Dua hari sudah lelaki itu belum menampakkan batang hidungnya di rumah kami, setelah sebelumnya pergi ketakutan dengan ancaman mas Dwi.
Dia memilih tidur di rumah lek Marno, adiknya yang nomor dua, yang rumahnya hanya berjarak dua rumah dari rumah kami.
Setelah kejadian yang menjijikan itu, semua adik kandung lelaki itu datang ke rumah kami. Mereka berniat untuk bermusyawarah mencari jalan keluar terbaik bagi keluarga kami. Cukup lama kami berdiskusi, hingga mas Tri mengambil sebuah keputusan mewakili semua anak-anak ibu.
"Gini aja Paklek-Bulek, beri kami waktu dua tahun saja untuk mengurus bapak dan juga rumah ini. Jika selepas dua tahun bapak masih ingin rumah ini dijual, maka insya Allah kami ikhlas."
"Setidaknya beri kami waktu untuk berbakti pada bapak. Dua tahun untuk mengganti dua puluh tahun waktu kami yang telah hilang bersama bapak," terang mas Tri dengan nada tenang sambil menoleh pada semua orang yang ada di ruang tamu kami.
Setelah beberapa saat berembuk, akhirnya saudara-saudara lelaki itu menyetujui usulan mas Tri. Dengan diantar oleh lek Marno dan istrinya, dia kembali ke rumah kami. Tidur di kamar paling belakang sesuai dengan permintaannya sendiri.
Tiap hari salah satu dari kami ditugaskan oleh ibu untuk mengantarkan makanan dan rokok ke kamar lelaki itu.
Jarang sekali kami bertegur sapa dengan dia, kecuali mas Tri, yang hampir tiap adzan selalu berusaha mengajaknya untuk ke masjid, meski selalu berakhir dengan penolakan.
Sedang mas Catur selalu setia membawakan rokok,jatah yang ia peroleh dari tempat kerjanya. Mas Catur sudah lama berhenti merokok semenjak ibu terkena sakit paru-paru, jatah rokok dari perusahaan biasanya dia jual ke teman-temannya.
Namun kini, rokok itu dia berikan kepada lelaki tua yang yang hanya keluar kamar untuk menemui saudara maupun kawan lamanya dahulu.
"Le, tolong antarkan nasi jagung ini ke kamar bapakmu, ini dulu makanan kesenangan bapakmu," pinta ibu padaku suatu siang.
Aku langsung menolak permintaan ibu, hatiku masih jengkel pada sosok tua itu. Bagaimana tidak, seminggu lebih aku selalu kehilangan sebungkus rokok daganganku.
Padahal di rumah kami tak ada lagi yang merokok. Hingga hari itu, saat selesai shalat subuh, aku sengaja pulang dari masjid lebih awal dan mendapatinya tengah membuka-buka kardus stok dagangan di warung.
"Mau ambil apa?"aku bertanya setenang mungkin pada pria tua itu.
"Rokok dari Catur itu tidak enak rasanya, mulutku nggak cocok, makanya aku berikan sama mbah Slamet" ujarnya tanpa rasa bersalah sambil mengambil sebungkus rokok dari dalam kardus.
Jika saja dia bukan anggota keluargaku, tentu sudah kumaki habis-habisan. Benar-benar makhluk yang tak punya malu.
Akhirnya karena melihat aku tak kunjung berdiri, ibu memilih untuk mengantarkan makanan itu sendiri.
"Bawa pergi, aku tak sudi kau guna-gunai lewat makananmu!"
Aku mendengar suara paraunya lantang menghardik seseorang, tepat saat aku tiba di depan kamarnya, dia baru saja melempari ibu dengan nasi jagung ke wajah ibu.
Ibu segera berbalik badan, meninggalkan pria jahanam itu sambil menahan air matanya agar tidak tumpah. Aku tidak dapat mengontrol emosiku lagi, reflek aku masuk ke kamarnya, bersiap untuk membanting tubuh ringkih itu.
Dia mengumpat, menyumpahi aku ketika aku sudah mengangkat badannya ke atas, satu hentakan saja aku bisa pastikan tubuh kurus itu akan terkapar di tanah.
"Cukup Le, lepaskan dia, jangan kau kotori tanganmu dengan darah busuknya!"perintah ibu tegas, ketika tanganku sudah hampir membantingnya.
Akhirnya setelah beberapa kali dibujuk ibu, aku melepaskan tubuh kurus lelaki itu. Tanpa berbicara sepatah kata pun, aku meninggalkan mereka.
Kalau saja tidak dicegah ibu, mungkin kini hidup kami bisa lebih tenang tanpa perlu repot-repot lagi mengurus pria tua yang sombong itu. Aku lebih memilih hidup seperti dulu dengan kami bertujuh, jauh lebih nyaman, aman dan tenang.
Daripada saat ini, setiap hari harus menghirup asap rokoknya dan setiap saat mendengar dia mengeluh sendiri di dalam kamar.
Seingatku, kami yang dua puluh tahun lebih hidup tanpa dia, tak pernah sekalipun kami mengeluh sekeras itu pada siapapun.
Sedang dia, baru sebulan, sudah banyak menceritakan susahnya hidup jauh dari anak kembar dan istri mudanya. Ironis, aku hanya bisa menarik nafas berkali-kali untuk menenangkan hati ini.
"Kalian harus lebih sabar lagi, ingat seburuk apapun tindakan bapakmu, dia tetaplah orang tua kandung kalian. Hormati dan hargai dia, seperti kalian menghormati ibu," ujar ibu ketika kami berkumpul, mulai mengeluh tentang kelakuannya.
"Lama-lama hilang sabarku bu. Hampir tiap pagi dia datang ke kontrakanku, mengobrol yang tidak jelas. Tiga hari ini malah si Tina sering ditunggui, dibandingkan wajah dan tubuhnya dengan wanita murahannya di Bandung itu," ujar Mas Eko sudah nampak geram.
Bagaimana tidak, aku sendiri sering melihat lelaki itu pergi ke kontrakan mas Eko dan dia dengan berani-beraninya membandingkan mbak Tina, istri mas Eko dengan istri mudanya.
"Yang sabar Le, bapakmu masih khilaf. Sebisa mungkin jangan kau biarkan bapak mengobrol dengan Tina, dan kalian juga harus rajin-rajin mengajaknya ke masjid," Tangan lembut ibu mulai mengusap lengan mas Eko, berharap dapat menurunkan emosi kakakku itu.
#### #### ####
Hampir setengah tahun berlalu, sikap lelaki itu tidak berubah pada ibu. Tiap kali ibu membawakan sesuatu, selalu saja berakhir di tempat sampah.
Dia lebih memilih mengambil diam-diam makanan ataupun minuman di warung, daripada menerima makanan dari tangan ibu langsung. Puncaknya aku merasa tidak tahan lagi menghadapi sikap lelaki tua itu. Aku meminta pada ibu dan saudara-saudaraku untuk mengembalikan saja pria itu ke istri mudanya.
Habis sudah sabarku, tiap hari makanan serta rokok selalu hilang, tak tercatat di pembukuan. Sepeda kuno yang baru saja aku beli, bahkan dijual oleh lelaki itu. Aku membeli sepeda antik itu dengan harga yang lumayan, namun ketika aku pergi mengantar ibu ke dokter, dia menjual murah sepeda itu ke tukang rongsok keliling.
"Kalau tidak salah, itu memang sepeda bapak yang bapak beli waktu bapak baru gajian," sanggahnya ketika aku menanyakan sepedaku padanya.
Matamu!!! runtukku dalam hati, padahal sepeda yang ia maksud telah ia jual untuk ongkos ke Bandung pertama kali.
Sering aku bertanya pada sang Pemilik nyawa, pantaskah pria tua itu hidup bersama kami lagi. Di saat kami sudah mulai melunak, dia selalu saja berulah, sengaja membuat kisruh rumah kami.
Mengendap-endap mencari setiap inci sudut rumah, berharap dapat menemukan sertifikat tanah yang selama ini menjadi tujuan ia kembali kepada kami. Kembali untuk mengambil sesuatu yang harusnya dulu ia jaga, rawat dengan peluh keringatnya, bukan justru membiarkannya lapuk termakan usia.
Namun sekeras apapun dia mencari, kuasa Illahi akan terus melindungi kami. Aku percaya, tak ada pengorbanan yang sia-sia. Waktu dan tenaga yang kami habiskan untuk membuat rumah kami layak untuk dihuni pasti akan terbayar oleh pemilik semesta.
Hanya Dia yang maha mengetahui takdir kami ke depan nanti. Rumah bukan segalanya, hanya kedamaian yang akan kami perjuangankan untuk ibu kami tercinta.
![](https://img.wattpad.com/cover/200430309-288-k563489.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Khilaf Suami
General FictionCerita tentang perjuangan seorang istri membesarkan enam buah hatinya selama puluhan tahun karena penghianatan suami. Kala telah renta, sang suami datang kembali untuk menjual rumah yang telah dtelantarkan bertahun-tahun,rumah yang selama puluhan ta...