Bab 7

6.3K 450 14
                                    

"Permisi dek, numpang tanya, rumah bapak Prawiro sebelah mana ya?"tanya seorang pria tua sambil menenteng tas kresek besar.

Aku menoleh sejenak, mengamati pria itu dengan seksama, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Badannya kurus kering, rambutnya yang memutih dan mulai botak, wajahnya terlihat kelelahan.

Pakaian lelaki itu sederhana, batik panjang dengan celana hitam, namun sandal kusamnya sudah beda warna antara kanan dan kiri. Kuamati sedemikian rupa, berusaha meyakinkan apa yang aku lihat.

"Maaf, bapak siapa nggih?"tanyaku hati-hati sambil menahan debaran yang semakin kencang di dada.

"Saya Suparwo, anak pak Prawiro, saya dari Bandung". Seketika perasaan mual, merinding, sedikit gembira, dan entah apalagi bercampur jadi satu di benakku.

Kakiku lemas, lidahku kelu, tanpa bisa ku kontrol air mataku meleleh dengan sendirinya. Aku genggam erat tangannya, mencoba menyadarkan diri ini bahwa dia memang nyata. Ya, ini ternyata memang nyata, dia yang selama berpuluh tahun meninggalkan kami, kini berdiri rapuh di hadapanku.

Segera aku masuk ke dalam rumah, mencari ibu dan saudara-saudaraku yang baru saja pulang kerja. Mereka semua tampak terkejut melihat aku masuk ke rumah dengan menangis, setengah berteriak aku meminta mereka untuk mengikuti ke warung kami.

Ibu langsung berdiri mematung ketika tiba di depan warung. Sementara mas Tri langsung memeluk erat tubuh tua itu. Mas Catur terlihat ragu untuk mengambil langkah, antara maju menghampiri atau tetap berada di tempat semula ia berdiri. Aku dan si bungsu hanya bisa berdiri mematung, berusaha menata perasaan kami masing-masing.

Cukup lama adegan pilu itu terjadi, hingga akhirnya mas Eko dan mas Dwi datang dan mengajak kami semua masuk ke dalam rumah. 'Dia', hanya diam membisu sambil terus mengedarkan pandangan matanya ke setiap sudut rumah kami.

Ada rasa takjub yang aku tangkap dari sinar matanya saat dia mengamati isi rumah kami. Ya, memang rumah kami sekarang sudah berdiding semen bercat krem yang berisi berbagai perabotan dan juga beberapa alat elektronik hasil jerih payah kami. Bukan gubuk bambu reot seperti yang ia tinggalkan berpuluh tahun yang lalu.

"Pak, makan dulu ya. Ini tadi ibu baru memasak rendang, mumpung nasinya juga masih panas" ajak mas Tri sembari menyodorkan sepiring nasi rendang dan juga segelas teh panas kepada lelaki itu.

Keempat kakakku duduk mendampinginya, sementara aku, si bungsu dan juga ibu hanya berdiri di samping pintu. Dari awal lelaki itu masuk ke rumah kami, tak ada sepatah katapun yang terucap dari bibir beliau. Ku lihat tangan kurusnya agak gemetar ketika menerima piring yang disodorkan mas Tri, mungkin merasa kelaparan dan juga malu.

Tak ku temui lagi mata garang dan pongah yang menatap kami seperti waktu itu. Mungkin kepongahannya hilang bersama dengan sandal jepit buntut yang melekat di kakinya, menyeret langkahnya untuk kembali ke rumah ini.

Ibu masih enggan membuka suara, beliau memilih untuk berada di kamar kecil, tempat biasa kami mengadu pada sang Khalik. Beliau meminta kami untuk melayani lelaki tua itu.

Hanya keempat kakakku yang sejak tadi menemani 'dia', sedang aku dan Pamungkas lebih memilih kembali ke warung, berusaha meredam emosi. Kulihat si bungsu berkali-kali mengusap-usap rambut gondrongnya, kebiasaan yang dilakukan ketika dia sedang bingung.

Ketika senja menjelang, 'dia' memutuskan untuk menemui adik-adiknya yang tinggal di sebelah kanan dan kiri rumah kami. Tak ada sedikitpun minat kami untuk menemaninya pergi, walau sekedar menuntun langkahnya.

Kami berenam lebih memilih bersama ibu, beliau hanya sesekali membuka suara. Kami tahu betul bahwa saat ini ibu tengah sibuk menata hatinya, meredam gejolak emosi sama seperti kami.

Berkali-kali beliau memeluk lengannya sendiri, mungkin kenangan rasa sakit atas tulang yang dipatahkan pria itu masih membekas kuat di memorinya. Kami berusaha memeluk beliau kembali, menguatkan tulang rusuk dan tulang iga yang telah banyak berjuang demi kami.

"Bu, tenang saja, apapun yang terjadi kami akan selalu ada di samping ibu. Kami janji bu, sampai kapanpun tidak akan ada lagi orang yang dapat menyakiti ibu, sekalipun itu bapak" bisik mas Dwi saat kami semua memeluk beliau.

#####        #####       ####

Hari ketiga pria itu berada di rumah, dia menyuruh kami semua untuk berkumpul, termasuk ibu. Dalam pikiranku, aku berharap dia pasti akan meminta maaf pada kami semua, mengingat dosa besar yang telah ia lakukan karena menelantarkan kami bertahun-tahun.

"Bapak pulang kesini karena ada yang harus bapak selesaikan dengan kalian dan juga ibu kalian" ucapnya terdengar agak bergetar di telingaku.

Kami menunggu tiap kata yang ia tuturkan dengan dada berdengup kencang.

"Keluarga bapak disana sedang kesusahan, sudah hampir satu tahun bapak pensiun dari bengkel. Sedang kedua adik kembar kalian baru SMP, masih butuh biaya banyak,"

"Maksud bapak bagaimana?" potong mas Eko tak sabar, kami menangkap rencana lain dari mimik wajah lelaki itu.

"Sabar le, dengarkan bapak ngomong dan tolong jangan dipotong ketika orang tua berbicara. Yang di Bandung juga anak-istri bapak, mereka juga berhak menikmati apa yang kalian nikmati disini saat ini."

Mas Dwi sudah mulai hendak berdiri dengan tangan terkepal, namun akhirnya urung karena dicegah oleh ibu. Mata beliau mengisyaratkan kami untuk diam mendengarkan lelaki itu bicara.

"Kalian disini nyaman dengan rumah dan tanah peninggalan mbah kakung ini, sementara adik dan ibu baru kalian disana hidup mengontrak. Dengan keadaan bapak yang sudah tidak bekerja, kami kesulitan mencukupi kebutuhan hidup kami. Bandung itu keras le, tidak seperti di Jawa yang semua serba murah."

"Terus mau bapak apa?" potong mas Tri mulai tersulut emosi.

"Bapak ingin rumah dan tanah ini dijual, hasilnya kita bagi dua. Setengah untuk kalian setengah untuk ibu dan adik kalian di Bandung. Rumah dan tanah ini masih atas nama bapak, mereka yang di Bandung juga keluarga bapak, jadi bapak harus bersikap adil pada kalian semua." Lelaki itu bicara enteng sekali, seolah tanpa beban, tanpa memikirkan perasaan kami.

Secara reflek mas Eko mengangkat kerah baju lelaki itu, bersiap untuk memukulnya sebelum akhirnya terhenti oleh teriakan ibu.

"Dua puluh tahun lebih kamu pergi meninggalkan kami tanpa nafkah sepeserpun, sekarang mau menjual rumah ini? Otakmu memang sudah tidak waras" teriak mas Eko penuh emosi.

"Satu jengkal kamu berani mengambil tanah maupun bongkahan tembok rumah kami, akan kupastikan kamu pulang ke Bandung dengan mobil jenazah. Ingat itu!" ancam mas Dwi yang tangannya sudah memegang golok yang biasa kami gunakan untuk memecah bongkahan es batu.

Hari itu merupakan hari yang paling panas sepanjang kami tinggal di rumah yang selama berpuluh tahun kami tempati. Lelaki itu memilih untuk pergi mengamankan diri di rumah salah satu adiknya. Sementara kami duduk terpekur berusaha mencari jalan keluar bagi masalah ini.

Aku sendiri tidak menyangka bahwa 'dia' tega mengatakan hal itu pada kami. Dia menelantarkan kami dua puluh tahun lebih tanpa sepeserpun nafkah untuk hidup kami.

Pergi disaat keadaan rumah masih berlantai tanah dan berdinding bambu. Pergi dengan menelantarkan enam orang anak lelaki yang masih butuh untuk dihidupi. Pergi meninggalkan seorang istri yang terpaksa menjadi buruh apa saja agar anak-anaknya dapat makan.

Dan kini dia datang dengan dalih untuk berbuat keadilan bagi keluarga barunya. Dia kuatir istri muda dan dua anaknya tidak dapat makan dan mengenyam bangku pendidikan. Setan atau entah binatang yang harus aku ucapkan untuk memanggil namanya.

Pernahkah dia berpikir bagaimana hidup kami dua puluh tahun ke belakang? Dua puluh tahun kami dipaksa untuk menjadikan tulang rusuk kami menjadi tulang punggung. Kami yang terpaksa tidur berhimpitan karena genting yang bocor dan dinding yang bolong karena air hujan. Menahan rasa lapar ketika ibu tak kunjung pulang membawa makanan ketika seharian kami tak dapat menemukan apapun untuk dimakan.

Aku ingin berteriak, menjerit untuk melepaskan beban di hati ini. Tuhan, skenario apalagi yang harus kami jalankan dengan lelaki tua itu?

Melihat ibu masih terlihat tegar, tak urung aku malu untuk terus meratapi nasib ini. Hanya karena ibu lah, aku dan kelima saudaraku masih bisa menahan tangan kami untuk tidak menebas leher lelaki tua itu.

Khilaf SuamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang