Aku menutup hidungku tak nyaman saat sesuatu yang membuat deretan gigi dalam mulutku terasa ngilu karena aroma manisnya yang berlebihan. Tapi sepertinya, si empu sama sekali tidak sadar kalau dia sudah membuat satu gerbong kereta melirik ke arah di mana dia berdiri sambil membaca buku pelajaran di tangannya.
Beberapa kali aku berdecak sebal. Di tengah kerumunan orang seperti ini, dia masih bisa belajar? Atau mungkin dia sedang mencoba menghafal pelajaran yang dia tidak bisa hanya dalam kereta, setelahnya dia hanya akan tertawa dengan temannya saat melihat nilai ujian hanya segaris merah menyerupai simbol eternal. Ah, tidak aneh untuk ukuran anak seceroboh dia.
Setelah hari di mana dia berpenampilan seperti pegulat lumpur, aku tidak terlalu sering melihat bocah itu, tapi setiap kali kami bertemu, aroma tidak biasa yang dia keluarkan sukses membuatku tahu kalau dia memang di sana.
Meski tempat kami berjauhan, aku bisa melihat bagaimana bocah itu cukup serius dengan apa yang dia baca, bahkan dia tidak sadar saat seorang pria tua yang berdiri tak jauh darinya melirik beberapa kali dengan wajah dan senyum mesum yang menjengkelkan.
Kurasa feromonnya bukan hanya menarik perhatian, tapi juga menarik bajingan seperti pria itu.
Aku memutar bola mataku sebelum berjalan melewati kerumunan orang yang berdiri menunggu kereta berhenti di stasiun. Tapi, aku tidak bisa melakukan itu saat pria tua menyebalkan di sana mulai tersenyum menjijikan.
Dari kerumunan manusia yang saling berdesakan di dalam.kereta, aku bisa melihat bagaimana tangan kurus pria tua itu berusaha dia selipkan di bawah, meski seharusnya orang-orang di dekatnya bisa merasakan bagaimana pria tua itu terus bergeser dan mencoba mengikis jaraknya dengan bocah itu, tapi sepertinya mereka tidak sadar untuk apa yang sebenarnya coba dilakukannya.
"Permisi," ujarku sambil terus mendekati bocah itu sama seperti yang pria tua di sana lakukan. Tidak sedikit orang yang mengeluh untuk kelakuanku, karena selain kami sudah berdesakan, panas, pengap dan pegal, sekarang malah orang sepertiku mencoba mengacau.
Ketika jarakku dengan bocah itu sudah tidak terlalu jauh, jiga tanganku yang sudah bisa menggapainya, kupukul tangannya dan membuat buku yang dia pegang jatuh. Baru saja dia coba memarahiku, aku segera menarik tangannya dan kulihat semburat ekspresi kesal pria tua itu dengan tangan yang mengepal marah saat mata kami bertemu.
"Apa-apaan kau?" Geramnya kesal hingga kami jadi pusat perhatian.
Bocah ini ... dia tidak ingat aku?
"Lepaskan!" Ucapnya lagi sambil mengibaskan tanganku dan berjongkok untuk mencari buku miliknya yang kujatuhkan.
Mengabaikan bocah itu sejenak, aku kembali melirik pria tua yang sejak tadi berusaha berbuat mesum pada bocah ini, sudah berbalik dan pergi perlahan, merayap di antara kerumunan orang di dalam gerbong. Syukurlah, kalau saja dia tidak pergi, mungkin aku akan meneriakinya.
"Hei!" Panggilnya penuh marah, hingga jadi perhatian, "kenapa memukulku? Kau punya masalah denganku?"
Karena dia tidak ingat aku, sepertinya mudah saja kalau aku.mengatakan, "Oh, maaf, kupikir kau orang yang kukenal." dengan wajah datar, kemudian mengabaikannya dan membuatnya marah.
Bodoh sekali dia, berkeliaran dengan feromon sekuat itu tapi bertingkah seolah orang-orang di sekitarnya tidak merasakan apapun.
Aku mengusap hidungku kasar beberapa kali. Dari jarak cukup jauh saja aku sudah bisa mencium aroma manis yang membuat gigiku sakit, apalagi sekarang kami hanya terhalang oleh satu orang ibu-ibu paruh baya yang sedang asik dengan ponselnya, aroma manis karamel itu benar-benar membuat gigiku sakit.
Lima belas menit kereta melaju stabil sampai akhirnya kami tiba di stasiun. Semua orang bergegas ke luar, begitu pun dengan bocah itu. Dari raut wajahnya, aku yakin kalau dia menghawatirkan sesuatu yang akan dia hadapi hari ini, tapi sialnya, dia tidak tahu apa yang sebenarnya harus dia khawatirkan adalah apa yang dia keluarkan sepanjang waktu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello; My Mate✔
RomanceSebelum baca ini, silakan baca My Mate lebih dulu. terima kasih.