Prolog

1.9K 241 41
                                    

Hanya karena garis takdir.

Manusia terlahir, bertumbuh, lalu kembali kepada si pencipta hidup.

Yuki merenung sesaat memandang foto mendiang suaminya, ia tersenyum samar, juga menyentuh benda itu sebelum kembali meletakkannya di etalase kaca.

Ini menyakitkan.

Hampir satu tahun lalu mereka berdua masih bisa saling berpelukan, kemudian kecelakaan di sabtu malam itu merenggut. Yuki tidak berdaya, berkali-kali merasa telah terpukul sesuatu hingga tubuhnya nyeri. Akan tetapi, semuanya menjadi lain ketika Yuki mendapati dirinya mulai berpaling.

Sungguh, ia adalah wanita dewasa yang bisa berpikir lebih rasional.

Ada banyak sekali cinta, Yuki bisa dengan leluasa menentukan. "Aku yakin perasaanku tetap sama, tetap dan hanya untuk suamiku."

Laki-laki itu.

Yuki selalu was-was setiap kali harus bertemu pandang. Ini bukan sekedar drama dua remaja yang saling jatuh cinta lalu menjalin hubungan, tidak sesingkat itu.

Di sini, Yuki wanita dewasa yang hampir kepala tiga dengan satu anak bayi berusia delapan bulan. Sedangkan laki-laki itu masih belasan tahun, masih anak sekolah. Tapi ketegangan antara keduanya tidak dapat dibendung. Laki-laki itu merupakan teman sekolah adik perempuannya, sering ke rumah dan tidak jarang seharian penuh berada di sana. Yuki merasa lain semenjak laki-laki itu berani mendekatinya diam-diam, mengirim pesan penuh perhatian, bahkan berani menyatakan perasaan. Itu semua buruk. Yuki berpikir jika dirinya dengan si laki-laki memiliki dinding pembatas yang kokoh, mulai dari jarak usia mereka hingga tuntutan pada laki-laki itu sendiri yang belum sepenuhnya dewasa.

"Kak Yuki?!"

"Ssstt." Bayi yang sejak tadi tidur sekaligus menyusu padanya sedikit terusik. Yuki menghela napas memandang Sana sembari menepuk bokong anak perempuannya pelan hingga dia kembali memejamkan mata. Lovely demam sejak semalam, rewel dan terus minta digendong sampai tangan kiri Yuki kebas. "Ada apa?"

"Nanti saja deh, tunggu sampai Love tenang."

"Memangnya ada apa sih?"

"Itu," Sana menggaruk ujung kepalanya yang tidak gatal. "Ibu ngirain kakak sudah selesai nidurin Love, makanya dia nyuruh aku ke sini manggil kakak buat ngebantuin dia di dapur."

Ada pesanan dua ratus kotak nasi, Yuki dan Ibunya menjalankan bisnis katering ini semenjak enam bulan terakhir. "Sebentar, sepuluh menit lagi kakak ke dapur."

Sepeninggal suaminya, Yuki mencari cara untuk tetap bertahan hidup dan tidak bergantung pada orangtuanya yang bahkan masih memiliki tanggungan untuk membiayai sekolah Sana. Hanya perlu hidup bahagia dan berkecukupan, apalagi yang ia inginkan setelah itu? Melihat putrinya Love bertumbuh meski pun tanpa figur seorang Ayah. Tanpa figur laki-laki baik seperti mendiang suaminya, Arsaka Damara.

Yuki akhirnya bisa bernapas lega seusai meletakkan tubuh mungil Lovely ke dalam boks bayi, mengelus puncak kepalanya sebentar kemudian beranjak dari sana. Sebelum itu, Yuki juga membawa serta gelas kosong bekas air minumnya. Ia menuruni tangga, melangkah melewati ruang tengah dengan santai. Tetapi, Yuki tidak bisa berpura-pura tidak melihat laki-laki itu yang tengah bersama Sana dan tiga temannya. Matanya tajam, dalam, juga sanggup membuat Yuki salang tingkah. Beruntung tingkahnya tidak disadari yang lain, Yuki hanya tersenyum tipis menyahuti sapaan ceria Rico dan Luna, tanpa berniat berlama-lama memandang laki-laki itu.

Seperti paradigma menyakitkan.

"Eh, Stefan. Gantian sini, mana joystick nya?"

Yuki tidak terlalu mendengarkan ucapan anak-anak remaja itu, memilih berlalu untuk menenangkan diri. Karena sepertinya dia telah terbawa oleh delusi memuakkan.














To be continue...

Vote dan komentarnya dinanti. ❤

23 September 2019

Last FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang