[8]

10 1 0
                                    

[ scripted. | 8 ]

Alvarendra P.O.V

Entah mengapa malam ini aku dapat tertidur. Sebelum aku benar-benar tertidur malam itu, semua ingatanku tentang hari itu muncul perlahan-lahan. Kejadian menyedihkan yang menimpaku 10 tahun yang lalu. Semuanya muncul seperti potongan film yang mulai terputar di alam bawah sadarku. Aku masih dalam keadaan sadar tapi aku tidak dapat terbangun dari tidurku. Sekujur badanku kaku dan aku sama sekali tidak dapat merasakan tubuhku.

Samar-samar aku dapat mendengar suara hujan yang turun. Berbarengan dengan itu aku mulai menegang saat aku melihat bayangan aku 10 tahun yang lalu dengan ayah yang sedang menangis di rumah sakit. Saat kami berlarian mencari tahu keberadaan Bunda. Aku ingin berteriak sekencang mungkin namun rasanya seperti ada yang menahanku.

Bangun. Aku ingin bangun. 

Tolong, bangunkan aku dari mimpi ini. Aku berkata pelan dalam hatiku. Mimpi itu seperti berlangsung lama. Aku masih bisa mendengar suara hujan. Rasanya aku mencoba untuk memberontak tapi yang aku rasakan malah tekanan yang jauh lebih parah. Dada ku sesak hingg aku sulit bernafas.  Aku merasakan keringat dingin mulai mengucur di pelipisku. 

Tolong. ucapku pelan. 

Tak lama kemudian, tekanan yang tadi sempat aku rasa di dada ku mulai menghilang. aku mulai bisa merasakan tubuhku lagi. Aku pun akhirnya terbangun, aku langsung mendudukan badanku. Aku mencoba menenangkan diriku dengan nafas yang masih tersenggal-senggal. Keringat dingin bercucuran. Aku merasakan ada cairan bening yang mulai turun dari pelupuk mataku.

Aku dengan cepat langsung beranjak dan membuka pintu kamarku. Aku keluar dan menutupnya di belakangku. Aku menutupnya dan mengambil nafas dalam. Keadaan rumah gelap, remang-remang. Aku perlahan menuruni tangga  ke lantai bawah. Tepatnya ke arah dapur. 

Aku berjalan menyalakan lampu dan langsung mengambil gelas. Aku secara perlahan langsung menuangkan diriku segelas air. Aku langsung mengambil nafas dalam lagi dan mulai mengatur nafasku. 

Aku langsung mengarah ke arah laci yang berisi obat-obatan. Aku langsung meraih botol obat-obatan yang biasanya aku konsumsi untuk menenangkanku. Aku mengambil satu butir dan langsung menegaknya bersamaan dengan sisa airku. 

Inilah yang selalu terjadi padaku ketika mimpi buruk itu datang menghampiriku. Dan itu membuatku bertanya apakah aku bisa lepas dari obat penenang itu? 

Aku mendengar suara langkah kaki berat yang mulai menuruni tangga. Akhirnya bayangan seseorang terlihat, Ayah.

"Alva-" panggilnya pelan namun saat melihat botol obat ku yang ada di meja dan pelipisku yang bercucuran oleh keringat dingin, ia langsung menghampiriku panik. "Ya ampun Alva, kamu kenapa?" tanyanya. Ia langsung meraba keningku dan langsung mengambil tissue dan langsung menyeka keringat yang ada di wajahku.

"Mimpi buruk lagi?" Tanyanya pelan yang kemudian ku jawab dengan anggukan pelan. Ia menghela nafas pelan. Ia menatapku bentar dan langsung kearah lemari dan mengambil gelas dan menuangkan air putih ke dalamnya.

Ia langsung mengambil tempat duduk dihadapanku dan meminum airnya. "Ayah juga mimpi tentang bunda" ucapnya yang langsung membuatku menatap kearahnya. Kemudian pandangan ku jatuh ke jendela yang terletak dibelakang papa persis. Hujan.

Aku tersenyum sarkas saat melihat kondisi hujan. "Setiap hujan turun, aku selalu kayak gini yah. Bahkan alam bawah sadarku tahu kalau di luar sedang hujan." Kataku kepadanya. Ia hanya tersenyum pelan. "Kamu tidak bisa selamanya menyalahkan hujan Alva" Ujarnya tenang yang kemudian berdiri.

"Ayah tidur lagi, kamu juga harus tidur lagi. Gak usah sekolah dulu nanti ayah ijinkan ke wali kelas kamu" Katanya sebelum akhirnya beranjak pergi menaiki anak tangga. Aku menatap bayangannya yang perlahan menghilang itu.

Kata-katanya terngiang-ngiang di otakku. Kamu tidak bisa selamanya menyalahkan hujan. Kalimat itu kemudian membuatku sekarang bangkit dan menuju ke kamarku. Saat aku sampai di kamar aku mengunci pintu dan langsung menuju pintu balkon yang berada di kamarku. Aku menatap keluar kamarku. Hujan. Air nya terus turun. Aku menatap kearah langit yang masih gelap. Aku menatap keluar.

Aku langsung kembali duduk diatas kasurku. Aku merenungkan kata-kata ayah. Sungguh, aku kangen bunda.

Aku merenung hingga tanpa kusadari langit mulai menjadi terang. Sinar matahari mulai menyapaku. Aku menghalangi sinar tersebut yang menyinari mataku dengan tanganku. Aku kemudian mendudukkan diri di pinggir kasur sambil menatap kearah jendela dengan tatapan kosong. 

Suara deringan ponsel terdengar dari meja samping tempat tidurku. Aku menatap ponselku dari kejauhan sebelum akhirnya mengambilnya dan duduk kembali diatas tempat tidurku. Aku melihat layarnya yang jelas ada panggilan dari nomor Atlas. Aku dengan malas langsung mengangkatnya. 

"Halo?" Ucapku malas yang kemudian di jawab, "DIR LO GAPAPA?" teriak Atlas yang membuatku kaget dan langsung menjauhkan ponselku dari telingaku. Aku meringis pelan sebelum akhirnya menaruh ponselku tepat di telingaku. 

"Gue gapapa Atlas, jangan kangen sama gue. Bilangin guru ya apalagi Miss Dita" Ucapku kepadanya sebelum akhirnya aku mematikan panggilan tersebut. 

Aku beranjak dari tempat tidurku dan langsung keluar dari kamarku dan menuju ke lantai bawah. Waktu menunjukkan pukul 9 pagi. Aku langsung ke arah dapur dan langsung membuat diriku sarapan. Saat aku akan membuka kulkas aku melihat sebuah surat kecil yang ditulis oleh ayah. 

" Alva, Ayah kerja dulu. Take ur time to rest ya! Jangan telat makan dan jangan lupa doa selalu. Kalau ada apa-apa jangan repotin mama!" Bacaku keras. Aku tersenyum dan terkekeh pelan sebelum akhirnya langsung membuka kulkas dan mengambil bahan-bahan untuk membuat omelette. 

Ayah dan aku tinggal sendiri. Kami berusaha terbiasa dan mulai belajar hal-hal kecil seperti memasak, mencuci baju dan hal-hal kecil lainnya. Akhirnya setelah 6 tahun kepergiannya Bunda, Ayah memilih untuk menikah lagi. Pada awalnya aku menentang bahkan di umurku yang masih cukup muda itu aku mengancam untuk kabur dari rumah. Saat kupikir lagi sekarang itu menurutku adalah hal yang paling konyol. 

Tapi pada akhirnya aku mulai menerima sosok Mama di kehidupan kami. Mama adalah seorang penulis yang menurutku cukup mengagumkan dan menurutku ia adalah sosok yang pas sebagai pendamping Ayah. Walaupun memang tiada yang bisa menggantikan Bunda. Akhirnya aku mulai menerimanya walaupun memang kami dulu sering berargumen dan berdebat tapi sekarang aku sangat menyayanginya. 

Setelah sarapan aku langsung berjalan keliling rumahku. Entah mengapa tapi hari ini aku ingin berkeliling. Aku mulai dari ruang tamu dimana semua foto keluarga terpampang jelas. Aku tersenyum melihat foto kami bertiga beberapa tahun yang lalu. Kemudian ada foto kami bertiga saat liburan ke Paris dua tahun yang lalu. Aku tersenyum mengingat semua memori yang ku buat dengan Ayah. 

"Alva, ngapain disini kok gak istirahat di kamar?" Tanya seseorang dari belakangku. Aku membalikkan badanku dan tersenyum saat melihat mama yang berada di belakangku. 

"Alva lagi pengen liat-liat foto keluarga ma," Kataku kepadanya sambil tersenyum. Aku kemudian mengalihkan pandanganku kearah foto besar yang ada di tengah-tengah ruang tamu. Foto pernikahan ayah dan mama dimana aku masih sangat kecil dan polos disitu mukaku marah. Aku tersenyum dan menunjuk foto tersebut sambil berkata, "Ma liat deh, muka Alva disitu... Inget gak pas Alva gak sengaja numpahin minuman punch ke dress mama?" Tanyaku sambil tertawa.

Mama langsung menjawabku dengan tawaan renyah, "Kamu pas dulu itu gemes tau Va, bener-bener mama gak bisa sama sekali marah sama kamu," Katanya kemudian menjalan mendekat. Ia langsung merangkulku. 

"Alva sekarang sudah besar ya," Katanya kemudian langsung melepas pelukannya dan mengusap kepala ku. Aku hanya tersenyum kearahnya. 

Tapi mungkin aku kehilangan sosok Bunda. Namun, pada akhirnya dengan kedatangan Mama aku harus belajar untuk menerima orang di kehidupanku. Dan aku sama sekali tidak menyesal menerima wanita yang merangkulku dengan lembut tadi. 

scripted.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang