[2]

16 4 5
                                    

[ scripted. | 2 ]

— Alvarendra's P.O.V.

Hujan menyelimuti bumi di awal bulan. Di siang hari yang harusnya terang dan cerah malah digantikan dengan awan-awan berwarna gelap yang ditemani oleh gemuruh guntur dan angin yang kencang.

Dulu, aku adalah seorang anak yang mencintai hujan. Suara hujan yang jatuh membawa kehangatan di hatiku. Suara hujan yang membawa jiwaku ketenangan. Bau hujan yang menenangkan pikiranku. Hujan, dimana cokelat panas selalu dibuatkan bunda untukku. Hujan, dimana biasanya aku dipeluk hangat dengan penuh kasih sayang oleh bunda. Hujan, dimana langit akhirnya bisa menangis dengan tenang berbagi kesedihan dengan bumi.

Aku yang sekarang adalah lelaki yang membenci yang namanya hujan. Aku benci setiap turunnya hujan. Suara hujan yang dulu membawa kehangatan di hatiku malah sekarang membuat hatiku tertusuk. Hujan yang sekarang malah membuatku meringkuk di pojok ruangan sambil memegang kedua kakiku. Hujan yang sekarang malah membuatku menangis tanpa henti. Hujan yang sekarang malah membuat hatiku tiada tenang.

Aku.
Aku yang pernah kehilangan orang yang istimewa dan berarti dikala hujan turun 10 tahun yang lalu. hari itu berat ketika aku mendengarnya kabar itu. tubuh ku lemas, senyumku yang biasanya merekah akhirnya jatuh.

Hujan merupakan suatu kelemahanku. Setelah kejadian itu aku sangat sulit menghadapi hujan. Seperti yang kukatakan sebelumnya, hal yang biasa kulakukan adalah meringkuk di tempat tidur berusaha untuk tidur. Setelah kejadian itu aku juga mengidap insomnia dimana aku sulit tidur. Aku bergantung kepada pil tidur untuk membantuku tidur. Aku tahu itu tidak baik, tapi setidaknya dengan itu aku bisa tidur.

Dikala hujan aku kehilangan sosok penting bagiku. Ayah dan aku kehilangan sosok bunda. Dan itu membuat aku benci dengan fakta bahwa disaat semua orang dapat melepas rindu bersama seorang bunda aku tidak. Hati ku perih saat aku mengetahui hal tersebut. Ayah selama ini berusaha untuk mengisi kekosongan tersebut, tapi terkadang ada hal-hal yang tidak bisa diisi.

Hari itu masih terulang di pikiranku hingga hari ini aku mengingat ketika hujan turun dengan derasnya. Dan aku ingat tepat saat langit menangis pada waktu yang tidak tepat. Saat perjalanan pulang pengemudi truk tidak bisa melihat mobil bunda yang hendak melaju dan hari itu aku kehilangan bunda.

Dan hari pemakaman bunda, tangisanku untuk pertama kalinya tidak jatuh. Namun karena kejadian itu ada suatu peristiwa yang paling ku ingat sampai hari ini. Hari pemakaman bunda, hari itu adalah hari yang cerah seolah matahari sedang tersenyum. Setidaknya disaat aku sedang bersedih ada matahari yang sedang tersenyum.

Aku berdiri di samping makam bunda. Aku hanya menatap lurus ke depan bahkan sulit bagiku untuk melihat makam bunda. Aku hanya berdiri disamping makam bunda dengan bunga aster di tangan kecilku. Bunga aster adalah bunga kesayangan ibu. Aku menaruh bunga tersebut disamping makamnya. Dan disaat itu, tiba -tiba seorang gadis kecil menghampiriku.

"Kamu kok gak nangis" tanya seorang gadis seumuranku yang datang ke makam bunda. Ia bertanya dengan polosnya layaknya gadis kecil lugu pada umumnya.

"Ayah bilang lelaki kalau nangis lemah, aku bukan lelaki yang lemah." kataku datar dan pelan. Sejujurnya bagaimana seorang anak laki-laki berumur 7 tahun dapat menahan tangisnya? Mungkin kalian tidak akan percaya. Bahkan, sampai saat ini aku juga bertanya-tanya kenapa aku tidak pernah menangis.

"Kata mamaku kalau laki laki gak bisa nangis justru dia yang lemah" katanya sambil meremehkan ku sedikit. Tatapannya melihat kearahku lemah. Jujur, aku sangat bingung dengan perkataan gadis itu pada masa itu.

Disitu aku keheranan, "tetapi-", dia memotong ku dan mulai mendekat kemudian berbisik tepat di telingaku "Karena laki laki yang kuat itu yang bisa nunjukin kalau dia lagi sedih" katanya pelan. Dia menjauh dan tersenyum di hadapanku. Dia menepuk bahuku pelan dengan senyum polosnya.

Saat itu juga aku merasakan cairan bening turun dari mataku iya, tangisan ku akhirnya pecah. Dan gadis itu memberikan aku sebuah kain berbentuk kotak untuk cairan bening tersebut. Dia memberinya dengan senyuman dan mengisyaratkanku untuk mengusap tangisanku. Dia pun pergi setelah memberikan kain tersebut, karena seorang gadis kecil yang mirip dengannya memanggilnya.

"Kalina ayo kita pergi mama udah nunggu" Teriak sosok laki-laki yang terlihat lebih tua sedikit dari ku kepada gadis tersebut.

"Aku duluan ya dadah" Ucapnya padaku sambil tersenyum simpul dan langsung berlarian kecil kearah orang yang memanggilnya.

Aku tersenyum mengingat kejadian itu. Aku berumur 7 tahun hampir 8 tahun saat kejadian tersebut terjadi.

"Kalina" ucapku pelan. Dan namanya itu adalah nama yang ku ingat hingga hari ini. Sosok gadis lugu yang memberiku sebuah sapu tangan disaat aku bersedih. Sosok pahlawan bagiku. Sosok yang membuat tangisanku jatuh.

Hari ini, Tanggal satu. Gadis lugu yang sama mengalami hal yang sama denganku. Ia kehilangan seseorang yang penting baginya. Hari ini aku melihatnya sepintas, namun dia menghiraukan semua orang. Mukanya datar, matanya kosong. Ia susah berbicara, ia bahkan tak kuat melihat tubuh kembarannya. Ia bahkan tidak kuat melihat prosesi pemakaman sosok kembarannya itu. Ia memilih untuk melihat dari jauh. Ia melihat dari bawah pohon. Bahkan aku yang melihatnya juga ikut terharu dan sedih.

Rasanya aku ingin mengembalikan kain kotak dengan motif lebah kecil di ujung atasnya yang pernah ia berikan kepadaku saat kejadian yang sama menimpaku. Namun saat aku ingin memberikan itu, dia menghilang. Kurasa dia pergi untuk menangis karena aku tau dia adalah wanita yang kuat.

Hari ini dia kehilangan kembarannya saat hujan. Kami berdua kehilangan seseorang yang penting di hari hujan. Dan mungkin karena itu kami berdua membenci hari hujan.

scripted.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang