Hujan Turun

5 1 0
                                    

🎶Hujan Turun - Sheila On 7

Waktu hujan turun
Di sudut gelap mataku
Begitu derasnya
Kan kucoba bertahan

****

Suara hujan masih terdengar begitu deras dari luar sana, Hanina menikmatinya seorang diri sembari menelusuri dinding rumah Dimas yang masih sama seperti dulu, hanya beberapa figura saja yang berubah, termasuk figura besar yang dulunya menampilkan potret Dimas dan kekek, kini berubah ke versi yang lebih baru, Dimas yang semakin dewasa dan kakek yang semakin tua, hanya senyumnya yang masih sama, masih begitu ramah.

Hanina mengedarkan pandangan ke sekeliling, mengabsen satu persatu barang yang dapat diingatnya. sepertinya Dimas baru saja mengganti sofa ruang tamunya. dari semua perabot, hanya sofa dan televisi layar datar yang terlihat baru, selebihnya masih sama. pada dasarnya rumah ini memang tidak banyak perabot, hanya meja, sofa, televisi dan lemari kecil berisi guci kristal. Suatu hari Hanina tahu bahwa guci-guci itu adalah koleksi almarhumah Ibu Dimas. Seperti biasa pula, guci-guci itu tampak terawat dengan baik meskipun modelnya kuno.

Terdengar suara gaduh dari arah dapur, seperti suara panci yang jatuh, secara refleks Hanina berjalan menuju dapur dan mendapati pintu kabinet atas terbuka,  Dimas yang sedang merintih sembari memegangi kepalanya dan panci yang sudah mendarat di lantai.

"Kenapa?"

"Pancinya jatuh," jawab Dimas antara menahan sakit dan malu.

"Kena kepala kamu?"

Sembari menutup pintu kabinet atas perlahan, kemudian memungut panci kecil di lantai Dimas menjawab, "Iya," pendek saja.

Menipisakan bibirnya, Hanina menahan rasa geli melihat tingkah kikuk Dimas yang mulai bergerak kaku merebus air, masih sambil memegangi kepala. Jika dilihat dari bentuknya, panci itu cukup besar ukurannya, bukan panci yang pas untuk merebus air jika tujuannya untuk membuat minuman hangat. Kejatuhan panci itu sepertinya cukup membuat nyeri sekaligus pusing.

"Kamu nggak punya teko listrik?"

Keketika Dimas berbalik, terkejut dan kembali kikuk. "A...ada," jawab Dimas melirik pada meja kecil dekat kulkas tempat teko listrik yang sehari-hari ia pakai "....dan aku lupa."

Kali ini Hanina tidak bisa menyembunyikan senyum gelinya, menularkan pada Dimas yang akhirnya ikut tertawa, menertawakan kebodohannya sendiri.

"Alih-alih pakai panci sebesar itu, lebih baik pakai teko listrik saja." Hanina berjalan ke arah meja kecil tempat teko listrik itu berada, meraih teko, mengisinya dengan air dari dispenser, kemudian meletakkannya pada tatakan dan menekan tombol untuk merebus air. "Rencananya kamu mau buat apa? teh? kopi?"

"Teh, kamu?"

"Samakan saja."

Dimas menyerahkan sebuah mug berwarna putih berisi teh panas yang masih mengepul. "Pelan-pelan,"

"Terima kasih." balas Hanina sembari menerima mug berwarna putih yang jika ditilik dari ukurannya cukup besar, dan isinya cukup banyak. Akan butuh waktu lumayan lama untuk mendinginkan serta menghabiskan teh panas tersebut.

Hanina masih terpaku pada mug jumbo di kedua tangannya, hingga Dimas membuat suatu pengakuan.

"Sengaja, biar kamu nggak cepat-cepat menghabiskan teh nya,"

Hanina mendongak, mentap pada Dimas, "Kenapa ngasih tahu aku?"

"Cuma ingin kamu tahu aja, kalau aku..." Dimas memberi jeda, berdeham kecil untuk mengurangi rasa gugupnya, "....mau menghabiskan waktu lebih lama....sama kamu,"

Wajah Dimas terlihat memerah, dan hal itu cukup untuk menjadi alasan Hanina merasa geli, " Lalu kamu nggak nanya pendapat aku, apakah aku mau berlama-lama sama kamu?"

KISAH KLASIK UNTUK MASA DEPANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang