Alarm ponselku menyala dan berteriak cukup nyaring di rumah yang sangat sepi ini.
Setelah berhasil memaksaku bangun, aku segera mematikannya dan hanya duduk dengan punggung tersandar pada kepala ranjang.
Kuusap wajahku kasar dan aku juga bisa merasakan ada sedikit janggut dan kumis mulai tumbuh tak terawat di sana. Sial, jika aku berkaca sekarang mungkin aku akan menertawakan diriku sendiri karena sejak tiga hari terakhir penampilanku sangat kacau.
Ya, tiga hari.
Sejak Iharasi dibawa masuk ke UGD, menginap semalam di ICU lalu dipindah ke ruang perawatan hingga sekarang. Tapi dia belum sedikitpun menunjukan tanda-tanda akan sadar.
Sepertinya, aku masih harus bekerja keras....
Sejak Iharasi dipindahkan ke rumah sakit di kota, aku selalu menemaninya dan tidak pernah sekalipun meniggalkan dia. Beberapa kali orang tuanya menelepon untuk menanyakan keadaannya ke kantor karena khawatir sejak ponsel bocah itu hancur tergilas mobilku, bocah itu tidak pernah terdengar kabar.
Dan aku hanya bisa mengatakan kalau dia baik-baik saja....
Tentu saja aku tidak bisa bilang kalau sekarang anak mereka sedang dirawat intensif karena pendarahan pada kandungannya. Sementara anak yang sedang dia kandung, adalah anakku.
Aku bisa membayangkan bagaimana paniknya mereka nanti, dengan berondongan pertanyaan juga tuduhan-tuduhan yang tentu saja akan memojokkanku. Membayangkan semua kemungkinan itu, aku lebih memilih diam dan berbohong setidaknya sampai bocah itu benar-benar bangun baru aku akan memikirkan cara dan bagaimana menyusun kalimat bagus untuk menghadap orang tuanya nanti.
Setelah memberi makan kucing-kucing yang kubiarkan berkeliaran di seluruh sudut rumah, aku memilih menyegarkan diri dengan mandi dan sedikit membersihkan janggut dan kumis tipisku yang tak terawat beberapa hari ini.
Selesai mandi, bercukur dan berpakaian, aku segera mengeluarkan mobilku dan kembali ke rumah sakit.
Tapi saat aku tiba di sana, inspektur Oogaki sudah lebih dulu tiba, bahkan aku melihat ada sekeranjang buah di atas meja, mungkin inspektur Oogaki yang membawanya.
Sungguh, jika aku tahu dia akan datang mungkin aku juga akan membeli segelas kopi.
"Dokter mengatakan sesuatu?" Tanyaku sukses mengagetkan pria tua itu.
"Kupikir kau akan tidur lebih lama?" Dia balik bertanya. Tapi aku hanya menggeleng kemudian memijit pangkal hidungku kuat-kuat.
Aku memang sangat mengantuk sekarang tapi aku tidak bisa nyenyak tidur sementara dia belum sadar. "Tidak, aku hanya pulang untuk sedikit bercukur."
"Bagaimana anak kalian?"
"Dokter bilang tidak apa-apa."
"Lalu, kapan dia akan sadar?"
Aku menggeleng. "Mungkin sebaiknya sekarang dia tidur lebih banyak agar isi kepalanya bisa sedikit lebih baik."
Inspektur Oogaki tertawa, "Bagaimana dengan lukamu?"
"Ah, sudah lebih baik." Jawabku. Ya, luka di tanganku sudah jauh lebih baik karena hampir setiap hari dokter mengobati dan mengganti perbannya berkala, jadi sekarang, rasanya tidak terlalu menyakitkan seperti pertama.
Inspektur Oogaki mengangguk, seolah paham perasaanku saat ini. "Kau sudah makan?"
"Aku sudah makan sepotong roti tadi sebelum datang."
"Kalau begitu makan lagi! Kau harus jadi kuat sampai anak itu lahir! Jangan buat dirimu lembek kau mengerti!"
"Tapi aku bukan orang banyak makan sepertimu, inspektur!" Aku menolak tapi inspektur Oogaki terus menarik tanganku untuk mengikutinya ke kantin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello; My Mate✔
Roman d'amourSebelum baca ini, silakan baca My Mate lebih dulu. terima kasih.