Bab 14

3.2K 385 45
                                    

"Biar kubantu."

"Tidak, pergilah dan cari tempat nyamanmu sendiri." Ujarku setelah makan malam kami selesai dan sepertinya dia sudah lebih baik, wajahnya juga juga tidak terlalu pucat seperti tadi.

Aku membawa piring-piring kotor bekas makan kami tadi, saat aku mencuci semuanya dia terus saja merengek ingin membantuku, tapi tetap kularang dia.

Tapi setelah beberapa kali mendengarku menolak perintahnya untuk membantu, akhirnya dia berjalan menjauh dari dapur dan mencari tempat nyamannya sendiri. Harus kuakui, saat aku membeli sepetak tanah kosong dan membangun sebuah rumah di atasnya, jadi aku hanya membuat sebuah kamar, kamar mandi yang memiliki sekat, sisanya kubiarkan seperti tanah lapang, tanpa sekat dan menaruh semuanya di sana seperti ranjang, rak-rak buku, dapur, ruang tamu juga ruang kerja yang sama-sama bisa terlihat dari sudut manapun kau memandang, karena aku sama sekali tidak pernah berpikir kalau suatu hari rumah ini tidak hanya akan kutinggali sendiri.

Aku masih menyelesaikan cucian piringku saat kulihat Iharasi sudah duduk di sofa yang menghadap ke arah tv. Meski dia sudah makan banyak dan tidak sepucat awal, tapi dia masih diam seperti orang kebingungan. Aku tidak tahu apa yang sedang bocah itu pikirkan tapi yang jelas, dia harus tahu kalau aku ingin mengajaknya tinggal di sini.

Ini rencana bodoh, memang. Aku tahu kalau di sangat membenciku apalagi sekarang dalam perutnya ada anakku, hanya saja belum tentu dia mau menerima tawaranku untuk tinggal bersama.

Setelah selesai mencuci semua piring, aku membuka lemari es berharap ada sesuatu yang bisa dijadikan kudapan setelah makan. Tapi tak ada apapun di sana kecuali buah naga putih yang kubeli beberapa hari lalu karena diskon. Setelah mengupas dan menaruhnya di atas piring, aku langsung membawa itu padanya. "Aku dengar dari Inoue kalau orang hamil sangat suka makanan asam." Bohongku dan kembali ke dapur untuk mengambil segelas air lalu menenggaknya perlahan, sementara buah di atas piring itu hanya dia lihat tanpa bergerak. Namun tiba-tiba, dia berkata;

"Kenapa melakukan ini?"

"Apanya?"

"Kenapa kau peduli? Padahal kau tahu kalau aku bisa saja membuang anak ini?" Ujarnya dengan suara sedikit terdengar serak di telingaku.

"Jadi kau mau membuangnya? Baik, buang saja! Lalu, bagaimana kau akan membuang anak itu? Mengaborsinya? Melahirkannya dulu lalu memberikannya ke panti asuhan atau kau akan menjrjalkannya ke dalam toilet? Atau membuangnya ke tempat sampah atau mencinc—"

"Aku tidak sekejam itu Kuroda Shouhei!" Bentaknya nyaris menangis.

"Lalu apa? Memberikannya ke sakawanan anjing liar di jalanan?"

"Kubilang tidak! Aku tidak akan melakukan hal seperti itu pada anakku sendiri!" Suaranya terdengar naik beberapa oktav, setengah berteriak ke arahku, namun aku masih berusaha tenang meski sebenarnya aku juga ingin marah saat aku di bertanya apa aku peduli padanya?

Aku kembali berjalan mendekat ke arahnya, berjongkok tepat di depannya dan kulingkarkan tanganku dipinggangnya sementara wajahku menempel sempurna di perut datar bocah itu,  berharap bisa merasakan sebuah gerakan halus dari dalam sana, "Aku tahu kau tidak akan melakukan semua hal itu jadi berhenti berpikir yang tidak-tidak."

"A—aku...,"

"Kuroda-san! Kuroda-san! Terjadi pengeboman di Masaki klinik, inspektur Oogaki meminta untuk segera ke sana!"

Mendengar suara dari luar pagar rumah, aku segera melepaskan pelukanku dari Iharasi dan berlari ke depan. Di sana aku melihat seorang petugas dari divisi penyidik sedang berusaha memanjat pagar dan terus berteriak.

"Kenapa kalian tidak meneleponku?" Tanyaku setelah aku sudah cukup dekat dengannya untuk membuka pintu pagar tersebut.

"Kami sudah berkali-kali menelepon anda tapi tak ada satupun yang anda jawab!"

Hello; My Mate✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang