"Minggu depan aku jadi berangkat ke Bandung, dek. Terpaksa sepeda kita harus dijual untuk ongkos, kamu ndak apa-apa kan?" tanyaku pada Minah istriku yang sedang menggendong si bungsu.
"Ndak apa-apa mas, aku ikhlas, semoga Allah melancarkan pekerjaan jenengan disana."
Sudah dua bulan aku memikirkan rencana untuk merantau ke Bandung. Salah satu temanku mengatakan bahwa ada lowongan kerja untukku di bengkel milik saudaranya dengan gaji tiga kali lipat dari pada di Solo. Tentu saja aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas ini, mengingat kebutuhan rumah semakin bertambah.
Bayangkan saja, aku harus menghidupi enam orang anak dan seorang istri dengan pendapatan yang minim. Si Minah, istriku sudah tiga tahun ini juga terpaksa menjadi pekerja serabutan di rumah tetangga, hal ini membuatku semakin malu. Bagaimana tidak, aku, Suparwo bin Prawiro Mangunharjo, salah seorang yang disegani di kampung ini ternyata beristrikan seorang pembantu. Pakerjaan yang menguras keringat itulah yang membuat penampilan istri terlihat lusuh.
Padahal dulu Minah adalah seorang gadis cantik yang berkulit putih dengan body yang proposional. Namun karena keseringan hamil dan melahirkan, ditambah kegiatannya mengurus rumah, segala pesona istriku itu mulai hilang. Masalah fisik aku masih bisa maklum, tapi ada satu hal yang paling membuat aku kecewa pada wanita itu. Saat kelahiran anak pertama, kedua hingga ketiga, aku masih merasa bahagia, bersyukur atas rejeki dari Tuhan ini.
Namun lambat laun, aku mulai jenuh dengan keadaan pejantan-pejantan kecilku itu. Mereka super usil, jahil dan tidak bisa diam. Jarak usia masing-masing terpaut dua tahun, karena kami tidak ikut KB. Makanya ibuku menyuruhku untuk berpuasa sampai setahun lamanya. Namun ketika masa puasa usai, aku melepaskan apa yang sudah selama setahun kutahan-tahan. Hasilnya, tahun berikutnya istriku hamil lagi, hingga enam kali berturut-turut.
Saat kehamilan anak keempat, aku sangat berharap jika bayi yang dikandung berjenis kelamin perempuan. Ya, aku ingin memiliki anak yang cantik, putih, lucu dan menggemaskan seperti wajah Minah saat pertama kali aku bertemu dengannya. Aku ingin rasa kangenku pada sosok Minah yang dulu, dapat terobati. Namun, harapan tinggal harapan, bayi kami yang keempat tetap terlahir sebagai pejantan. Kulitnya putih dengan wajah yang menggemaskan.
Aku berangkat kerja mulai dari jam 8 pagi dan pulang jam 4 sore, namun jika kondisi bengkel sedang ramai adzan magrib baru bisa sampai ke rumah. Pulang disambut dengan senyum sumringah istriku yang menggendong anakku serta keadaan rumah yang berantakan, membuat rasa lelahku bertambah. Aku lebih sering menghabiskan waktu di pos ronda, daripada harus di rumah mendengar tangisan anakku yang merengek minta disusui.
Selanjutnya anakku yang kelima lahir, dia benar-benar menggemaskan. Sering kali aku membelikan baju anak perempuan pada bayiku itu. Cantik sekali jika dia memakai bando dan gaun khas bayi perempuan lainnya, meski kadang istri dan saudara-saudaraku menegurku karena hal ini. Peduli setan, aku tak akan menghiraukan mereka, karena yang satu ini mirip sekali dengan wajah ibunya, namun dengan jenis kelamin berbeda. Yang terakhir si bungsu, bayinya saja sudah 4,6kg waktu dia lahir.
Kelahiran terakhir membuat si Minah harus disteril karena dinding rahimnya mulai menipis, sejalan dengan kantongku yang juga semakin tipis. Saat si bungsu berumur lima bulan, akhirnya Minah meminta ijin padaku untuk membantu mencari nafkah. Dan hal itu juga yang membuat aku tidak betah di rumah karena keadaan rumah yang semakin tidak 'kondusif'. Bagaimana tidak, ketika aku pulang lebih awal, pasti rumah masih berantakan dengan kondisi anak-anak yang sebagian belum mandi.
Walaupun kuakui semenjak si Minah kerja, menu makanan dari dapur semakin variatif. Sering kali dia pulang dari rumah majikan dengan membawa sayur dan lauk sisa dari menu sarapan maupun makan siang yang tidak habis saat dihidangkan. Efek positifnya, anak-anakku mulai kelihatan lebih berisi daripada sebelumnya yang hanya terlihat kurus kering karena kurang makan. Soal pakaian, aku juga tak kerepotan lagi, sebab beberapa kali aku lihat si Minah dibekali pakaian bekas dari anak-anak majikan.
Mau dibilang suami yang tega? Ah, sebetulnya tidak juga, karena aku tahu pasti tentang kehidupan Minah dari kecil. Dia dulu memiliki kedua orang tua serta adik perempuan yang mengontrak rumah di desa tetangga. Namun ketika berusia delapan atau sembilan tahun, orang tua dan adiknya merantau ke Jakarta, dia kala itu dititipkan ke tetangga dengan alasan mereka hendak ke rumah saudara dulu.
Ternyata keluarga yang diharapkan tidak pernah kembali, dan kehidupan si Minah mulai berubah. Sekolahnya yang baru menginjak kelas tiga harus ditinggalkan, dia terpaksa menjadi tenaga serabutan untuk memenuhi kebutuhan perut. Para tetangganya juga tak sanggup berbuat banyak, karena nasib merekapun sama, istilahnya miskin berjamaah. Hingga suatu hari saat Minah berusia enam belas tahun, aku bertemu dengannya dan langsung jatuh iba disertai jatuh cinta padanya.
Ya, dia adalah gadis cantik pendiam yang bekerja sebagai pembantu di rumah bosku. Tak perlu menunggu lama, aku langsung melamarnya dan tentu saja langsung diterima pula. Jadilah dia istri sah ku, dengan bantuan wali hakim. Aku menaikkan derajatnya dari seorang pembantu menjadi istri Suparwo bin Prawiro Mangunharjo yang notabene merupakan pemuda yang paling banyak digandrungi gadis-gadis di kampungku.
◇◇◇◇◇◇◇◇◇
Bulan-bulan awal di Bandung adalah bulan penuh perjuangan, mengingat seumur hidupku baru kali ini aku jauh dari keluarga dan orang tua. Aku cukup beruntung karena bengkel karoseri tempat bekerjaku menyediakan mess karyawan, jadi aku bisa menyisihkan gajiku untuk membeli tiket kereta api setiap dua bulan sekali untuk kembali ke Solo, menjumpai anak-istriku. Setiap bulan tak lupa aku mengirimkan setengah gajiku pada Minah melalui wessel pos untuk menutupi kebutuhan hidup keluargaku. Sebenarnya ketika melihat senyum mereka mengembang ketika melihat kedatanganku maupun saat aku menyerahkan uang gajiku, aku merasa bangga dan bahagia.
Namun rutinitas dua bulanan yang menyita waktu dan tenaga itu kadang membuatku merasa lelah. Hingga suatu hari, aku enggan pulang karena badanku yang sedang meriang, aku memutuskan berkirim surat saja. Setelah esoknya terasa lebih sehat, aku memutuskan jalan-jalan menikmati udara segar Bandung yang selama ini aku abaikan. Ya, tiap kali mendapat cuti libur, aku memang selalu memilih pulang ke Solo.
Di hari itu pula aku bertemu dengan Siti, seorang gadis cantik yang usianya terpaut dua belas tahun dariku. Wajahnya cantik dengan tubuh bak gitar spanyol. Bisa ditebak, dengan pesona seorang Suparwo, sekali senyum saja, para wanita akan langsung klepek-klepek. Tapi, Siti ini memang unik, gayanya yang centil dan suaranya yang serak-serak menggoda berhasil meruntuhkan tembok kesetiaan yang selama ini aku bangun bersama Minah.
Tak perlu waktu lama, Siti yang hampir tiap hari menghampiri tempat kerjaku dengan seribu satu macam alasan berhasil membuat aku menemukan zona nyaman. Akhirnya aku memutuskan untuk menikah siri dengannya, sebab dia sendiri juga tau statusku yang sudah beristri. Dia memang wanita yang penuh pengertian dan juga perhatian. Berhubung sekarang aku sudah menikahi Siti, maka uang gaji aku serahkan sepenuhnya pada Siti untuk kebutuhan hidup kami di kontrakan.
xxxxxx
Sudah hampir empat bulan aku pensiun dari bengkel. Keadaan ekonomiku semakin memprihatinkan. Padahal kebutuhan hidup semakin bertambah, karena kedua anak kembarku sudah duduk di bangku SMP. Uang pesangon dari perusahaan sudah ku gunakan untuk membayar kontrakan dua tahun ke depan, serta biaya sekolah anak-anakku. Siti semakin hari semakin tajam saja mulutnya, mengomel tentang usiaku yang tak laku digunakan untuk mencari kerja lagi, tentang kacaunya ekonomi kami.
"Kang, rumah akang yang di Jawa dijual saja, uangnya buat beli rumah disini!" usulnya ketika kami baru selesai sarapan.
"Terus gimana Minah dan anak-anaknya nanti, sayang?"
"Halah... ngomong aja kalau akang masih ada rasa sama mereka. Kalau gitu, akang sekalian aja pulang kesana, gak usah balik kesini!"
"Iya-iya, minggu depan akang akan ke Jawa buat jual rumah disana, demi kamu dan anak-anak. Udah, jangan ngambek lagi ya?"
Hari itu juga aku mulai menyusun rencana untuk memuluskan aksiku di Jawa nanti. Aku pikir, tanah dari orang tuaku harganya pasti lumayan, kalau nilai bangunannya, sama sekali tak berharga. Bangunan dari bambu lapuk, kena angin sedikit saja pasti sudah ambruk. Ah, demi tanggung jawabku sebagai kepala keluarga yang bijaksana, tentu aku harus berbuat adil pada Siti. Bukankah selama ini dia rela hidup mengontrak denganku, sedang disana si Minah hidup nyaman dengan saudara-saudaraku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Khilaf Suami
Aktuelle LiteraturCerita tentang perjuangan seorang istri membesarkan enam buah hatinya selama puluhan tahun karena penghianatan suami. Kala telah renta, sang suami datang kembali untuk menjual rumah yang telah dtelantarkan bertahun-tahun,rumah yang selama puluhan ta...