BAB 9

6.5K 398 14
                                    

Bulan ini mas Tri memutuskan untuk mengakhiri masa lajangnya. Dia menemukan calon istrinya melalui proses ta'aruf. Seorang gadis berperawakan kecil yang umurnya terpaut dua belas tahun dari kakakku itu.

Kebetulan aku melihat fotonya ketika mas Tri sedang menunjukkan foto gadis itu pada ibu untuk meminta restu. Agak aneh kalau menurutku dengan proses perjodohan mereka. Bagaimana tidak, mas Tri hanya diberi foto dan biodata singkat gadis itu, lalu tidak sampai sebulan keluarga kami datang ke rumah sang gadis untuk melamarnya. Hanya mas Tri dan kedua kakakku yang datang untuk prosesi tersebut.

"Pak, besok ikut kami ya! Besok Tri mau ijab" pinta mas Tri pada pria tua yang sedang asik mengunyah makanan yang diberikan mas Tri.

"Kamu kan laki-laki, bisa ijab sendiri, kenapa harus meminta bapak ikut? Lagi pula bapak sedang tidak enak badan," ucapnya enteng sekali.

Aku yang sedang membereskan dapur tak sengaja mendengarkan percakapan mereka ikut emosi. Ngomong tidak enak badan, tapi baru saja meminum secangkir besar es teh dari warungku, makan beberapa bungkus cemilan tanpa pernah meminta ijin atau berbicara denganku.

Entah, aku rasa ada yang salah dengan isi otak lelaki itu. Akhirnya mas Tri keluar dari kamar lelaki itu dengan wajah kecewa.

"Enggak apa-apa dek, mungkin bapak memang lagi capek" ujar mas Tri sambil menahan langkahku.

Rasanya aku benar-benar ingin mencekik pria tak tahu diri itu. Hampir satu tahun berlalu, perangainya sama sekali tidak berubah. Gemar merokok dengan minum kopi bersama para tetangga di warungku, mempersilahkan orang-orang makan dan minum tanpa harus membayar.


"Ambil saja, silahkan, nanti urusannya sama aku."

Selalu saja seperti itu tiap hari, tanpa pernah mengucapkan terima kasih padaku karena telah membiarkannya mentraktir teman-temannya setiap pagi atau sore hari di warungku. Si bungsu juga sudah angkat tangan dengan hal ini.


Walaupun mas Tri dan mas Catur selalu menutup kekurangan keuangan di warung, tetap saja aku merasa jengkel. Entah hati ini mampu atau tidak untuk menahannya selama satu tahun lagi.


Setiap hari kami harus mengelus dada, menahan emosi dengan tingkah konyolnya yang sengaja ingin merepotkan kami. Dia masih bisa berjalan tegak, namun pakaian kotor, piring makan hingga bungkus makanan maupun rokok tak pernah mau dibuang keluar kamar.


Akibatnya, aku maupun saudara-saudaraku yang harus membersihkannya agar kecoa dan tikus tidak merayap di tubuhnya. Hanya ucapan dari ibu yang mampu membuat kaki kami melangkah menghampiri lelaki itu.


Saat resepsi pernikahan mas Tri, pria tua itu menolak untuk ikut ke gedung. Dia lebih memilih di rumah, menonton TV daripada mendampingi anak lelakinya di pelaminan.

Untungnya semua orang sudah maklum dengan kondisi kami. Pria tua itu mungkin sudah tidak waras menurut hematku, kerap dia memandang sinis ke arah ibu. Padahal sejak kepulangannya, ibu selalu berlaku baik padanya.


"Dia memang bukan suami ibu lagi, tetapi sampai kapanpun dia tetap bapak kalian! Tolong, perlakukan dia seperti kalian memperlakukan ibu Le!"

Begitu ucapan ibu tiap kali aku maupun saudara-saudaraku mengeluh tentang sikap lelaki tua itu. Kami hanya bisa diam setiap ibu menasehati kami, dia khilaf, dia belum sadar, begitu terus yang dikatakan ibu.

*****       ******     *****

"Si Siti, istri muda bapak ternyata sudah menikah lagi satu tahun yang lalu bu."

"Ternyata bapak diusir dari sana bu,  tragisnya alasannya karena bapak tidak mampu menafkahi mereka lagi. Dia mengancam bapak tidak boleh kembali ke Bandung kalau belum membawa uang hasil penjualan rumah ini.  Sementara itu Siti sudah menjalin hubungan dengan duda tetangga mereka." Terang mas Tri yang baru saja pulang dari Bandung karena tugas dari kantor selama dua bulan.

Ternyata mas Tri sempat mencari keberadaan keluarga lelaki tua itu di Bandung.

"Ceritakan pelan-pelan pada bapakmu. Usahakan jangan membuat bapakmu tersinggung." Ibu menyodorkan sebungkus oleh-oleh kepada mas Tri untuk diberikan kepada pria tua di kamar itu.

Mas Tri mengangguk pelan kemudian masuk ke kamar lelaki itu. Cukup lama kami menunggu mas Tri keluar dari kamar. Samar-samar kami mendengar suara mas Tri dari dalam kamar, tanpa ada sahutan dari lawan bicaranya.

"Kalian sekarang sudah tahu keadaanku sebenarnya kan? Kalian boleh tertawa puas sekarang!"

"Pak, berhentilah berpikir buruk tentang kami, apalagi tentang ibu! Apa bapak pernah melihat atau mendengar kami menyumpahi ataupun menghina panjenengan?" seru mas Catur yang biasanya pendiam.

Sementara kami sudah siap-siap berdiri untuk melindungi ibu, karena lelaki itu mendekati ibu dengan mata menyala.

"Kamu bukan istriku lagi Min, jangan pernah berharap aku akan kembali padamu. Dan ingat, aku disini karena ini memang rumahku dan kalian ... sudah sewajarnya merawat aku sampai mati kalau mau mendapat rumah warisanku ini!" Dia berlalu setelah menunjuk tepat di wajah ibu.

"Dwi ... sudah, hentikan!"teriak ibu keras, tepat sebelum tinju mas Dwi melayang di wajah pria itu.

Kami sibuk menenangkan ibu dan juga mas Dwi, tanpa menoleh pada lelaki tua itu yang menuju ke warung. Setan tua itu, dengan santainya dia masuk kembali ke kamar dengan membawa sebungkus rokok dan seplastik penuh makanan ringan dari warungku.


Berhari-hari setelah peristiwa itu, aku melarang ibu untuk memberi makan lelaki tua itu. Aku sungguh tak rela melihat ibu diperlakukan sedemikian rupa olehnya. Hanya mas Tri dan istrinya yang sudah tinggal terpisah dari kami, rutin membawakan rantang makanan ke dalam kamarnya setiap hari.

Jika lelaki itu sedang sakit, maka mas Catur yang akan merawatnya, memanggilkan dokter sampai membayar orang untuk membersihkan kamarnya.

Kakak-kakak serta adikku memang sudah angkat tangan dengan dirinya. Dia memang sengaja membuat kamarnya kumuh dan bau, dengan pikiran kami yang akan kesulitan untuk membersihkannya.

Kalau saja doaku manjur dan bisa langsung dikabulkan, ingin rasanya aku meminta pada Tuhan.

'Ya Allah, Ya Robb'ku, jika dia memang layak untuk kembali pada kami, maka ubahlah dia agar menjadi manusia sebaik-baiknya. Namun jika memang dia bukan lagi pantas menjadi kepala keluarga kami, tolong berikan petunjukMu agar kami segera bisa melepaskannya, menjauh dari kehidupan kami kembali ... amin ....'

Khilaf SuamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang