Bab 1

12.6K 475 20
                                    

Dua puluh tahun yang lalu pria itu pergi, pamit kepada kami untuk ke Bandung. Berharap dapat mengubah nasib perekonomian keluarga kami yang hampir bisa dibilang miskin sengsara.

Kala itu aku berusia tujuh tahun, anak kelima dari enam bersaudara, semuanya laki-laki. Jarak usiaku dan kakak-kakakku cuma selisih dua tahun. Namun aku dan si bungsu terpaut tiga tahun. Ibu terlihat berat melepas kepergian'nya'. Namun demi janji untuk masa depan kami yang lebih baik, akhirnya dia merelakan'nya' pergi.

Satu tahun ... dua tahun ... semuanya berjalan lancar. 'Dia' masih rutin pulang untuk sekedar berjumpa melepas rindu kami, memberi beberapa rupiah pada aku dan saudara-saudaraku untuk sekedar membeli permen.

Tak ada yang berubah. Pada tahun ketiga, kedatangannya mulai digantikan oleh surat-surat dengan berbagai alasan. Mulai dari tiket kereta yang sulit didapat, gaji dari bos pemilik bengkel yang belum dibayar dan banyak alasan lainnya yang belum dapat aku pahami.

Uang bulanan pun kata ibu mulai berkurang jumlahnya, padahal kebutuhan kami semakin bertambah. Dua kakakku sudah tak mampu melanjutkan sekolahnya di bangku SMP dikarenakan tunggakan biaya. Mereka akhirnya memutuskan berhenti karena malu pada para guru dan teman-temannya.

Suatu hari, saat liburan sekolah aku diajak ibu bersama si bungsu untuk menyusulnya ke Bandung. Berbekal uang tabungan ibu dari hasil upah ibu menjadi buruh cuci di rumah tetangga kanan-kiri, beliau nekat mengajak kami kesana, sesuai alamat tempat ketika dia berkirim surat dahulu.

Bukan perjalanan yang menyenangkan antara Solo-Bandung dengan kereta api kelas ekonomi yang kala itu menurutku kurang manusiawi buat kami.

Perjalanan lama, kereta yang penuh sesak oleh penumpang, barang, pedagang asongan, panas, pengap bercampur dengan bau berbagai macam keringat sangatlah tidak mudah untuk dinikmati.

Akhirnya kami tiba di stasiun, aku menggandeng si bungsu sementara ibu sibuk bertanya alamat pada petugas jaga di stasiun. Dari stasiun kami naik angkot, lewat jalan yang lumayan ramai dengan udara yang lebih dingin dibandingkan Solo.

Turun dari angkot, ibu menghampiri tukang becak, menyerahkan selembar kertas, dan si bapak tukang becak mengangguk. Akhirnya kami naik becak, dengan kondisi haus dan lapar, ditambah rengekan dari si bungsu yang juga merasakan hal yang sama.

Rasanya girang bukan kepalang ketika becak yang kami tumpangi berhenti di bangunan besar dengan alat yang canggih menurutku kala itu. Ibu menggandeng aku dan si bungsu dengan tangan yang dingin, agak gemetar, mungkin karena lapar pikirku.

Beliau menghampiri satpam, bertanya tentang sesuatu yang kemudian dijawab anggukan oleh satpam bangunan besar itu. Hari itu bengkel libur, tak ada karyawan yang masuk. Untungnya satpam yang kami temui berbaik hati untuk mengantarkan kami ke alamat yang katanya adalah alamat kontrakan'nya'.

Tapi sempat aku lihat tatapan sendu dari satpam itu saat melihat kondisi kami. Di perjalanan satpam tersebut bahkan sempat mampir ke kios untuk membeli beberapa bungkus roti untuk kami. Awalnya ibu menolak, sungkan, namun karena mendengar rengekanku dan si bungsu, akhirnya beliau menerimanya.

Sekitar dua puluh menit berjalan kami berhenti di sebuah bangunan yang memiliki banyak pintu dengan bentuk yang sama. Kata satpam, itu adalah alamat yang kami cari, tempat tinggal 'dia' yang selama ini kami nanti. Ibu meminta aku dan si bungsu untuk istirahat di samping pintu, sementara beliau mengetuk pintu sambil memanggil namanya.

Setelah ketukan yang kelima kalinya akhirnya pintu dibuka. 'Dia' keluar hanya memakai celana kolor dan bertelanjang dada, dengan raut wajah terkejut.

Semula ibu sudah bersiap mencium tangan kanan'nya', namun terhenti ketika terdengar suara perempuan muda dari dalam rumah. Pakaian perempuan itu seperti si bungsu ketika bangun tidur, hanya celana dalam dan penutup dada seperti yang dipakai ibu sebelum pakai baju.

Waktu itu aku tak tahu apa yang terjadi, yang ku ingat wajah putih ibu tiba-tiba menjadi merah. Ibu langsung menamparnya, berteriak-teriak seperti kerasukan berusaha memukul perempuan muda itu. Sementara 'dia' sibuk melerai kedua perempuan itu, tanpa sempat menoleh aku ataupun si bungsu yang sedang menangis ketakutan.

Ketika tangan ibu berhasil menjambak perempuan itu, 'dia' seketika menarik ibu, membanting keras tubuh ibu ke tembok, dengan suara gemertak yang mengiris hati. Orang-orang mulai berdatangan memisahkan mereka, menenangkan aku dan si bungsu. Setelah agak tenang, kami dibawa kesalah satu rumah warga, yang ternyata rumah RT setempat.

Aku duduk di samping ibu yang memangku si bungsu sambil terisak, menahan sakit di kedua lengan yang sudah dibalut perban oleh warga, menahan sakit hati oleh penghianatan'nya'. Sementara 'dia', sibuk mengelus-elus perempuan yang kini telah memakai pakaian normal pada umumnya.

Aku tak tahu apa yang ada pikiran'nya', yang lebih memilih menenangkan wanita itu, dibanding kami anak istrinya, yang keadaannya jauh lebih memprihatinkan dengan luka lebam di wajah ibu dan pundak kanan-kiri yang dibalut perban berlapis gips. 'Dia' mengatakan kalau wanita yang dipelukannya saat itu adalah istrinya, sedang ibu adalah mantan istrinya.

Ya Tuhan, delapan bulan yang lalu saat kami membaca suratnya yang terakhir dia hanya mengabarkan bahwa akan pindah kerja dan kontrakan karena bengkel bosnya bangkrut.

Ibu kembali tersulut emosi, setengah berteriak beliau mengungkapkan fakta sebenarnya di depan orang-orang. 'Dia' yang tengah memeluk wanita itu terkejut, tergagap tak mampu berbicara lagi, sementara sebagian warga mulai geram.

'Dia' ingin punya anak perempuan, bukan seperti ibu, yang hanya mampu melahirkan anak laki-laki. Anak perempuan yang bisa didandani, dipakaikan bando dan juga rok-rok cantik, persis seperti aku ketika aku usia tiga tahun. Kala itu hampir tiap hari aku dipakaikan pakaian anak perempuan, didandani mirip boneka. Saat si bungsu lahir pun, dia terlihat kecewa, sebab yang terlihat adalah pisang ... bukan gua kecil.

Namun ibu tetaplah seorang wanita yang hebat, setelah emosinya mereda, beliau mengatakan telah merelakan lelaki itu untuk wanita muda yang menunduk malu dihadapan orang-orang.

Aku hanya bisa menangis memeluk kaki ibu bersama si bungsu saat kami diantarkan oleh mobil sewaan yang dibayar oleh para warga yang iba oleh nasib kami menuju stasiun. Sampai di stasiun, orang itu memberikan amplop pada ibu, katanya sebagai ongkos naik kereta.

Aku lapar, amat lapar karena dari pagi hanya makan roti pemberian pak satpam, sampai sore saat keributan terjadi belum sempat terisi makanan lagi. Nafsu makanku sudah hilang kala melihat ibu menangis, ditampar, dibanting ke tembok oleh 'dia'.

Dalam hati aku ingin membela ibu, tapi terlalu takut oleh mata merah yang menyala-nyala menghajar tubuh ringkih ibu . Beruntung si bungsu sempat makan ketika di rumah pak RT, namun tidak dengan ibu, dia pasti jauh lebih lapar dan lelah dibanding aku.

Kami tidur di peron stasiun, menunggu kereta esok hari. Tidur beralaskan koran bekas, di pangkuan ibu, sebab bahu dan lengannya masih dibalut perban. Kata beliau, tidak usah khawatir, beberapa hari lagi pasti akan sembuh. Mengenai dia, jika ada yang bertanya, beliau hanya mengatakan kalau kami tidak mendapatkan alamat terbarunya, jadi tidak ketemu. Ahhh ... rasanya aku ingin protes, namun tangis ibu membuat aku tak berdaya untuk mengiyakan.

Dengan mata setengah terpejam aku mulai memikirkan nasib kami esok nanti. Sebab kata ibu, mulai hari ini kami akan hidup ber-tujuh saja, tak perlu lagi menyebut nama'nya'.

Pulang ke rumah yang sejatinya berdiri di lahan milik keluarga'nya'. Sebab ibu dipinang ketika menjadi yatim-piatu dengan keadaan papa ... beliau dibesarkan oleh uluran tangan para tetangga.

Khilaf SuamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang