Hujan Turun - Sheila On 7
Waktu hujan turun
Di sudut gelap mataku
Begitu derasnya
Kan kucoba bertahan***
"Gue ketemu dia."
"Siapa?"
"Hanina."
Dimas masih berada dalam sambungan ketika seseorang di ujung sana tak menanggapi ucapannya. Masih ada suara rintik hujan di sela-sela sambungan itu. Dimas nasih mengatur kegugupan di dalam nada suaranya, ketika orang itu menyahut.
"Gimana? Masih cantik?"
"Cuma itu balasan lo, Haikal?" tanya Dimas tak habis pikir. Mati-matian dia menahan kegugupan dan sahabatnya itu hanya membalas dengan kekehan enteng.
"Terus gue harus jawab apa dong? Dan gue nggak melihat akan ada tanda bahaya hingga gue harus panik kayak lo."
"Gue nggak panik, hanya...hanya...."
"Nerveous?"
Dimas tak bisa menjawab, terlalu malu untuk mengakui.
"Kita bukan anak SMA lagi Dim, masa itu udah berlalu begitu lama. Gak ada alasan lo untuk gugup nggak jelas. Setelah dia ada di hadapan lo, apa yang akan lo lakuin?"
Lagi-lagi Dimas terdiam. Sama sekali tidak tahu langkah apa yang dia ambil. Kemarin dia tidak memprediksi akan makan bakso di warung langganannya sejak SMA, lalu hujan turun dengan derasnya, berganti gerimis dan udara semakin dingin. Ketika dirinya turun dari motor dan melepas jas hujan, Dimas hanya tahu perutnya lapar dan dia butuh makanan hangat. Rumahnya tak terpaut jauh dari warung bakso Pak Tejo, sehingga dengan bermodalkan payung dan sendal jepit dia berjalan kaki ke warung bakso.
Siapa sih yang akan menyangka bahwa ada Hanina di sama, dengan penampilan tetap cantik meskipun kota baru saja diguyur hujan.
Ah.. Hanina
Sepenggal kisah dalam hidup Dimas pernah terisi dengan kehadiran seorang gadis bernama Hanina. Seperti gadis-gadis lain yang pernah singgah sesaat dalam perjalanan asmara Dimas, Hanina pun hanya ada dalam waktu singkat, lalu hatinya terpaksa Dimas lepas karena sebuah kesepakatan tak tertulis bernama loyalitas.
Waktu berlalu begitu saja, kemudian orang baru datang silih berganti. Dimas sempat lupa, namun terkadang, ada satu waktu dalam hidup Dimas, ketika dia terjebak di dalam nostalgia dan hanya bisa memandang Hanina dari jarak yang tak menentu. Awalnya hanya sekali rasa rindu itu datang, lalu berulang dan berulang lagi. Namun, sayangnya ketika rindu datang tak bersamaan dengan keberanian untuk menyapa sang jelita.
Dasar cemen
Seru salah satu sahabatnya yang tahu betul perasaan Dimas. Haikal namanya, sahabat yang saat ini sedang menunggu jawaban Dimas tentang apa yang akan Dimas lakukan.
Si penakhluk wanita yang bahkan tak berani menatap mata gadis yang disuka.
"Lo bakalan mundur lagi?"
Dimas menggeleng, tapi tak menyahut karena masih ada ragu di dalam pita suaranya.
"Apa dia masih tertarik sama gue?"
"Brengsek, ya deketin lah goblok." seru Haikal jengkel di ujung sana.
Arrgghhh
Dimas mengusap kepalanya. Ya ya ya dia memang goblok jika berurusan dengan masa lalu bernama Hanina.
"Dua tahun lalu lo pinter banget macarin mantan miss indonesia, sekarang lo bingung harus ngapain Dim?"
Dimas pun tak percaya bahwa dirinya bisa kehilangan kepercayaan diri sampai separah ini.
"Mau sampai kapan? Samapai gue akhirnya berhenti ngabarin bahwa Hanina udah nggak sendiri lagi?"
Padahal Dimas punya begitu banyak waktu di masa lalu untuk mengejar Hanina kembali.
"Gue kan pernah nyakitin dia." jawab Dimas pelan. Satu kenyataan bahwa di masa lalu dialah yang meninggalkan Hanina adalah satu dari alasan mengeringnya kepercayaan diri Dimas. "gue mungkin nyakitin banyak mantan di masa lalu, tapi lo tahu kan. Gue nggak pernah kembali sama mereka yang udah lewat."
"Lo punya alasan, dia juga tahu alasan lo. Sekarang semuanya udah beda. Nggak ada alasan lo buat ngelepasin Hanina, nggak ada lagi halangan yang memberatkan Dim, oh salah. Dari dulu halangan itu nggak pernah ada kalau seandainya lo punya sedikit keberanian."
Gerimis masih enggan mereda, dan langit masih terlihat redup. Dari tempatnya berdiri Dimas melihat Hanina yang keluar dari warung bakso.
"Jadi apa yang akan lo lakukan Dimas? Nyerah lagi?"
Dimas masih terpekur di tempatnya berdiri, matanya tak bisa melepaskan pandangan pada setiap pergerakan Hanina. Waktu telah berlalu begitu lama, 15 tahun sudah berlalu, dan kini ia hadir di hadapan Dimas. Satu kesempatan yang belum tentu akan terulang lagi. Satu alasan bagi Dimas untuk tidak berjalan mundur.
"Kamu udah mau pulang?" suara Dimas bertanya pelan. Dia telah berdiri di hadapan Hanina yang memandangnya terkejut.
"Oh...Kamu...masih di sini?" balas Hanina ketika keterkejutan perlahan menghilang dari wajah jelita wanita itu. "Kata Pak Tejo kamu bayarin makanan aku, gak perlu repot, ini aku kembaliin..."
"Nggak perlu," Dimas menghentikan gerakan Hanina yang hendak membuka tas jinjingnya. "diskon kok, aku kan kalau makan di sini buy one get one." dusta Dimas. Terlalu kentara, tapi yaudah lah, Pede saja dulu.
Dan benar saja dusta garing yang disampaikannya berhasil membuat Hanina diam memandanginya dengan tatapan 'yakin lo bohongin gue kayak gini?'
Mungkin karena nggak mau berdebat terlalu jauh, wanita itu mengurungkan niat mengambil dompet dari dalam tas, sebagai balasan Hanina hanya menghela napas sambil mengendikkan bahu. "Yasudah kalau gitu." ujarnya singkat.
Dimas merasa jauh lebih ringan karena uang lima belas ribu yang ia bayarkan untuk seporsi bakso yang dimakan Hanina tak jadi kembali ke dompetnya. Bukan karena dia nggak punya kembalian kalau saja Hanina membayarnya menggunakan uang kertas berwarna biru, tapi gengsi nya sebagai laki-laki bisa ambyar.
Bukan hanya wanita saja yang punya gengsi, pria juga.
"Mau langsung pulang?"
"Iya,"
Bukan jawaban itu yang Dimas inginkan.
"Nih," Dimas mengangsurkan payung basah yang tadi menaungi tubuhnya, payung berwarna oranye. Sebenarnya payung itu bukan miliknya, melainkan milik salah satu sahabat karibnya yang bernama Stella, payung itu tertinggal ketika Stella dan sahabat Dimas yang lain datang berkunjung tahun lalu, dan karena pemiliknya tak juga mencari, payung itu secara alamiah menjadi milik Dimas.
"Nggak perlu, aku naik taksi online kok." Hanina belum menerima payung oranye yang di sodorkan Dimas.
"Karena itu kamu harus pakai payung ini. Tuh lihat di depan," tunjuk Dimas pada kemacetan yang terjadi di luar pagar bakso Pak Tejo. Jalanan yang hanya muat dilewati dua mobil itu padat oleh pengendara motor dan mobil yang saling menglakson.
"Carinya ke depan aja, cari jalan yang agak longgar, kalau di sini susah dapetnya." jelas Dimas yang kali ini terdengar masuk akal.
"Kalau aku yang pakai payung, kamu gimana? Masih gerimis."
Dimas tersenyum kecil. "Pakai kupluk jaket, lari. Karena rumahku masih dekat dari sini."
Memastikan bahwa payung oranye itu telah diterima Hanina, Dimas pun berlalu, sembari memasangkan kupluk jaketnya ke kepala, berlari menembus gerimis dan hawa dingin yang hari itu terasa begitu hangat. Lebih hangat dari semangkuk bakso pak Tejo.
Dimas sudah memutuskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
KISAH KLASIK UNTUK MASA DEPAN
Romance"gue akan ukir nama kita di sini sebagai tanda jadian kita." Satu dari banyak hal baik yang terjadi di hudupku adalah dia. Dia yang dengan bangganya mengukir namanya dan namaku di dinding sekolah kami kala itu. Saat kami masih sangat belia dan hanya...