BAB 2

7.9K 454 21
                                    


Sejak hari itu, aku berjanji dalam hati untuk tidak pernah menyebut namanya lagi.

Lebam di wajah ibu mulai mengempis, sedangkan bahu dan lengan beliau mulai bisa terbebas dari gips setelah beberapa kali diobati dan diterapi oleh bu Suti, bidan yang juga salah satu langganan cuci ibu. Beliau prihatin dengan nasib keluarga kami.

Setiap hari aku dan kakak-kakakku bergantian membantu ibu. Yang sulung, mas Eko, dia bertugas mengambil baju kotor di tempat para tetangga yang menjadi langganan ibu. Sedang mas Dwi yang nomor dua, menimba air sekaligus mencuci baju bersama mas Tri.

Mas Catur kebagian mencuci piring dan menyapu, sedangkan aku mengasuh si bungsu Pamungkas sekaligus membantu ibu walau hanya sekedar menyuapi beliau makan dan minum. Untungnya si bungsu sudah mulai mengerti, kadang waktu kami sengaja kami habiskan di rumah, untuk sekedar memijit kepala dan kaki ibu. Tak kami perdulikan ajakan teman-teman untuk bermain.

Sebenarnya 'dia' adalah anak sulung dari enam bersaudara. Semuanya sudah menikah, rumah kami berjejer dalam satu pekarangan.

Awal kami pulang dari Bandung, nenek serta saudara-saudaranya terlihat kaget, hampir tak percaya dengan cerita ibu. Kadang mereka bertanya padaku dan si bungsu tentang kebenaran cerita kami.

Mereka tidak akan pernah tau rasanya bagaimana melihat adegan ibumu.. surgamu.. dijambak.. ditampar... dilempar ...  ditendang hingga suara tulangnya terdengar nyeri di telingaku.

Aku ingat betul, benar-benar ingat adegan kejam itu, langsung dengan kedua mataku sendiri. Rasanya seperti aku yang menjadi korbannya, bukan hanya ibu. Dan setiap kali mereka bertanya, aku disuruh mengulang-ulang terus memori kelam itu, hingga seolah isi otakku dipenuhi adegan laknat itu.

Hanya beberapa hari sikap simpati itu ditunjukkan oleh para saudaranya, memberi kami sedikit lauk makan untuk kami bagi bertujuh bersama ibu.

Malah lebih banyak orang lain, para langganan cuci ibu, yang memberi kami beras, nasi, bahkan kadang lauk ayam yang sangat lezat dengan jumlah yang cukup untuk kami makan bertujuh.

Hidup kami saat itu bisa dibilang miskin melarat, makan tiga kali sehari adalah sebuah mukjizat yang amat nikmat.

Mas Eko mulai menjadi tukang becak, dengan cara menyewa becak pak Ahmad, juragan becak di tempat kami. Sementara mas Dwi, mencoba mencari rejeki dengan menjadi tukang parkir di pinggir jalan raya.

Mas Tri masih sekolah SMP sambil menjadi tenaga serabutan di tempat fotocopy milik pak Abas. Lain halnya dengan mas Catur terpaksa ikut pak Yusuf yang seorang pegawai negeri di Jawa Timur, dia dijanjikan akan disekolahkan sampai SMA.

Berat bagi kami melepaskan mas Catur yang mulai masuk kelas enam SD. Jangan tanya bagaimana raut wajah ibu ketika mas Catur berpamitan dengan beliau, tangis kami sekeluarga pecah seketika.

Namun ibu, lagi-lagi dengan mental yang entah terbuat dari apa, berhasil menenangkan kami dan tentunya dirinya sendiri.

Beliau memeluk erat mas Catur, membisikkan sesuatu yang disambut anggukan mantap kakakku itu. Dengan mantap mas Catur mencium tangan ibu, membawa tas punggung besar yang mulai robek di beberapa bagian.

Kata ibu, mas Catur akan hidup lebih baik dari kami, tapi entahlah, aku sendiri tak yakin dengan nasib kami. Yang aku tahu hari itu, esok dan seterusnya tangan kami harus tetap bergerak agar mata kami bisa melihat matahari, menyongsong takdir yang tidak kami ketahui.

Pernah suatu hari mas Tri yang kebagian jatah memasak, tak menemui sebutir beras pun untuk ditanak. Namun ibu dengan bijak menyuruhku untuk membeli beras aking di pasar dekat rumah, penjualnya kebetulan saudara jauh nenek. Dia sempat bertanya untuk apa aku membeli beras aking, hanya aku jawab pendek dengan menunduk malu " untuk makan ayam". Padahal  dia jelas tahu, jangankan ayam, rumah kami saja hampir mirip dengan kandang ayam, reyot, hampir ambruk dengan penghuni yang berjejalan.

Rumah kami terbagi menjadi tiga ruangan. Yang paling besar menurut ukuranku, digunakan sebagai ruang tamu merangkap ruang makan dan kamar tidur bagi kami bertujuh, hanya ada tikar besar dan beberapa bantal kumal. Yang agak kecil digunakan sebagai kamar khusus untuk kami sholat, cukup untuk menampung dua orang di dalamnya. Dan ruang yang paling kecil adalah dapur.

Ada lemari pakaian usang di pojok ruang tamu, kata ibu, itu adalah harta pertama yang berhasil dibeli oleh beliau bersama 'dia' ketika menikah, hadiah atas kelahiran mas Eko.

Untuk MCK, kami berbagi bersama saudara-saudara'nya' yang lain. Satu kamar mandi, satu WC dan sumur timba untuk tujuh KK.

Sampai di rumah, dengan sigap ibu mencuci beras aking, dibantu mas Tri untuk menimba airnya. Beruntung masih ada kerupuk karak hasil upahku membantu mbah Semi menjemur gabah di halaman rumahnya, cukup sebagai lauk kami nanti.

Setelah selesai mencuci beras aking, ibu bergegas ke rumah bu  Harso, kemarin beliau diminta untuk bersih-bersih di rumah orang paling kaya di tempat kami. Tugas dapur diserahkan sepenuhnya pada mas Tri. Si bungsu dan aku ikut bersama beliau, kami kebagian mencabuti rumput di halaman rumah besar itu.

Bu Harso bahkan memberikan kami tiga piring nasi lengkap dengan sayur gulai nangka dan telur ceplok.

Ingin rasanya aku dan si bungsu segera melahapnya, namun ibu dengan sigap mengatakan untuk meminta makanannya dibungkus saja, hendak dimakan di rumahnya. Kata orang tua dahulu tak elok makan di rumah orang lain. Bu Harso tersenyum penuh pengertian, lalu membungkus makanan itu ditambah beberapa kerupuk udang. Kami pulang dengan senyum merekah, membayangkan hari ini makan dengan menu super istimewa.

Sampai rumah, oleh ibu makanan itu dibagi enam ditambahkan nasi aking, katanya biar kami semua bisa merasakan rejeki yang sama.

Kadang ketika beras habis, uang tak ada, sering kali mas Eko dan mas Dwi pergi ke kebun kosong di dekat masjid untuk mencabut beberapa batang singkong dan ketela. Jangan berfikir buruk dulu,  kebun itu kebun kosong yang tak diketahui siapa pemiliknya. Oleh warga secara iseng dibuangi biji-bijian dan batang pohon, yang akhirnya tumbuh subur.

Kebun itu aku anggap sebagai lumbung surga kami, disaat perut melilit karena lapar, cukup mencabutnya, mengganti biji-bijian kering yang kami simpan. Dikemudian hari sudah tumbuh tunas baru.

Kami tidak pernah mengeluh pada Tuhan, sebab apa yang hendak kami keluhkan?. Kami masih bisa makan setiap hari, walau bukan tiga kali, masih bisa berjalan sehat tanpa beban, masih bisa mendengar adzan, pergi ke masjid dengan baju dan sarung bekas pemberian orang-orang.

Mengenai 'dia' jika ada orang yang bertanya tentang dia, kami dengan mudah menjawab 'ada ibu, beliau tulang punggung dan tulang rusuk kami', tak perlu lagi kehadiran'nya'.

Melihat teman-temanku harmonis dengan keluarganya, aku merasa biasa saja, toh aku punya kakak lelaki yang sudah bisa menggantikannya. Mengajari naik sepeda milik tetangga, mas Tri bahkan mulai mengajari aku dan si bungsu mengaji, lalu apa yang kurang dari hidup kami?

Apa yang harus kami keluhkan lagi, keluarga kami lengkap, sehat yang terpenting rukun.

Khilaf SuamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang