🎶Bila Kau Tak di Sampingku - Sheila On 7
Tak seharusnya kita terpisah
Tak semestinya kita bertengkar
Karna diriku masih butuh kau
Maafkanlah sikapku
Lupakanlah salahku itu***
Hujan masih belum berakhir, dan rintik halus masih terlihat jelas dari balik jendela taksi yang membawa tubuh Hanina menembus kemacetan yang semakin menjadi. Jam pulang kerja, hujan pula. Meskipun di hari biasa tanpa hujan tak membuat Hanina sampai di rumah lebih cepat tapi hujan pasti membuat badan yang lelah semakin lelah karena harus berdesakan dengan pengendara lain yang sudah merindukan hangatnya selimut rumah.
Pasti nyaman.
Hanina juga merindukan selimut kamarnya yang nyaman, sama seperti pengendara lain, dia juga ingin cepat sampai rumah. Mandi air hangat, lalu menyeduh secangkir teh camomile milik ibunya dan tidur pulas sampai esok hari. Oh ya ya dan sepertinya menyantap semangkuk sup hangat buatan Mbak Fina-ART di rumah-dapat melengkapi kenyamanan perutnya yang kelaparan. Ngomong-ngomong cuaca dingin membuat perut Hanina makin kelaparan.
Mengingat sup, jemari Hanina semakin lincah ketika mengetikkan pesan pada mbak Fina agar membuat sup yang ia idamkan.
Taksi yang di tumpangi Hanina perlahan mulai berjalan lancar, setelah melewati lampu merah, dan nekad menembus jalur busway-biasanya Hanina paling tidak setuju jika mobil mengambil jatah jalanan khusus busway, tapi untuk kali ini nggak papa deh, dimaklumi aja- tak lama taksi mulai masuk ke jalanan kecil.
"Motong jalan pak?" tanya Hanina, basa-basi saja sih sebenarnya.
"Iya mbak, merah semua ini jalurnya." Supir taksi menjawab sembari melirik Hanina dari kaca spion.
Meski sudah lama tidak melewati jalan ini, namun Hanina masih ingat betul setiap kelok dan setiap persimpangan. Tiga tahun adalah waktu yang dihabisakan Hanina menelusuri jalanan ini. Dulu sekali ketika dirinya masih begitu muda, ketika usainya masih belasan dan masih mengenakan seragam SMA.
Beberapa hal masih sama dan beberapa berubah. Seperti toko perlengkapan olah raga yang baru saja ia lewati, toko itu adalah salah satu yang bertahan. Banyak kios-kios di pinggir jalan yang baru ia lihat hari ini. Daerah ini semakin ramai, sehingga banyak penjual-penjual kaki lima di pinggir jalan.
Tepat di persimpangan, taksi yang ditumpangi Hanina berbelok ke arah sekolahnya dulu, dan mobil sempat terhenti karena menunggu antrian untuk melewati jalan yang tak terlalu lebar. Kini Hanina berada di depan pintu gerbang sekolah lamanya, menatap pada gedung sekolah yang sudah banyak mengalami banyak perubahan, semakin bagus dan modern. Ada baliho besar yang dipajang di samping gerbang, menampilkan siswa-siswa yang diterima di universitas negeri terbaik Indonesia, lalu ada Baliho lain yang menampilkan wajah siswa dan siswi yang telah menerima penghargaan perlombaan dari berbagai bidang.
Seseorang yang Hanina kenal, pernah menjadi salah satu wajah yang dipajang di kedua baliho itu, saat orang itu memenangkan perlombaan, dan ketika orang tersebut masuk di salah satu perguruan tinggi terbaik Indonesia.
"Lo yakin nggak mau ketemu dia? gue lihat dia makan di kantin bareng temen-temennya setelah ambil ijazah tadi."
Saat Clarissa, salah satu dari saksi hidup ketika Hanina masih mengenyam pendidikan di sekolah menengah menanyainya kala itu. 11 tahun yang lalu, tepat di depan gerbang sekolah.
Hanina menggeleng lemah. "Dia kan nggak mau ketemu gue lagi Cha, untuk apa?"
"Perpisahan? mungkin lo bakalan lebih lega setelah ngucapin sepatah atau dua patah kata."
"Mungkin gue malah nggak bisa ngomong, malu-maluin banget kan kalau gue malah nangis di depan dia?"
"Lo masih sayang sama dia?"
KAMU SEDANG MEMBACA
KISAH KLASIK UNTUK MASA DEPAN
Romance"gue akan ukir nama kita di sini sebagai tanda jadian kita." Satu dari banyak hal baik yang terjadi di hudupku adalah dia. Dia yang dengan bangganya mengukir namanya dan namaku di dinding sekolah kami kala itu. Saat kami masih sangat belia dan hanya...