Hari bersamanya - sheila on 7
Mohon Tuhan
Untuk kali ini saja
Lancarkanlah hariku
Hariku bersamanya
Hariku bersamanya***
Mungkin keberuntungan Dimas telah berakhir ketika ia menduduki bangku kelas 3 SMA tepat ketika sosok yang menjelma sebagai ketidakberuntungan itu duduk di sebangku dengannya.
Kesialan pertama yang disadari Dimas adalah menjauhnya beberapa cewek yang sebelum ini mendekatinya. Usut punya usut ternyata beredar gossip jika Dimas dan Hanina lagi pdkt. Gossip itu tersebar sejak moment Hanina dan Dimas makan bakso di Warung Pak Tejo. Berita sudah menyebar bak virus, mau menyangkal pun sulit. Karena sepertinya populasi di sekolahnya malah memberikan dukungan positif untuk berita miring tersebut.
Kesialan kedua adalah beberapa kali Dimas dicemooh oleh beberapa siswa yang naksir Hanina. Yah karena Dimas merasa ganteng dan setingkat diatas cowok-cowok itu jadi celaan mereka tidak terlalu berpengaruh. Hanya menjadi angin lalu. Tapi sesekali cukup mengganggu.
Kesialan ketiga adalah kecerewetan Hanina kadang di ambang batas. Dimaa yang duduk di sampingnya harus rela merasakan telinganya panas karena selalu mendengar suara gadis itu, entah mengajaknya gossip, berdebat sampai mengomentari hal tak penting seperti warna baju ibu Diana--guru Bahasa Indonesia--yang hari ini serba coklat.
"Gue rasa Ibu ini mendapat nilai jelek saat pelajaran mewarnai di TK nya."
Masa bodoh
Dimas enggan menanggapi tapi turut prihatin atas kebodohan biang gossip di sebelahnya.
"Coba lo perhatikan, bahkan sampai gelang dan sepatunya saja berwarna cokelat. Nggak heran kalau dia diberikan julukan Ibu Matching."
Julukan Ibu Matching memang telah diberikan kepada Bu Diana sejak.... sejak....ntahlah Dimas tidak ingat, mungkin sebelum ia menginjak sekolah ini, sejak alumni-alumni terdahulu. menganugerahkan julukan tersebut karena setiap hari Guru Bahasa Indonesia itu selalu menganakan warna yang sama untuk pakaian dan aksesoris.
"Tugas kelompok harus dikumpulkan minggu depan. Untuk anggota dengan teman sebangku saja. Sekian kelas hari ini. Selamat siang."
Begitulah kesialan Dimas selanjutnya. Dia harus rela membuat resensi novel dengan cewek pemalas di sebelahnya. Dimas memang jago soal hitung-hitungam tapi jika disuruh membaca buku sejenis novel otaknya langsung buntu. Mengharapkan Hanina pun seperti mengharapkan bubur kembali menjadi nasi, padahal buburnya dari kacang hijau, bukan padi. Percuma.
"Apalagi gue. Ogah banget baca novel." adalah jawaban final Hanina.
Dimas rasa dia akan menderita seorang diri.
***
"Oke oke fine. Biasanya gue males ya ngerjain tugas kayak gini. Tapi karena lo cerewet banget. Gue kerjain. Sekarang novel apa yang bakalan kita resensi?"
Dimas mendengus. Nyatanya tugas ini juga penting untuk Hanina, tapi lagaknya seperti Dimas saja yang membutuhkan bantuan. Tugas harus dikumpul 2 hari lagi dan jangankan mengerjakan, novel saja tidak ada.
"Ya cari lah di perpus. Itu pun kalau masih ada. Kelas lain juga dapat tugas ini."
"Ya kita beli lah kalau nggak ada." ujar Hanina enteng. Seakan membeli novel itu tidak pakai modal. Oh iya Dimas lupa, cewek menyebalkan ini kan orang berduit. Pasti gampang lah kalau cuma beli buku novel saja.
"Kita cari aja di perpus. Gue tunggu lo pas istirahat kedua." putus Dimas tanpa ingin dibantah.
Dan saat jam istirahat kedua dimulai Dimas segera menuju perpus, Hanina bilang akan menyusul setelah ritual toiletnya selesai. jadi disini lah Dimas, di perpustakaan yang sepi. Perpustakaan memang selalu sepi, meskipun sudah dilengkapi air conditioner, buku terbaru dan meja-meja membaca yang nyaman, tetap saja siswa di sekolah ini lebih memilih singgah di tempat lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
KISAH KLASIK UNTUK MASA DEPAN
Romance"gue akan ukir nama kita di sini sebagai tanda jadian kita." Satu dari banyak hal baik yang terjadi di hudupku adalah dia. Dia yang dengan bangganya mengukir namanya dan namaku di dinding sekolah kami kala itu. Saat kami masih sangat belia dan hanya...