"Taman bermain?"
Aku memutar bola mataku saat Hiro mengatakannya sambil berbisik saat menarik ujung bajuku.
Kulihat wajahnya yang tertunduk dengan rambut terurai indah, sementara sebelah tangannya mengepal gemetar.
Hari ini, dia diantar ayah karena katanya, beberapa hari lalu dia demam, tidak masuk sekolah, bahkan menolak makan hanya ingin menemuiku. Bahkan ayah bilang kalau demamnya belum benar-benar sembuh, padahal aku dan Hiro sama sekali tidak melewatkan satu menit pun untuk tidak berkirim pesan tapi lihat dia, bahkan setiap kutanya kabarnya, dia akan terus menjawab kalau dia baik-baik saja, padahal keadaannya tidak lebih baik saat dia berbohong.
"Kau yakin? Kepalamu sudah tidak pusing?" Aku menaruh telapak tanganku di dahinya, memastikan kalau dia memang sudah tidak apa-apa. Tapi dengan cepat, anak itu menyingkirkan tanganku dan berdalih kalau dia sudah sehat.
Aku hanya menghela napas mendengarnya merengek seperti itu.
Sejak kami tinggal terpisah dan ayah menikah dengan orang lain beberapa bulan lalu, dia jadi sedikit lebih sensitif dari sebelumnya.
Satu setengah tahun aku di sini dan sudah kedelapan kalinya aku mendengar dia sakit. Itulah sebabnya aku ingin pergi ke Tokyo sesegera mungkin setelah lulus dan menjaganya seperti dulu."Aku akan—"
"Aku bawa uang, ayah memberi banyak semalam."
Hiro menarik ransel yang dia bawa, mengeluarkan sebuah dompet dari dalam sana dan mengeluarkan sebuah ATM juga sekitar dua puluh lembar uang seribu Yen. Ah, rasanya tak heran kalau dia dapat uang sebanyak ini, sejak dulu, ayah memang tidak pernah pelit untuk apapun. Dia akan memberikan kami uang bahkan tanpa kami minta.
"Simpan, itu uang jajanmu." Ucapku tak bisa menahan senyum sambil mengelus rambut panjangnya.
"Tap—"
"Aku belum tahu wilayah sini, arah, ataupun nama jalan, mungkin kita bisa memesan taks—"
"Tidak! Aku ingin naik bus atau kereta dengan Aniki, aku ingin tahu Kyoto...."
Aku menyerah.
Kuangkat tanganku, kuelus kepalanya sebelum berdiri. Sepertinya aku memang harus mencari aplikasi peta yang benar-benar akurat. "Kalau begitu kita pergi beso—"
"Sekarang!" Hiro memotong penuh semangat.
"A—ah, baik. Aku akan minta izin ibu dulu." Ujarku lalu meninggalkan Hiro yang mengangguk pasti.
Astaga, apa-apaan itu? Aku tidak pernah melihat Hiro seperti itu sebelumnya. Mungkin, ini pertama kalinya dia sangat antusias untuk keinginannya sendiri.
"Aniki...?" Hiro menghentikan langkahku, seketika aku berbalik melihatnya, entah apa yang ada dipikirannya sekarang, tapi yang jelas aku melihat kalau ada ketakutan di semburat raut wajah itu.
"Kita akan pulang sebelum malam." Ujarku memberinya sedikit senyum. Setelah itu, wajahnya tidak lagi menunjukan ketakutan yang lebih besar dari apa yang kujawab.
Awalnya ibu kesal mendengar kalau aku ingin membawa Hiro pergi, dia khawatir kalau tiba-tiba anak itu pingsan di tengah jalan dan berakhir keributan dengan orang tua barunya. Tapi, setelah kukatakan kalau aku tidak akan pulang lewat dari jam sembilan malam, akhirnya dia setuju.
Bagaimanapun, ibu tahu kalau wanita yang dinikahi ayah kami cukup overprotektif terhadap Hiro. Meski dari yang kudengar, Hiro tidak terlalu menyukai wanita itu, tetap saja sekarang mereka adalah keluarga.
"Kau tunggu dulu di depan, aku melupakan sesuatu." Ujarku kemudian berbalik dan kembali ke kamar.
Aku membuka laci meja belajarku, di sana aku menaruh cukup banyak benda, seperti kotak pensil, notebook mini, dan beberapa perlengkapan sekolah yang kubeli tapi belum sempat kupakai, juga beberapa suppressant berbagai merk. Semuanya kualitas terbaik dengan harga yang lumayan tinggi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello; My Mate✔
RomanceSebelum baca ini, silakan baca My Mate lebih dulu. terima kasih.