8. When It Rains Its Pours

135 7 1
                                    

Kyra masih berusaha sabar ketika dengan teganya Atha menyuruh-nyuruh dirinya menjangkau debu di sudut ventilasi yang tingginya berbeda jauh dari gapaian tangan. Kyra sudah berdiri di kursi, namun menjangkau sudut terkecil dari setengah meter diatas kepala rasanya begitu melelahkan. Beberapa kali tangannya menjangkau dan beberapa kali pula debu menghambur mengenai wajah dan pakaiannya. Kyra tak kuasa untuk tidak bersin, lalu mendengus sebal. Kenapa juga nasib setega ini mempertemukannya dengan iblis tak bertanduk seperti Eartha?

Bagaikan sesuatu yang sangat penting di dunia, Atha tak memalingkan tatapannya dari Kyra barang sedikitpun ketika gadis itu sedang berkerja. Semua itu berbanding terbalik dengan Danish yang dari tadi ada namun hanya sibuk berkutat pada Handphone yang layarnya di miringkan.

Semua murid sudah keluar dari menit ke lima bel tanda pulang dibunyikan. Kyra membayangkan saat ini dirinya sudah bersanding dengan semangkuk ice krim dan novel karya Ika Natasha yang belum lama ia beli. Hayalan itu cepat menguap ketika dehaman Atha kembali mengembalikannya kepada realita bahwa hidup ini memang kejam adanya.

"Lo belum mau pulang?" Tanya Atha.

Kalimat itu menjadi penggugahnya untuk kembali bersemangat bahwa pasti tak lama lagi ia akan keluar dari penjara yang diciptakan oleh lelaki itu.

Kyra mengangguk-angguk takut kehilangan moment. "Gue sudah boleh pulang?" Mata perempuan itu penuh binar saat bertanya.

"Lhoo, bukannya memang sudah boleh pulang sejak bel dibunyikan?" Jawab Atha dengan nada yang terdengar bingung.

Kyra melongo saat itu juga.
Dua puluh menit yang lalu laki-laki itu berdiri didepan kelas. Ia berteriak mengingatkan seluruh anak yang piket untuk membersihkan kelas terlebih dahulu sebelum mereka pulang. Kyra tidak piket hari ini, tapi ingatan ketika lelaki itu berbicara padanya bahwa seluruh tugas anak piket juga menjadi tanggung jawabnya selama masa hukuman, ia memutuskan untuk membantu.

Ketika seluruh sapu telah terpakai dan Kyra mendapat jatah kemocheng, semenjak itu juga Atha terus melayangkan tatapan padanya--seakan sebutir debu yang terlewat Kyra bersihkan dapat membuat penularan TBC seantero Nusantara. Naasnya debu-debu yang ada di ventilasi, jendela, dan selorok meja mempunyai kadar yang tinggi ketimbang debu yang ada di lantai.

Setelah dua puluh menit yang menyesakan, mematikan, membosankan, dan memprihatinkan itu Eartha dengan entengnya berkata demikian?

Kyra melayangkan tatapannya ke atas-- takut-takut air matanya sudah ingin jatuh-- kemudian menatap Eartha dengan nanar, "Jadi ini dari tadi gue sudah boleh pulang?!"

Atha mengangguk. Danish yang semula diam pun kini tengah tertawa demikian kencang membuat sejuta penderitaannya terasa semakin nyata.

"TERUS KENAPA LO SEGALA NGAWASIN GUE TERUS, ATHA?!!" Teriak Kyra. Saat ini gadis itu telah turun dari bangku yang dipijaknya dan meremas kemocheng dengan gemas.

"Emang gue ngawasin lo?" Tanya Atha balik.
"Gue sama Danish disini lagi nunggu jemputan kok."

Pening. Gelap. Dunia Kyra serasa berhenti berdetak dan berputar-putar sendiri tanpa arah yang jelas.

Bagaimana ya rasanya menjambak rambut cowok itu sampai ruhnya juga ikut terangkat?
Kyra pikir tentu akan sangat menyenangkan.

☀️

Bahagia bagi Kyra adalah ketika kita baru saja berurusan dengan Eartha dan kini sesampainya di pintu gerbang, Kak Rangga sudah menunggu dengan mobil hitamnya.
Kyra bersemangat akan memiliki dunianya kembali utuh seperti sedia kala.

Namun tak sendiri, Kyra melihat Rangga bersama seorang Bapak seumuran Ayahnya. Mereka nampak mengobrol akrab tak terbatasi usia. Kyra jadi memperlambat langkahnya karena bingung harus berbuat apa sesampainya di sana. Ia tak ingin mengganggu obrolan dua lelaki itu.

A F A I RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang