Chapter 1 : Fill In The Blank

462 34 16
                                    

Terengah. Derap langkah menggema dipantul dua dinding berjarak satu meter. Pemilik kaki berlari menyusuri lorong gelap. Tangan kanan mencengkram pinggul kiri, menahan rembesan cairan merah yang menodai jas. Material bening menemani setiap langkah, bantu menghapus noda merah di pelipis kiri.

Setitik cahaya menginterupsi. Matanya membeliak. Tidak mungkin, atap gedung sebagai sumber cahaya itu terpaut tiga kilometer jaraknya. Bahkan Sniper handal pun akan meleset jika target berada dalam ruang redup cahaya.

Optimis, ia terus berlari. Dua meter hingga keluar dari lorong, berbelok di tikungan, maka dirinya lepas dari sasaran bidik.

'Tsing'

Sontak dirinya rubuh. Satu meter menuju gang kecil. Merayap tidak membantu. Betisnya direnggut musuh. Meleset?

Alat komunikasi tak ada lagi yang tersisa. Ia tidak tahu bala bantuan akan datang atau tidak, yang pasti dirinya tidak akan berakhir disini.

Matanya melirik tajam ke atap gedung arah jam dua belas. Setitik cahaya itu hilang. Ia segera beranjak. Bertahan dengan satu kaki, menyeret langkah.

Lalu kedua matanya membelakak. Sebuah peluru sukses bersarang di dada Berasal dari seseorang yang berdiri diantara dua gedung, satu meter dari lokasi injaknya. Hujan menjadi saksi atas kejadian itu.

Yang diketahuiya pasti, meski pandangannya mengabur, ia tidak akan mati.

Derap langkah mengisi lorong sunyi, ditemani rintik hujan yang makin deras menumpahkan amarahnya.

.

.

.

Ia memijat kepala, pening. Sengaja tak buka mata karena tahu semuanya akan berbayang. Hidungnya mencium aroma asing—yakin tidak berada di rumah sakit. Ganti memijat mata, ia lalu melihat dunia. Langit-langit dengan sebuah lampu silinder diatasnya. Kepalanya menoleh ke lain arah, mendapati ruangan berminim perabot. Hanya ada lemari di sudut dinding, dan pintu di sudut lain.

Pundaknya menggigil dihempas udara. Manik merah-jingga melirik kearah AC yang menyala. Ketika sadar penuh, tubuhnya tidak mengenakan garmen. Kulitnya ditutupi oleh lilitan kain yang melingkari dada hingga perut. Menarik selimut, mendapati kaki kanannya bernasib sama.

Seingatnya, ini bukan rumah yang dikenal. Bukan rumah si brengksek itu, bukan pula rumah banci yang suka menempel dengannya.

Disamping ranjang terdapat sebuah meja. Ia bisa melihat sebuah pistol-miliknya, beserta satu stel pakaian formal.

"Oh, anda sudah sadar, ya?"

Tangannya refleks meraih pistol, mengarahkannya ke seorang pemuda dibalik pintu. Ia sedikit terkejut, bagaimana mungkin ada orang disana, sementara dirinya tidak merasakan hawa apapun.

Pemuda bersurai biru muda mengangkat kedua tangan, tersenyum tipis. "Tuan seorang polisi, ya? Saya menemukan anda tergeletak didekat rumah saya."

Yang menggenggam senjata tidak bergerak, masih mengancam akan menarik pelatuk.

"Syukurlah anda sudah sehat. Maaf karena saya tidak membawa anda kerumah sakit, disana penuh. Tapi tenang saja, saya punya dokter pribadi yang merawat luka anda." sahut si pemuda perlahan menurunkan tangan. "Kuroko. Nama saya Kuroko Tetsuya."

Pemuda bersurai merah tidak gentar. Alisnya menukik. "Siapa kau?"

Kuroko Tetsuya melangkah, menuju pemuda yang masih setia mengacungkan pistol. Seolah tidak peduli pada arah moncong, ia menarik garmen diatas meja. Bibirnya mengulas senyum tipis saat tangannya menggengam lengan kekar si pemuda bersurai crimson, menurunkannya perlahan. "Saya hanya seorang mahasiswa. Anda sendiri?"

secret agentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang