Bab 6

6.3K 430 16
                                    


Tahun-tahun berikutnya adalah tahun penuh perjuangan kami untuk dapat bangkit dari keterpurukan. Mencoba mengubur kenangan pahit masa lalu.

Mas Tri mendapatkan pekerjaan di salah satu perusahaan rokok di kota kami. Mas Catur sudah lulus sekolah, sedang mencoba memasukan lamaran kerja di beberapa tempat.

Sedangkan mas Eko sudah berhasil membeli becak sendiri dengan pemasukan yang mulai meningkat. Mas Dwi memegang beberapa ruko sebagai lahan parkirnya.

Aku dan Pamungkas hanya diwajibkan fokus pada sekolah kami. Seluruh biaya pendidikan ditanggung oleh kakak-kakakku. Ibu sudah dua bulan ini berhenti bekerja dikarenakan batuk yang terus menerus.

Khawatir dengan keadaan ibu, mas Eko mengajak beliau untuk berobat ke puskesmas. Ternyata dari puskesmas ibu harus dirujuk ke rumah sakit.

Setelah melakukan observasi dan serangkaian tes di rumah sakit, dokter menyimpulkan bahwa paru-paru ibu mengalami masalah. Ada tumor yang bersarang di paru-paru ibu sebelah kiri. Hal itu pula yang menyebabkan batuk ibu kadang disertai darah, bernapas pun kadang sulit, sesak di dada kata beliau.

Akhirnya ibu diharuskan rawat inap, mengingat tekanan darah dan juga gula darah ibu yang tinggi.

Kami semua terkejut atas penjelasan dokter. Sebab selama ini, ibu tidak pernah mengeluhkan apapun tentang kondisi fisik beliau. Untung saja saat itu, aku baru menyelesaikan ujian nasional.

Ingin meringankan beban kakak-kakakku, akhirnya aku meminta ijin untuk menemani ibu selama perawatan di rumah sakit.

Mas Eko dan mas Dwi segera bergegas mencari persyaratan agar ibu bisa menggunakan fasilitas Jamkesmas selama dirawat. Mereka berdua kebetulan punya hubungan baik dengan pak Lurah, dibeberapa kesempatan, keduanya sering diminta oleh pihak kelurahan untuk menjadi anggota Kamtibmas di kampung kami.

Sementara mas Tri dan mas Catur yang menanggung segala keperluan kami selama di rumah sakit.

Akhirnya setelah tiga minggu ibu dirawat inap, beliau menjalani tindakan operasi untuk mengangkat tumor di paru-parunya.

Sebelumnya, operasi terus ditunda karena kadar gula darah ibu yang tak kunjung stabil. Mungkin beban pikiran yang membuat gula darah ibu sulit stabil. Setiap hari kami bergantian menunggui ibu, siang hari, aku seorang diri, sorenya diganti oleh mas Tri dan mas Catur. Ketika menjelang jam sepuluh malam hingga pagi, mas Eko dan mas Dwi yang menemani beliau.

Para tetangga dan saudara-saudara kami silih berganti membesuk ibu. Mereka menyelipkan amplop di bawah bantal ibu ketika hendak berpamitan pulang.

Dari amplop itu pula ibu memberiku uang agar aku dapat membeli makanan dan minuman, mengingat jarak rumah ke rumah sakit tidaklah dekat. Kakak-kakakku memang memberi aku uang untuk biaya transportasi, dan bila masih ada sisa, selebihnya aku simpan jika suatu saat ibu membutuhkannya.

Hampir sebulan aku di rumah sakit, aku bahkan sampai hafal nama-nama petugas dan perawat yang bertugas di bangsal ibu. Mereka sangat baik dan ramah, terkadang beberapa dari mereka membawakan aku makanan jika aku tak bisa keluar mencari makan.

Ya, kala itu obat pasien harus diambil oleh keluarga yang menunggui. Otomatis hampir tiap hari, aku ikut mengantri obat untuk ibu. Hanya mengantri dua sampai tiga jam, bagiku tak masalah, toh selama ini ibu menghabiskan seluruh waktunya untuk kami.

☆☆☆☆ ☆☆☆☆ ☆☆☆☆

Alhamdulillah perekonomian keluarga kami semakin membaik. Gubuk reyot kami telah diubah menjadi bangunan permanen, hasil jerih payah anak-anak ibu.

Mas Tri mendapat promosi jabatan di tempat ia bekerja, mas Catur juga mendapat pekerjaan yang jauh lebih baik dari tempat sebelumnya. Secara ekonomi, kami sudah tak pernah merasakan lapar lagi.

Mas Eko dan mas Dwi bahkan sudah mengucapkan ijab qobul secara bersamaan kepada wanita pilihan masing-masing. Mereka memilih untuk menyewa kontrakan mungil di sekitar rumah.

Bukan apa-apa, karena ukuran rumah kami yang memang tak seberapa rasanya sulit untuk ditempati oleh tiga KK sekaligus. Ditambah lagi, rencana mas Tri dan mas Eko untuk membuka usaha warung kopi 24 jam yang akan dikelola oleh aku dan si bungsu di halaman rumah kami.

Ya, hampir tiga tahun setelah lulus sekolah, aku sepertinya sulit untuk menetap di satu jenis pekerjaan. Tiga sampai enam bulan paling lama aku bisa bertahan di tempat kerja. Ada perasaan yang tidak nyaman, yang sulit dijelaskan ketika aku bekerja di tempat orang.

Si bungsu juga lebih tertarik dengan tawaran kedua kakak kami, dibanding bekerja di luar. Setidaknya ada kami berdua yang akan menemani ibu di rumah sembari menjaga warung kopi.

Usaha memang tak pernah menghianati hasil. Warung kopi yang aku kelola bersama si bungsu, perlahan tapi pasti mulai ramai didatangi pembeli. Pagi sampai sore aku yang menjaga, dan saat malam hingga dini hari, giliran Pamungkas yang melayani pembeli.

Akhir-akhir ini kesehatan ibu memang kurang baik, hingga kami memutuskan untuk rutin memeriksakan ibu ke rumah sakit. Beliau diantar dan ditunggui oleh mas Eko dengan mengendarai becak milik mas Eko. Yang terpenting bagi kami saat ini adalah kesehatan dan kebahagiaan ibu.

Ibu adalah wanita sederhana yang luar biasa bagi keluarga kami. Setiap minggu, saat aku menerima upah bagi hasil antara aku dan si bungsu aku selalu tanya pada beliau, ingin makan apa?

Jawaban ibu sepele sekali, "belikanlah ibu ini singkong dan ubi mentah, nanti bakarlah dan ajak saudara-saudaramu untuk makan bersama."

Aku mengerti, mungkin ibu rindu berkumpul dan makan bersama anak-anaknya seperti saat kami kecil dulu. Waktu itu sering kali singkong, ubi dan jagung (bila beruntung) menjadi santapan di malam hari kami.

Kedua kakakku yang sudah berumah tangga, hampir tak pernah makan bersama di rumah kami. Mas Tri dan mas Catur juga jarang berkumpul, mengingat jadwal kerja yang semakin sibuk.

Namun tiap hari Minggu kami sekeluarga, ditambah istri serta cucu-cucu ibu menyempatkan diri untuk menemani ibu. Sejak sakit yang diderita ibu, kondisi fisik beliau memang jauh menurun.

Namun beliau tak pernah mau berpangku tangan, masih saja nekat ke pasar untuk berbelanja, memasak untuk kami dan juga cucu-cucunya. Tiap malam hari, ketika mas Tri bisa pulang kerja sore, beliau meminta mas Tri untuk mengajarinya mengaji.

"Sepanjang hidup ibu, hanya hal ini yang ibu sesalkan le, ibu tidak pernah mengenal tulisan Arab. Ibu merasa jauh lebih bodoh dari apapun karena hanya bisa menjadi pendengar, tanpa bisa membaca surat-surat indah yang kamu lantunkan setiap malam," ucap ibu setelah mas Tri menutup buku Iqro selepas mengajari ibu membaca huruf hijaiyah.

Ya, sepengetahuanku ibu hanya bisa baca-tulis serta berhitung . Untuk membaca dan menulis saja, bahkan baru bisa dikuasai oleh beliau ketika mas Eko lahir. Itupun karena beliau meminta bulek Wanti, adik iparnya yang juga merupakan guru di sekolah dasar.

Kami memaklumi hal itu, mengingat sedari kecil ibu hanya hidup seorang diri, menyambung hidup dari uluran tangan tetangga yang memberi makan, pakaian hingga pekerjaan.

Ibuku wanita yang hebat itu telah merasakan getirnya kehidupan sejak kecil hingga ia dewasa bahkan sampai berkeluarga. Kini tugas kami untuk menghapus air matanya, mengusap peluh di badannya serta mengganti tangis menjadi tawanya.

Hampir tiap malam dengan telaten mas Tri mengajari ibu mengaji serta menghafalkan surat-surat pendek Al-Qur'an. Ibu ingin, hari-harinya dapat di isi dengan lantunan ayat suci agar kelak dapat meringankan sakitnya siksa neraka.

Oh ibu, surgaku, kami berenam tiap malam tak pernah berhenti meminta pada Sang Pencipta agar engkau nanti dijauhkan dari siksa api neraka.

Agar di usia senjamu nanti kami dapat mengukirkan senyum bangga di wajahmu atas kehidupan kami. Kuatkan ragamu ibu, jalan kita masih panjang, aku percaya pintu kebahagiaan masih akan terus terbuka lebar untuk kita di masa yang akan datang.

Khilaf SuamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang