Waktu tak akan pernah berhenti, dia akan terus berlalu, meluncur meninggalkan kisah-kisah yang tak mungkin dapat kita tebak. Perlahan tapi pasti Tuhan mulai membuka pintu rejeki kami ke arah yang lebih baik.
Mas Eko dan mas Dwi sudah mulai bisa menata kehidupan mereka sendiri, bahkan mulai membantu perekonomian ibu. Meski hanya sekedar membayar listrik dan membeli kebutuhan dapur, namun dengan wajah penuh syukur dan kecupan sayang, ibu selalu menerima pemberian mereka. Karena kedua kakakku tahu, ibu enggan menerima uang tunai, beliau selalu menolak dengan alasan uang kedua kakakku sebaiknya disimpan untuk kebutuhan masa depan mereka sendiri.
Sedangkan mas Tri yang sudah lulus SMA, memutuskan merantau. Mencoba mencari peruntungan di kota lain.
Dia berpamitan kepada kami untuk mencari kerja di Bandung. Arghh ... mengapa harus dikota itu, tidak cukupkah penjelasan yang diberikan ibu ketika kami baru pulang dari sana?
"Aku cuma ingin mencari pengalaman bu, mencoba mencari sesuatu yang selama ini harusnya aku dapatkan" terang mas Tri ketika dia mengutarakan tempat tujuan ia pergi.
Sebenarnya aku dan Pamungkas ingin menjawab, namun mungkin karena ibu melihat reaksi kami, segera ibu memeluk mas Tri. Meredamkan gejolak kakakku itu, aku melihat berkali-kali bahu mas Tri bergetar dalam pelukan ibu, menahan isak tangis.
Dengan berat hati ibu akhirnya merestui mas Tri pergi, mencari kerja sembari berharap menemukan asa yang bagiku hanya sebuah luka lama. Mas Tri pergi hanya dengan sebuah tas ransel kumal berisi beberapa potong pakaian dan berkas ijazah sekolahnya.
Uang saku pun hanya seadanya, sisa tabungan yang tak seberapa, karena telah digunakan untuk menebus ijazah.
Berat kami melepas kepergian mas Tri, kenangan buruk bertahun-tahun yang kami simpan rapat kembali terbayang di pelupuk mata. Hanya berharap agar Tuhan kali ini dapat melindungi saudaraku itu dari tangan-tangan jahat manusia lainnya.
Aku percaya, mas Tri adalah sosok yang tangguh, dia adalah imam dalam sholat kami, dia sangat yakin bahwa takdir Tuhan tidak pernah salah. Sementara aku dan si bungsu hanya bisa menunduk, menatapi lantai, mencoba mengusir rekaman adegan jahanam yang selama bertahun-tahun susah payah ingin kami buang.
Di sisi lain, ibu tak bisa mencegah keinginan mas Tri yang begitu kuat untuk mencari sosok yang selama ini telah menelantarkan kami bertahun-tahun. Ya, ibu pasti paham betul sifat mas Tri yang cenderung lebih keras kepala dibanding anak-anaknya yang lain.
Tak ada pilihan lagi, akhirnya ibu memberikan alamat terakhir lelaki itu pada mas Tri, sambil berpesan bahwa apapun yang terjadi, semuanya adalah takdir, tak perlu menyalahkan siapapun dan apapun hasilnya nanti tidak boleh ada dendam di hati kami semua.
Oh ibu, aku tidak pernah mengerti bagaimana jalan pikiranmu yang seperti malaikat itu. Andai saja aku di posisimu, tentu saja sudah aku hasut anak-anakmu ini untuk membenci, menghajar bahkan membunuh lelaki pengecut itu.
***** ***** ***** ***** *****
Empat bulan sudah mas Tri pergi, tanpa kabar, tanpa berita. Perasaan cemas meliputi hati kami semua. Hingga akhirnya suatu hari mas Dwi memutuskan untuk menyusul mas Tri ke Bandung.
Ibu awalnya tak menyetujui rencana itu, namun karena takut terjadi sesuatu pada mas Tri, akhirnya mas Dwi diijinkan menyusulnya, tapi harus ditemani oleh mas Eko.
"Setidaknya berdua lebih baik daripada seorang diri le. Bandung itu luas dan ramai bila dibandingkan Solo. Kalian hanya harus fokus mencari adik kalian, jangan memikirkan hal lainnya, ingat itu Le," pesan ibu sambil mengusap kepala mas Eko dan mas Dwi ketika mereka berdua berpamitan.
Kembali aku melihat adegan perpisahan diantara kami. Hanya si bungsu yang aku dekap erat saat itu. Satu-satunya saudara yang masih tersisa untuk menemani hariku bersama ibu.
Setiap hari kami berdoa di antara sujud-sujud kami, agar saudara-saudara kami yang sedang jauh disana, dihindarkan dari segala macam penyakit dan mara bahaya. Agar secepatnya saudara-saudara kami dapat berkumpul kembali di rumah mungil ini, menunaikan tugas dan bakti kami kepada ibu.
Akhirnya, setelah tiga minggu berlalu mereka berhasil kembali ke rumah. Ada perasaan haru yang membuncah di dada ini ketika kami melihat kedatangan kakak-kakakku.
Terlebih ketika aku kembali melihat dan mendengar suara mas Tri, dia adalah panutanku selama ini. Dia seorang kakak, guru, teman sekaligus mentor terbaikku selama ini.
Ibu langsung menyuruh kakak-kakakku untuk istirahat terlebih dahulu, walaupun sebenarnya kami ingin bertanya lebih detail tentang kejadian yang mereka alami di Bandung.
Namun ibu sepertinya paham apa yang sedang dialami oleh mereka, karena wajah mereka terlihat begitu letih dan pucat.
" Si Tri kecopetan di terminal bu, tasnya dibobol dan dompetnya diambil. Dia hidup menumpang di salah satu rumah warga sambil membantu membersihkan masjid disana" terang mas Eko sambil menatap nanar wajah mas Tri yang sedang tertidur.
Kami hanya bisa menghela nafas mendengarkan cerita mas Eko dan mas Dwi. Tenyata hampir dua minggu mas Tri hidup menumpang di rumah warga. Sampai akhirnya ada jama'ah masjid yang berbaik hati menawarinya untuk bekerja di toko milik jama'ah itu.
"Setiap hari setelah selesai bekerja, dia berjalan kaki menyusuri tiap sudut tempat, bertanya pada satu orang ke orang lain. Dia mencoba mencari keberadaan bapak, bu..." ucap mas Dwi lirih.
Kembali aku mengutuk dalam hati akan keberadaan lelaki itu, seorang pria yang telah menutup mata hati terhadap kami, anak-anaknya.
Dia yang harusnya menjaga dan membesarkan kami, bukan malah seenaknya pergi mencari pelampisan dengan wanita lain. Kami terus menguatkan pegangan tangan saat mendengar kisah mas Tri yang diceritakan oleh kedua kakakku.
Hingga suatu hari mas Tri berhasil menemukan alamat terbaru lelaki itu. Bergegas dia meminta ijin untuk tidak masuk kerja, berharap dapat segera menemuinya. Namun ternyata sampai di tempat itu, justru mas Tri diusir oleh istri baru'nya'.
Pulang ke mess dengan perasaan hancur, mas Tri sudah tak memiliki semangat lagi. Berhari-hari waktunya hanya dihabiskan di masjid, mencoba mengadukan nasib pada sang Khalik. Hingga akhirnya mas Eko dan mas Dwi menemukannya tengah berada di sebuah masjid ketika kumandang adzan sholat Jum'at.
Setelah melepas penat dan juga rindu, ketiga kakakku bergegas menemui 'dia'. Namun sekali lagi kenyataan pahit yang mereka temui. Di rumah itu, memang mereka bertemu dengan dia, bahkan mereka sempat duduk bersama.
Tapi ketika mas Eko menanyakan kejelasan status mereka sebagai keluarga, jawabannya meluluh lantakkan hati saudara-saudaraku.
"Kalau kalian datang kesini untuk memintaku kembali pada ibu kalian, bapak jelas tidak bisa. Disini bapak sudah memiliki kehidupan baru, lihatlah itu adik-adik kalian, si kembar Rinta dan Rasyid," terang lelaki itu sambil menunjukkan kedua anak kecil yang tengah dipangku oleh istri mudanya.
"Tapi kalau kalian ingin tinggal disini, dengan senang hati bapak dan ibu akan merawat kalian. Ibu kalian ini adalah wanita cantik yang baik hati, mirip dengan bidadari," ujarnya seraya mengajak istri barunya untuk bergabung bersama di ruangan itu.
Tanpa mengucap sepatah kata pun, ketiga kakakku langsung meninggalkan rumah itu. Berusaha sekuat hati untuk tidak menangis, menahan gejolak panas di dada yang hendak meledak.
Kami memang dididik untuk menjadi lelaki yang tangguh, yang harus kuat menahan setiap hinaan, cemooh bahkan penolakan dari seorang yang dinamakan ayah.
Biar waktu yang akan menghapus air mata ini, mengobati luka hati yang terkoyak terlalu dalam. Bukankah akan selalu ada sinar mentari setelah gelap malam menyerang?
Hanya dalam sujud kami sadar bahwa memang hidup harus selalu menatap ke bawah, agar kami dapat merasakan nikmat ketika badan tegak, mengumandangkan adzan, tanda kemenangan.
Kami harus yakin, suatu saat kami dapat memenangi rasa sakit di hati ini.
![](https://img.wattpad.com/cover/200430309-288-k563489.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Khilaf Suami
General FictionCerita tentang perjuangan seorang istri membesarkan enam buah hatinya selama puluhan tahun karena penghianatan suami. Kala telah renta, sang suami datang kembali untuk menjual rumah yang telah dtelantarkan bertahun-tahun,rumah yang selama puluhan ta...