[3]

16 3 1
                                    

[ scripted. | 3 ]

Sekolah menjadi tempat yang paling aku hindari akhir-akhir ini karena sekolah adalah tempat dimana aku dan Nina sering menghabiskan waktu. Tapi saat aku menginjak hari ketiga belas aku tidak masuk sekolah, aku sadar. Seakan batinku menasihatiku untuk bangun kembali untuk menata hidupku lagi. 

Gerbang hitam yang tinggi dan megah itu sudah mulai terlihat. Aku menarik nafas pelan saat gedung dibalik gerbang itu terlihat di depan mataku. 

"Ayo Kalina bisa ayo!" Ucapku pelan menyemangati diriku sebelum aku akhirnya memberanikan diri untuk membuka pintu mobilku. Akhirnya aku menginjakkan kedua kaki ku di depan pintu masuk sekolah.

Jujur aku tidak ingin berada disini sekarang. Tapi aku yakin Nina tidak suka melihatku sedih aku yakin dia akan memaksaku masuk sekolah. Dan salah satu alasan aku berada disini pada hari ini adalah karena  hari sebelumnya juga aku mendapat telfon dari guru lebih tepatnya wali kelasku. Beginilah sekilas pembicaraan kami sebelumnya,

"Kalina Edith. Kamu sudah alfa lebih dari sepuluh hari. Besok kamu harus ke sekolah menemui saya. Kalau besok kamu tidak datang kamu saya pastikan tidak naik kelas." Ucap wali kelas ku tegas tanpa basa basi dan tanpa menunggu jawaban ia pun langsung mematikan sambungan telfon.

Aku tersenyum kecut, memang ini tandanya aku harus masuk sekolah. Dan malam itu aku langsung mempersiapkan seragamku dan tas sekolahku. Saat mempersiapkan itu semua hatiku berat. Aku harus memasuki kamar yang tidak pernah ku tempati selama 3 minggu lebih. Kamar yang terus aku hindari saat berada di dalam rumah. Dimana terakhir kali aku masuk ke dalam kamar tersebut adalah pada saat aku berpelukan hangat dengan Karlos. Tepat setelah pemakaman Kanina. 

Tapi akhirnya aku memasuki kamar tersebut walaupun dengan tangan yang gemetar. Aku membuka lemari hitam dari bagian kamarku dan mengambil seragamku. Aku kemudian menghampiri pojok ruangan tersebut dimana ada meja belajar kami. Aku mengambil tas sekolahku yang berada di atas meja belajarku. 

Tak lama kemudian aku mendengar suara ketukan pintu. Aku langsung menolehkan kepalaku kearah pintu tersebut. Sosok wanita tengah baya dengan balutan baju rumahan. Wanita yang kukenal dengan panggilan Ibu.

"Lina ngapain?" Tanya Ibu yang kemudian berjalan menghampiriku. 

Aku tersenyum sambil melanjutkan merapikan tas sekolahku, "Lina lagi beresin tas bu, besok Lina sudah mau masuk seperti biasa" Kataku pelan. Ibu hanya menganggukan kepalanya. 

Tiba-tiba Ibu berdeham pelan, "Kamu masih mau tidur disini, sayang?" Tanya Ibu pelan yang membuatku terdiam sesaat. "Kalau kamu mungkin belum kuat apa sebaiknya Ibu pindahkan saja ya barang-barang sekalian perabotanmu ke kamar mu yang sekarang?" Tanya Ibu sambil mengusap puncak kepalaku.

Aku terdiam sesaat sebelum akhirnya menjawab, "Boleh bu, tapi tolong perabotannya biarkan saja. Lina mau kamar ini kayak gini aja dan gak berubah." Kataku pada Ibu sambil melihat keliling kamar yang di penuhi oleh perabotan dengan nuansa hitam dan putih. Ibu kemudian mengangguk dan keluar saat mengetahui aku sudah selesai membereskan barang-barangku untuk hari esok. 

Aku kemudian keluar dari kamar tersebut sambil melihatnya, aku tersenyum dan menutupnya tak lupa menguncinya. 

Keesokan harinya aku datang ke sekolah dengan tas kesayanganku. Aku berjalan pelan melewati lorong-lorong sekolah. Loker berwarna abu-abu menghiasi di kedua sisi lorong. Seketika ingatan ku membuat ku bergeming. Aku teringat ketika setiap pagi Rina jalan bersebelahan denganku. "Si kembar Lina dan Nina" merupakan julukan yang diberikan oleh teman-teman kepada kami. Tapi sekarang julukanku adalah "Kalina, kembaran Nina yang baru saja meninggal dunia".

Aku mendengarkan bisikan bisikan saat aku jalan melewati mereka. Muka mereka bercampur ada yang mengasihaniku ada yang melihat ku dan ikut sedih. Tapi pandangan mereka itu malah membuatku sakit karena aku merasa aku tak perlu rasa kasihan mereka. Sudah cukup saat hari pemakaman disaat semua orang mendadak menjadi sahabat nina.

And when someone's gone suddenly everyone cares but when you're alive no one actually cares.

Pathetic.

Saat nina mulai terbuka tentang penyakitnya aku mengingat semua ucapan mereka. Bahkan sampai saat ini ucapan mereka menghantuiku. Tak perlu ku bahas ulang sekarang. Karena jujur aku sendiri tidak kuat mendengarnya.

Aku mulai melangkahkan kakiku ke arah ruang kepala sekolah tanpa menghiraukan bisikan-bisikan mereka. Sampai akhirnya aku memberhentikan langkahku di depan pintu berwarna putih. Aku mengetuk pintunya pelan dan membukanya saat aku mendengar suara yang menyuruhku untuk memasuki ruangan tersebut. Aku memasuki ruangan tersebut. Ruangan yang rata-rata terdiri atas buku, dokumen-dokumen penting sekolah dan piala sekolah.

Saat memasuki ruangan tersebut aku disambut oleh wanita paruh baya dengan pakaian rapi. Ia tersenyum hangat saat melihatku berdiri di depan pintu. Aku hanya membalas senyumannya dengan senyuman kecil.

"Kalina lama tak berjumpa" ujarnya sambil mengisyaratkanku untuk duduk di hadapannya.

"Pagi Ibu" ucapku sambil tersenyum kemudian langsung melepas tasku dan kemudian aku langsung duduk di hadapan beliau. 

"Turut berduka ya nak" ucapnya sambil menatapku sedih.

Nafasku tercekat sebelum akhirnya menjawab sambil tersenyum singkat, "Iya, terima kasih bu".

"Sebelumnya kamu tahu kan batas tidak masuk itu 10 hari dan seperti yang kamu ketahui adalah apabila ada yang lebih dari 10 hari absen maka keputusan sekolah adalah dikembalikan kepada orang tua alias drop out" Jelasnya sambil menatapku. 

Aku terdiam sebelum akhirnya ia melanjutkan,

"Karena ibu yakin kamu memiliki potensi yang besar dan kamu adalah salah satu siswa yang berprestasi, maka ibu mau membantu kamu. Ini teks drama, kamu harus menampilkan drama ini di Apresiasi Seni pada akhir tahun ini, sekitar 3 bulan lagi." Ucapnya tegas sambil memberikanku kumpulan kertas yang di jilid rapi yang kutebak adalah naskah drama yang ia maksud.

"Ibu saya bukan anak drama, Hal yang saya bisa lakukan hanya melukis, bermain musik tapi bukan membawakan seni drama bu" ucapku mencoba bernegosiasi. Karena memang aku tidak bisa bermain teater bahkan bisa dibilang aku sangatlah buruk di bidang tersebut.

"Itu bukanlah masalah nak, Saya sudah meminta bantuan oleh salah satu siswa yang memang dapat membantu kamu di bidang tersebut. Saya sudah minta tolong dan saya memutuskan bahwa nanti kamu akan dibantu oleh Alvarendra" ucap kepala sekolah ku sambil tersenyum. 

Alvarendra? sosok yang menjabat sebagai ketua klub drama sekolah. Kami saling kenal tentunya. Tapi tetap saja, sejujurnya aku tidak yakin. Aku tidak yakin apakah dia dapat membantuku. 

Seorang Alvarendra? Satu pertanyaan lagi, 

How can i pull this off?

scripted.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang