaf secara langsung. Jadi, bisakah kita bertemu? Kumohon."

Ashly menghembuskan napas.

"Dimana kau?"

Setelah mendengar jawaban David yang mengatakan keberadaan dirinya sekarang, Ashly menutup teleponnya. Tanpa mengatakan apapun.

Ia menoleh kearah Daniel yang berada di belakangnya.

"Tolong antar aku." pinta Ashly. Daniel mengernyit.

"Kemana?"

"Penjara kota Paris." jawab Ashly membuat banyak pertanyaan di otak Daniel.

*******

Ruangan khusus berbicara dengan narapidana tampak hening. Seorang pria berpakaian napi duduk berhadapan dengan seorang pria dan wanita.

David berusaha tenang saat menatap dua orang yang duduk di depannya. Namun, atmosfer yang di ciptakan dua orang itu mampu membuatnya merasa tegang. Daniel manatapnya dengan sorot kemarahan. Sedangkan Ashly menatapnya datar tanpa ekspresi. Mereka berdua seakan ingin menelan David bulat-bulat.

The White Dove (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang