Bab 4

6.3K 456 12
                                    

Aku kira kisahku akan berakhir sama dengan cerita-cerita dongeng, dimana seorang anak duafa yang berubah kaya setelah diasuh keluarga yang sejahtera.

Namun, lagi-lagi aku sadar, takdir Tuhan adalah suatu hal yang mustahil untuk ditebak.

Baru lima bulan aku berada di Jojga, sudah dua kali aku masuk rawat inap rumah sakit. Ya, ternyata tubuh kecil ini tak mampu melawan bakteri typus. Panas, demam hingga hampir hilang kesadaran telah aku alami. Akhirnya setelah lima hari keluar dari rumah sakit, suami istri itu sepakat untuk membawa aku kembali ke Solo.

"Setiap kamu demam, kamu selalu mengigau, menyebut nama ibumu Le. Ibu ndak tega melihat kamu seperti ini,"

"Bukannya kami ndak sayang, tapi ibu rasa keadaanmu insyaallah akan lebih baik jika kamu tinggal bersama ibu dan kakak-kakakmu lagi. Maafkan bapak dan ibu ya Le," jelas bu Anwar ketika kami tengah berkemas untuk kembali ke Solo.

Aku hanya mengangguk, mengucapkan banyak terima kasih. Berterima kasih karena selama lima bulan ini, pasangan itu telah begitu baik mengasuhku layaknya anak sendiri. Berterima kasih karena pak Anwar sedikit banyak mampu membuat aku merasa memiliki seorang ayah lagi.

Aku justru malu pada mereka, karena kehadiranku justru membuat mereka repot. Repot mengurus sekolahku, repot mengurus tubuh kecil yang ringkih ini. Ah ... tapi aku yakin, Tuhan akan memberi mereka lebih banyak dari yang apa mereka berikan padaku.

Tiba di Solo, aku disambut peluk tangis ibu dan juga keempat saudaraku. Ada rindu yang membuncah ketika aku berada di dekapan mereka, surga yang selama ini selalu aku pikirkan.

Pak Anwar dan istrinya terlihat merasa bersalah atas kejadian yang menimpaku. Mereka berkali-kali meminta maaf pada ibu.

Namun sekali lagi, ibu dengan bijak mengatakan bahwa apa yang terjadi padaku adalah sebuah takdir yang telah disuratkan Tuhan pada kami, tak ada yang salah dari kejadian ini. Setelah cukup lama berada di rumah kami, mereka berdua pamit pada ibu dan aku.

Pak Anwar menyodorkan amlop pada ibu, namun dengan halus ditolaknya. Akhirnya setelah dibujuk beberapa kali oleh bu Anwar, ibu mau menerima amplop itu. Dengan bijak ibu mengatakan kalau isi amplop itu adalah milikku sepenuhnya, untuk keperluan sekolahku.

Namun mengingat keperluan sekolahku sudah dibelikan oleh pak Anwar ketika aku di Jogja, ibu dengan hati-hati menanyakan padaku apakah aku ingin membagi uang itu untuk kakak dan adikku. Aku tidak menutup mata ketika melihat Seragam SMP mas Tri yang sudah mulai robek kainnya karena lapuk dimakan waktu.

Ya ... peralatan sekolah kami adalah barang turun-temurun. Dari mas Eko, diturunkan ke mas Dwi, lalu dari mas Dwi dipakai oleh mas Tri. Lalu turun ke mas Catur, aku dan terakhir si bungsu.

Bisa dibayangkan bagaimana rupa dan warna baju putih kami yang menguning, sepatu yang kusam dengan bagian depan menganga, aus karena terlalu sering dijahit ibu tiap tahunnya.

Tanpa berpikir panjang, aku serahkan amplop itu kembali kepada ibu. Yang terpenting kakakku bisa merasakan perasaan yang sama ketika dia memakai seragam putih yang benar-benar putih, sesuai dengan ukuran badannya yang paling tinggi diantara saudara-saudaraku yang lain. Agar si bungsu tidak malu lagi berangkat sekolah karena sepatu yang menganga atau tas sekolah yang ditambal di beberapa bagian sebab robek kainnya.

Sisa uang dari pak Anwar oleh ibu ditabung, untuk kebutuhan darurat kami nanti. Sebenarnya mas Eko dan mas Dwi juga memberi sedikit penghasilan dari mereka yang tak seberapa pada ibu, namun ibu menolaknya.

"Itu uang hasil keringat kalian Le, gunakanlah untuk kebutuhan kalian sendiri. Kalian sudah besar, sudah saatnya menikmati hasil keringat sendiri, jangan lupa sebagian ditabung untuk masa depan nanti. Soal makan dan kebutuhan adik-adikmu, jangan risau, ibu masih bisa mencari rejeki buat mereka."

Selalu saja itu yang diucap ibu ketika mereka berdua hendak memberi uang pada ibu. Mas Catur rutin berkirim surat tiap bulannya kepada kami. Dia menceritakan tentang sekolahnya yang memasuki jenjang SMP, tentang baiknya keluarga pak Yusuf merawat dirinya, tentang aktifitas menyenangkan sehari-hari.

Bisa dipastikan tiap kami membaca surat mas Catur, ada gurat aneh di wajah ibu, campuran antara senang, rindu, bangga dan entah apalagi. Yang jelas kami berlima antusias sekali setiap melihat pak pos mulai mendekati rumah kami untuk mengantarkan surat dari mas Catur, membayangkan saudara kami bisa hidup jauh lebih baik dari kami.

Setidaknya doa yang ibu panjatkan tiap malam mulai terlihat wujudnya.

Suatu hari, ketika aku telah kelas enam SD, mas Tri mendaftarkan aku untuk mengikuti lomba hafalan Qur'an tingkat SD yang diselenggarakan oleh sebuah yayasan Islam di kota kami. Dia mengetahui info itu ketika membaca selebaran yang tengah ia fotocopy.

Tanpa persiapan apapun, hari itu aku memberanikan diri untuk berhadapan dengan juri memakai jalur pendaftaran perwakilan sekolah yang kebetulan juga di sekolahku tak ada yang mewakili.

Tanpa disangka, aku memperoleh juara tiga. Ajaib, pikirku ketika aku bisa pulang dengan membawa piagam, tas sekolah dengan peralatan komplit di dalamnya, ditambah uang saku yang terbungkus amplop yang tertutup perekat.

Hari itu hanya aku dan mas Tri yang tahu tentang lomba tersebut. Aku bahkan langsung meletakkan begitu saja hadiahku di atas tikar kami, lalu bergegas hendak mencari mas Tri untuk menceritakan hasil lomba tadi.

Pulang ke rumah, ibu sudah menyambutku dengan wajah marah. Tanpa aku duga, ibu memukul tubuhku bertubi-tubi, memarahi aku sejadi-jadinya.

" Ya Allah Le, apa yang telah kamu lakukan. Sejak kapan ibu mengajari kamu untuk jadi pencuri?? Kita memang miskin, tapi jangan pernah kamu mengambil barang yang bukan punyamu Le. Ibu ini sudah hina, jangan kamu tambah dengan perbuatanmu yang seperti ini."

"Lihat ibumu ini Le ... ibu akan masuk neraka karena telah membuat kamu seperti ini!!" isak beliau sambil memeluk erat tubuhku yang menangis, merintih setelah menerima pukulan dari tangan ibu berkali-kali.

Rupanya sore itu, sepulang bekerja di salah satu rumah warga, ibu bertemu dengan mbah Sumi. Dia mengatakan kalau siang tadi aku pulang dengan membawa tas baru dengan bungkusan yang mencurigakan.

"Si Ponco tadi pulang membawa tas baru lho Min, diawasi yang bener! Hidup kalian sudah susah, jangan buat masalah lagi!" tegurnya pada ibu.

Ucapan mbah Sumi tentu saja menyulut amarah ibu, apalagi ketika sampai di rumah memang ada tas baru serta amplop uang di dalamnya.

Mungkin karena lelah, ibu langsung saja mempercayai omongan tetanggaku itu, tanpa bertanya dulu padaku. Setelah tangisku reda, baru beliau bertanya tas dan uang siapa yang aku ambil.

Setengah terisak aku menceritakan semuanya pada ibu. Beliau kembali menangis mengetahui kebenaran ceritaku, meminta maaf berkali-kali sambil menciumi kepalaku. Aku tenggelam cukup lama dalam dekapan ibu, luka lebam di tubuhku seakan terobati dengan sendirinya ketika ibu akhirnya mempercayai ucapanku.

Kami memang bukan golongan pandai, tapi kami, anak miskin yang cukup tahu diri. Memakai barang sendiri meski usang, lapuk jauh lebih nyaman dibanding memakai barang bagus tapi milik orang lain. Makan singkong bakar jauh lebih nikmat jika dibanding nasi daging tapi bukan dari rejeki sendiri. Itu adalah salah satu pelajaran hidup dari ibu yang terus kami berenam amalkan hingga detik ini.

Khilaf SuamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang