BAB 11

11.6K 521 53
                                    

Beberapa hari ini saudara-saudaraku mulai bergantian menunggui pria tua itu. Fisiknya yang sudah mulai melemah, makan dan minum juga mulai tak teratur lagi. Kata si bungsu, akhir-akhir ini jarang sekali dia mau membuka mulutnya untuk makan, meski disuapi oleh anak-anaknya.

"Kita bawa saja bapak ke rumah sakit ya Bu?" usul mas Tri ketika dia keluar dari kamar pria itu untuk mengganti sarung dan juga pakaiannya.

"Ibu terserah sama kalian saja, yang penting bapakmu setuju."

"Bapak sudah mulai melantur bu, kadang dia berbicara sendiri. Bahkan dia kerap memakan rambut maupun isi bantal, padahal ada makanan di piringnya," Mas Eko ikut bercerita kepada kami.

Menurut saudara-saudaraku, pria tua itu sudah mulai pikun. Tak bisa lagi menyebut nama anak dan menantunya dengan benar, bahkan beberapa kali namaku yang disebutnya ketika salah satu dari saudaraku menyuapi maupun membersihkan badannya.

Sedangkan aku, sejak kejadian ibu disembur bubur, tak pernah sekalipun aku berminat untuk melihat raganya. Aku menjadi lebih pendendam dari sebelumnya karena kejadian itu, bagiku lebih baik dia mati saja daripada menjadi benalu di rumah kami.

Setiap hari ibu dan juga saudara-saudaraku selalu saja membujukku agar mau menemui pria itu. Tapi aku sama kerasnya dengan pria itu. Setiap dia hendak dibopong untuk ke rumah sakit, selalu menolak keras, sama halnya dengan aku yang selalu menolak untuk menemui pria tua itu. Mungkin sifat keras kepala dan juga pendendam  ini yang diturunkannya padaku.

Nasehat serta bujukan saudara-saudaraku hanya masuk-keluar telingaku saja, tanpa pernah aku mau menggubrisnya. Hingga sore itu aku dipanggil oleh ibu.

"Le, sekali ini saja, tengoklah bapakmu. Keadaannya sudah sangat memprihatinkan. Cuma kamu yang dia ingat, Le. Ibu mohon sekali ini saja!" Suara ibu terdengar parau, lirih menahan air mata yang hendak menetes di pipinya. Aku mengambil tangan keriput yang selama tiga puluh dua tahun telah merawat tubuh ini, meletakkannya di dadaku sembari mengangguk pelan dan tersenyum tipis pada ibu.

"Terima kasih ya Le," ucap ibu bergetar, nampak menahan tangisnya. Aku rengkuh tubuh tua beliau, berharap dapat mengukir secercah kebahagiaan di hatinya dengan jawabanku.

********

"Makanlah.. buka mulutmu!" aku menyodorkan sesedok bubur ayam ke  hadapan pria itu. Dia melirik, tapi tak ada gerakan dari tangan maupun mulutnya. Kucoba beberapa kali, namun tetap saja dia tak bergeming. Habis sudah kesabaranku, jika saja bukan karena ibu, tentu aku tak akan sudi berada di kamar ini.

"Ini terakhir kali aku memintamu membuka mulut, kalau masih tidak mau aku akan pergi dari sini!"
"Dan, hari ini aku pastikan tidak ada yang akan memberikan makan lagi. Kamu pikir, jika kamu tidak makan, kamu bisa langsung mati? Tidak segampang itu pak, kamu saja belum ingat dosamu pada kami dan juga ibu!"bisikku di telinganya, setengah mati menahan emosi.

"Tak hitung sampai tiga. Satu... dua... ti..."akhirnya mulut itu terbuka. Tanpa menunggu lagi, segera dan secepat mungkin aku suapi lelaki itu, sambil sesekali aku mengelap mulutnya yang belepotan karena makanan yang tak sempurna ia kunyah.

Saat suapan terakhir, aku mencium bau yang tidak sedap yang tiba-tiba muncul. Dan benar saja, dia sedang buang air besar sambil menelan suapan terakhir. Akhirnya dengan terpaksa aku membersihkan tubuh kurus itu, karena sudah terlanjur berjanji pada ibu untuk merawat lelaki tua ini sehari penuh.

Ketika aku membalikkan tubuhnya, aku terkejut setengah mati. Aku dapati luka menganga tepat di ruas terakhir sebelum tulang ekor dengan kulit dan dagingnya mulai mengelupas dan menampakkan sedikit warna putih dari bagian tulangnya.

Ya Allah, anak macam apa aku ini, yang tidak pernah mau mengetahui keadaan fisik bapakku sendiri. Aku meruntuki diri sendiri yang terlalu keras kepala hingga tak pernah mau membesuk lelaki tua yang kini berbaring lemah di hadapanku. Sekuat tenaga aku menahan air mata ini agar tidak tumpah. Dengan hati-hati aku mulai membersihkan tubuh bapak dari kotorannya yang belepotan mengenai pakaian serta selimut yang digunakan.

Tak kuhiraukan lagi aroma tak sedap yang keluar dari tubuh yang sedang aku bersihkan. Sementara itu, bapak hanya diam, pasrah bahkan menurut ketika aku mulai memakaikan baju serta sarungnya kembali.

"Le, jangan pergi!" tangan kurus itu bergetar saat menahan tanganku yang hendak membereskan piring kotor dari mejanya.

"Aku cuma mau menyingkirkan piring kotor ini saja, Pak" jawabku pelan, namun tetap saja dia erat memegang tanganku sembari menggeleng. Akhirnya aku mengalah, membiarkan dia memegang tanganku sampai tertidur. Setelah ia tertidur, aku keluar dari kamar dengan membawa baju serta piring kotor yang dia gunakan tadi.

"Bu, maafkan Ponco..." langsung aku bersimpuh di kaki ibu. Kami berpelukan erat, menangis dalam diam. Sebuah beban yang selama bertahun-tahun aku pendam seolah-olah hilang ketika aku menumpahkan air mataku di bahu ibu.

Ternyata luka itu disebabkan oleh kebiasaan bapak yang buang air besar dan kecil di kasur dengan rentan waktu yang cukup lama sebelum saudara-saudaraku datang untuk membersihkannya. Dia tidak pernah mau memanggil ataupun minta tolong pada anak maupun menantunya untuk membersihkan dirinya. Hingga akhirnya saat ada luka kecil langsung menjadi infeksi dan menyebar hingga keadaannya seperti sekarang. Jika hendak dibawa ke dokter maupun dipanggilkan tenaga medis, dia selalu menolak dan marah-marah. Beberapa kali dipakaikan diapers, bapak selalu melepasnya serta mengumpat kasar.

Tiga hari sebelum aku menemui bapak, ternyata lelaki itu tidak pernah mau membuka mulutnya untuk menerima suapan makanan dari saudara-saudaraku. Entahlah, aku sendiri tak tahu apa yang akan terjadi nanti, yang jelas hari ini aku akan menemaninya sehari penuh sesuai janjiku.

Saat selesai shalat dzuhur, aku kembali ke dalam kamar bapak. Dan dia sepertinya tengah menungguku, terlihat dari gerakan tangannya yang menunjuk padaku. Segera aku berada disamping, ketika hendak memijit kakinya, aku merasakan kaki itu dingin, dan aku langsung mengambil selimut untuk menutupinya. Dia memberi isyarat agar aku mendekat ke wajahnya. Kulihat hidung bapak mulai memutih dan agak mengempis.

"Mm..ma..maafh" nafasnya terdengar berat saat aku mendekatkan wajahku ke hadapannya. Aku mengangguk, menunduk dalam, mencoba menyembunyikan tetesan yang mulai keluar dari kedua mata ini. Aku merasa menjadi anak yang durhaka, yang tak pernah mau merawat bapaknya sendiri. Aku menggenggam tangannya yang mulai berkeriput dan dingin.

Aku meminta maaf untuk pertama kali dalam hidupku pada sosok rapuh yang kini berbaring di hadapanku. Berkali-kali aku mengucapkan maaf sambil mengelap air mata dan ingus yang mulai keluar tak beraturan. Sementaran dia hanya mengedip-edipkan matanya lemah padaku.

Bapak batuk beberapa kali, sehingga aku mulai memanggil saudara-saudaraku yang lain. Aku meminta bapak agar mau dibawa ke dokter, namun beliau hanya menggeleng lemah. Hari itu kami menunggui bapak secara bergantian di kamarnya.

Tak putus kami melantukan surah Yasin beserta surah-surah yang lainnya. Berharap dengan mendengarkan lantunan ayat-ayat yang kami lafalkan dapat sedikit mengurangi rasa sakit yang ia rasakan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 19, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Khilaf SuamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang