Sudah dua minggu ini pria tua itu tidak keluar dari kamarnya. Aku mencoba menengok kamarnya melalui jendela yang terbuka. Ada pakaian kotor yang menumpuk di pojok bawah ranjang, sisa makanan yang berserakan di kasur serta wadah makanan serta minuman yang berserakan di lantai.
Keadaan di lantai lebih parah lagi, terlihat genangan air bercampur remahan makanan yang dikerubungi lalat, menguarkan bau pesing dan busuk yang membuat perut mual.
Hari itu, kami sekeluarga memang tengah berkumpul untuk membicarakan perihal lelaki tua yang ada di dalam kamar tersebut. Menurut kakak-kakakku, dia selalu mengunci diri di dalam kamar dan hanya akan berdehem ketika dipanggil.
Mereka kesulitan untuk bertemu, meski hanya untuk menjenguk maupun membersihkan kamarnya. Ibu dan saudara-saudaraku yang lainnya hanya meletakkan pakaian serta makanan dan minuman di depan pintu kamarnya.
"Besok biar kubongkar saja pintu kamarnya bu, agar kita leluasa membersihkan kamar bapak" ujar mas Eko seraya memijit kaki ibu.
"Iya bu, semoga besok mbak Sri mau membersihkan kamar bapak. Sebab bau busuknya sudah mengundang lalat untuk masuk," mas Catur yang duduk di sampingku ikut bersuara.
"Le, sekali-kali tengoklah bapakmu. Sepertinya dia ingin ngobrol sama kamu," ibu mengelus lembut pundakku.
"Benar dek, bapak sering menanyakan kamu. Kemarin waktu aku mengantarkan makanan dia malah mengira aku adalah kamu" Mas Tri juga ikut membujukku.
Aku hanya diam, tak mampu mengatakan apapun. Memang di antara saudaraku, hanya aku yang tidak pernah mengajak pria tua itu untuk bicara, karena rasa benci dan kecewaku padanya.
Terakhir hanya kata setan yang mampu aku ucapkan, ketika aku menanyakan tentang sepeda antikku. Kini setelah mendengar cerita dari saudara-saudaraku, aku masih belum bisa memutuskan.
Aku memang paling pendendam di antara saudara-saudaraku yang lainnya. Ketika aku melongok ke dalam kamar pria tua itu, aku hanya menatap hampa tubuh kurus ringkih di ranjang itu sambil menahan nafas karena aroma busuk yang menusuk hidung. Dia buang air kecil dan besar di dalam kamarnya dengan sengaja. Padahal jarak kamar dengan mandi tak seberapa.
Kulihat beberapa kecoak hilir mudik merayap di baju maupun kasur yang ditidurinya. Dan dia sendiri tampak tak terganggu dengan hewan-hewan yang merayapi tubuhnya. Aku hanya melihatnya dari luar, tanpa ada minat untuk menyapanya.
"Bicaralah pada bapak dek, ajak beliau mengobrol ...." Suara mas Dwi membuat aku melangkah pergi meninggalkan tempat itu tanpa menyahut. Mencari tempat lain dengan udara yang lebih segar.
Entah kenapa tak ada rasa iba maupun prihatin dengan lelaki itu, meski sudah lima tahun dia kembali bersama kami.
Hari itu, setelah shalat Jum'at aku berniat untuk menemuinya. Hanya ingin memberikan sarung yang baru saja aku beli.
"Ini ... pakailah!" Tanpa masuk ke dalam kamarnya aku mengulurkan sarung itu di depan pintu.
Dia menoleh dan menatap lama wajahku, berdiri seketika hendak menghampiriku. Dan ketika dia bersiap memelukku, seketika itu pula aku langsung balik kanan tanpa menoleh lagi padanya yang memanggil namaku.
"Le, maafkan bapak. Bapak dulu khilaf telah menelantarkan kalian" suaranya terdengar bergetar di telingaku.
"Katakan itu pada ibu, bukan padaku!" Aku berlalu tanpa menoleh padanya.
******* ******** ********
Tiap hari ibu selalu membujukku untuk menemani pria tua itu. Namun tak pernah sekalipun aku melakukan saran ibu.
Hingga suatu hari ketika aku bersiap untuk berangkat shalat subuh di masjid, seseorang menepuk pundakku dari belakang.
"Bareng ya Le?" Aku memelankan langkah, agar pria itu dapat jalan sejajar denganku.
Ada rasa yang sulit untuk aku ungkapkan ketika melihat dia ke masjid bersamaku dengan mengenakan sarung yang aku berikan beberapa waktu yang lalu.
Dalam doa, usai rakaat terakhir aku memohon pada sang Khalik agar aku dapat diberikan hati yang lapang supaya dapat menerima lelaki tua itu menjadi bagian dari keluarga kami lagi.
Aku ingin diberi hati yang tulus, yang mampu memaafkan setiap kesalahan yang telah menggoreskan luka yang teramat dalam di hati ini.
Ya Rabb, lunakkan hati yang telah mengeras seperti batu ini, agar aku dapat terbebas dari rasa dendam yang telah mengakar di dalam sanubari.
Entah kapan doaku akan diijabah, yang pasti saat ini aku mulai mencoba menata hati ini. Di sisi lain, masih kulihat hal yang sama antara ibu dan pria itu.
Dia tetap menolak bantuan dan pemberian dari ibu. Hal itu yang membuat aku tak mampu untuk memaafkannya, meski tiap adzan aku masih mengetuk kamarnya, menunggu untuk berangkat ke masjid bersama. Sepanjang perjalanan singkat itu pun aku tak berniat untuk menimpali obrolannya.
Aku masih menganggap dia manusia yang seiman yang harus aku hormati, terlepas dia bukan lagi menjadi sesosok ayah yang dapat aku hargai.
Aku hanya memiliki satu orang tua, yaitu ibuku, surga yang tak akan pernah akan aku tinggalkan. Sosok yang selama ini telah menjadi tulang punggung dan tulang rusuk kami. Sedang dia hanya sosok seiman yang aku kenal sebulan ini, setelah lebih dari lima tahun tinggal di rumah kami.
Semakin hari kondisi fisik pria itu semakin menurun. Mulanya dia berjalan tertatih dengan membungkuk, ditopang sebuah tongkat yang diberikan oleh mas Eko. Sampai hanya dapat ke masjid untuk shalat subuh dan magrib saja. Namun, beberapa hari terakhir ini dia tak mampu lagi berjalan.
Aku menunggu cukup lama ketika menghampirinya, mengetuk pintu untuk memastikan dia sudah bangun agar dapat melaksanakan shalat. Dia hanya mengangguk, melambaikan tangan untuk memintaku mendekat. Tak tahu apa yang mesti aku lakukan, akhirnya aku memutuskan untuk mendekatinya.
Ragu, namun aku mulai membersihkan badannya, mengganti pakaian yang ia kenakan, mengajarinya untuk tayamum. Untung saja mas Tri selalu menyediakan kain bersih di kamar lelaki itu.
Selama dua puluh lima tahun sejak ia meninggalkan kami dan kemudian kembali, baru kali ini aku benar-benar menyentuh tubuhnya.
Dia kini hanya berbaring lemah tanpa mampu berjalan gagah seperti dulu lagi. Beberapa hari terakhir kakak-kakakku yang bergantian menyuapi dan membersihkan tubuhnya.
Namun saat kami sibuk, siang itu ibu berniat untuk membawakan makanan ke kamarnya. Aku yang baru masuk rumah, hanya men gamati dan mendengarkan saja.
"Pak, hari ini anak-anak sedang sibuk, tadi makanan dari Wanti, istrinya Catur sudah aku siapkan. Aku suapi ya Pak?" Dengan cekatan ibu mempersiapkan makanan dan minuman untuk dia. Saat kulihat dia tak menolak, aku anggap dia setuju.
"Buka mulutnya, Pak," pinta ibu hati-hati. Pelan-pelan ibu memasukan sendok berisi bubur ke mulut pria itu dan...
Byurrrr... bubur itu dengan sengaja dia semburkan ke wajah ibu diiringi seringai mengejek dari wajahnya. Ibu hanya diam, berlalu sembari mengelap wajahnya yang kotor terkena semburan lelaki berengsek itu.
"Sampai kapanpun aku tidak akan sudi menerima makanan dari tanganmu Minah, ingat itu!" Suara serak yang terdengar mengejek itu menyulut emosiku. Aku hendak masuk ke dalam kamarnya, namun dicegah oleh ibu.
"Biarkan saja Le, mungkin dengan begini bapakmu akan merasa senang. Sudah, sana bantu adikmu di warung, nanti biar masmu yang menyuapi bapakmu."
Aku menurut, enggan membantah ibu yang terlihat terluka dari tatapan sendunya. Namun ibu masih sempat menghiburku, meredamkan amarahku.
Tuhan, tolong ambil saja pria itu dari kami, tak sanggup rasanya aku melihat ibuku dipermalukan seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Khilaf Suami
General FictionCerita tentang perjuangan seorang istri membesarkan enam buah hatinya selama puluhan tahun karena penghianatan suami. Kala telah renta, sang suami datang kembali untuk menjual rumah yang telah dtelantarkan bertahun-tahun,rumah yang selama puluhan ta...