Hari ini ibu membawa kabar yang menurut beliau menggembirakan. Salah satu anak bu Harso, pak Anwar yang ada di Jogja pulang ke Solo dan berniat mengajak aku tinggal bersama dia dan istrinya.
Setahuku memang pak Anwar sudah lama menikah tapi belum memiliki anak. Beliau meyakinkanku bahwa pasangan itu adalah orang baik yang akan membawa hidupku ke arah yang lebih baik.
Aku bingung harus menjawab apa, di satu sisi aku ingin hidup layak seperti teman-temanku yang lain. Bersekolah dengan baju putih bukan kekuningan seperti saat ini, memakai celana merah di atas lutut, bukan celana yang panjangnya hanya separuh paha, yang membuat aku sering diejek teman-temanku.
Tapi di sisi lain, aku takut meninggalkan ibu, bukankah beliau tulang rusuk dan tulang punggung untuk tubuh kecilku?
Akhirnya aku pasrah mengikuti ajakan pak Anwar, setelah sebelumnya melihat ibu tergugu dalam tangis di sela doanya. Di ruang sempit itu, aku sempat mendengar suara lirih ibu, menangis, memohon dalam doanya di sepertiga malam terakhir agar aku bisa hidup lebih baik dengan menjadi anggota keluarga pak Anwar. Bukan seperti saat ini, yang hanya mampu makan seadanya, berpakaian lusuh dan sesak, bersekolah tanpa perlu memikirkan seragam maupun cara mendapatkan uang sendiri untuk jajan.
Ya ... hanya di tempat itu aku sering mendengar tangis lirih ibu, memakai mukena bekas dari bu Haji, mengadu pada pemilik nasib, memohon dengan derai air mata. Selebihnya tak pernah aku dengar ibu menangis apalagi mengeluh di depan kami ataupun orang lain.
Kadang aku ingin bertanya pada kebenaran cerita Tuhan tentang kisah nabi Adam. Bukankah kataNya, Siti Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, dia rapuh makanya harus dijaga hati-hati serta dilindungi?
Tapi beliau ibuku, seperti mematahkan teori itu, beliau melebihi segalanya untukku. Maka dari itu, aku rela mengikuti ajakan pak Anwar, agar tulang rusuk dan tulang punģgung itu bisa berdiri seimbang dengan aku yang berkurang sebagai beban.
Aku sadar masih ada mas Eko, mas Dwi, mas Tri serta si bungsu Pamungkas yang harus beliau hidupi.
Aku meminta sendiri surat keterangan pindah sekolahku pada bu Jum, beliau wali kelasku. Aku jelaskan alasanku, dan dengan mata yang berkaca-kaca bu Jum memberiku surat keterangan pindah sekolah.
Mirip ketika mas Catur meminta surat yang sama, bu Jum memberikan nasihat-nasihat kehidupan padaku. Perpisahan kami menggoreskan memori yang kuat di otakku.
Saat itu si bungsu nekat berlari mengejar mobil yang pak Anwar kemudikan. Aku hanya mampu melihat dari kaca, setelah akhirnya berhasil digendong oleh mas Eko untuk kembali ke rumah.
Selama perjalanan pak Anwar dan istrinya banyak bercerita padaku tentang apa saja. Tentang bagaimana rumah mereka, tentang sekolah baruku nanti, tentang suasana kota pelajar yang termasyur.
Namun aku masih merasa gamang, separuh hatiku masih tertinggal di Solo, di rumah reyot yang penuh sesak oleh saudara-saudaraku.
Tapi aku harus yakin, bukankah aku sendiri yang membuat keputusan hidupku ini? Aku harus yakin jika nanti aku kembali ke gubug itu, akan ada banyak senyum terkembang, menatap bangga dengan seragam yang aku kenakan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Khilaf Suami
General FictionCerita tentang perjuangan seorang istri membesarkan enam buah hatinya selama puluhan tahun karena penghianatan suami. Kala telah renta, sang suami datang kembali untuk menjual rumah yang telah dtelantarkan bertahun-tahun,rumah yang selama puluhan ta...