[7]

14 3 0
                                    

[ scripted. | 7 ]

Alvarendra P.O.V

Hari itu langit berwarna biru terang ditemani oleh cahaya mentari. Aku tersenyum hangat melihatnya. Aku terus berjalan memasuki area sekolah sambil menatap langit biru. 

Lamunanku buyar saat ada seseorang yang menabrakku dari belakang dan langsung merangkulku. Aku sudah bersiap berkata kasar sebelum akhirnya niatku ku urungkan saat melihat sosok sahabatku. Iya, Atlas yang sedang tersenyum kepadaku. 

"Kaget tau gak?" Kataku kepadanya dengan nada jengkel. Atlas hanya cemberut. 

"Ih lagian lo senyum-senyum kayak orang gila sampe gak sadar itu ada tembok di depan lo tuh" Ujarnya sambil menolehkan kepalaku kearah depan dimana disitu terdapat sebuah tembok putih. 

Aku menatapnya sambil tersenyum polos, "hehe ya maaf kan ga liat" kataku santai. 

Atlas langsung melepaskan rangkulannya dan memukulku pelan sebelum akhirnya mengarahkanku berjalan kearah kelas. Kebetulan kelas kami bersebelahan. 

Atlas pun akhirnya membuka pembicaraan, "Gimana Kalina? dia udah jawab pertanyaan gila nan freak lu?" tanyanya.

Aku menatapnya marah, "Ga freak gila" ucapku. 

"SIAPA YANG SEGILA LO NGAJAK ORANG PACARAN BUAT DRAMA DOANG HAH?" Ujar Atlas kencang yang membuat orang-orang disekitar menatap kami aneh. 

Aku menarik Atlas dan langsung berjalan cepat. "Kalau bisa, lo udah gue jual At. Sumpah mulut lo toa banget" Kataku padanya sambil berjalan yang hanya dibalas oleh cengiran. Dan akhirnya kami sampai di depan kelas Atlas. 

"Lagian lu aneh" katanya sebelum akhirnya berlalu dan memasuki kelasnya. Aku menghela nafas kasar, "Inget dia sahabat lu Dirga," gumamku pelan sebelum pada akhirnya aku juga berjalan masuk ke dalam kelas. 

Aku sampai di depan pintu kelas dan langsung menuju ke arah kursi yang biasanya ku tempati. Aku berhenti saat dari ujung mataku aku dapat melihat bayangan Kalina yang sedang menenggelamkan kepalanya diatas meja. Aku langsung berjalan kearah mejanya saat melihat ada Nadira yang juga berjalan kearah meja disebelah Kalina. 

Aku dengan cepat menarik bangku tersebut dan langsung duduk disitu. Akhirnya, Nadira pun langsung berbalik arah dan pergi mencari bangku kosong yang lain. Aku hanya tersenyum kecil penuh kemenangan. Sampai akhirnya aku sadar bahwa Kalina sedang memandangku dengan tatapan aneh. 

Aku menatapnya balik, "Kenapa muka lo kayak gitu, Jelek woi!" kataku dengan nada meledek. Dia pun langsung menatapku dengan tajam yang sejujurnya menurutku menyeramkan. 

"Ngapain?" Tanyanya dengan muka datar andalannya. 

Aku langsung menatapnya dang mengisyaratkan bahwa aku sedang duduk. "Ya lagi duduk lah?" Ujar ku.

Dia langsung menunjuk kursi kosong yang biasanya aku tempati, "Sana, gue gak mau lo duduk disini." Katanya tegas. 

"Lo lupa, we agreed on it" Kataku dengan percaya diri. Teman-teman sekelas mulai melihat kearah kami dan seperti biasa mereka selalu berbisik-bisik. Jujur kadang mereka kira kami tidak dapat mendengarnya padahal suara mereka itu bisa dibilang lumayan keras. Bodoh? ya jangan ditanya lagi. Tapi aku yakin bukan hanya mereka yang pernah melakukannya aku yakin salah satu dari kalian juga pernah melakukannya bukan?

Kemudian Kalina langsung berkata dengan tegas, "Gue butuh waktu sendiri Alvarendra, please. Lagi pula gue belum bilang apa-apa loh Alvarendra."

Mungkin sampai sekarang banyak dari kalian yang seperti Atlas yang mungkin bertanya-tanya kenapa aku bisa melakukan ini semua cuman karena sebuah drama. Jujur, Kalina adalah seorang yang menarik bagiku diantara banyaknya orang yang memanggilku Dirga dia memanggilku Alvarendra. 

Dan perlu kalian ketahui bahwa yang berani memanggilku Alvarendra hanyalah orang-orang terdekatku. Alasannya? karena Alvarendra adalah panggilan bunda untukku. Nama Alvarendra merupakan nama yang bisa dibilang sentimentil untukku.

Aku sangat mengerti posisinya sekarang dimana dia memerlukan waktu sendiri, tapi dari pengalamanku aku waktu sendiri itu percuma karena nyatanya aku hanya butuh kehadiran seseorang. 

"You said that you need some personal space, tapi biasanya orang-orang kayak lo adalah orang yang paling perlu company orang." Kataku sambil menatapnya lama. 'orang-orang kayak lo' aku sebenarnya ingin rasanya mengatakan 'orang-orang kayak kita' tapi aku akan menyimpan cerita itu untuk lain waktu. 

Dan disitu akhirnya dia terdiam dan akhirnya terlihat mulai menerima kehadiranku yang duduk tepat disebelahnya. Sepanjang hari itu, tidak ada yang membuka pembicaraan diantara kami. Saat bel pulang akhirnya berbunyi dengan nyaringnya, semua orang mulai membereskan barang-barang dari atas meja. Begitupun dengan Kalina yang sekarang sedang merapikan barang-barangnya. Aku yang sudah selesai langsung berdiri. Aku menepuk bahunya pelan yang kemudian membuat Kalina menoleh kearahku dengan tatapan bingung. 

"Jangan lupa, hari ini ada pertemuan pertama di ruang teater, gue duluan ya mau nyari orang dulu." Ucapku. Kalina langsung menganggukan kepalanya mengerti yang membuatku langsung keluar dari kelas dan mencari Bu Dita yang merupakan guru pembimbing kami. 

Aku langsung menuju kearah ruang guru. Saat sampai disana aku melihat Marko yang merupakan salah satu anggota klub drama yang sedang berbicara dengan Bu DIta. Aku tersenyum kecil padanya dan kepada Bu Dita. 

"Eh ada dirga, yaudah bu saya duluan ke ruang teater ya bu." kata Marko yang langsung berlalu saat di iyakan oleh Bu Dita. 

"Bu Dita, soal audisinya nanti gimana?" Tanyaku kepada Bu Dita. Bu Dita langsung berpikir sebentar sebelum akhirnya menjawab, "Nanti saja saya bahas langsung, oh iya scriptnya udah di print?" tanyanya. 

Aku langsung mengesampingkan tasku dan langsung meraih script drama yang sudah aku print kemarin. Aku langsung menyerahkan tumpukan kertas yang sudah dijadikan satu kepadanya. "Ini bu" kataku kepadanya.

"Makasih loh nak, yaudah ayo ke ruang teater" katanya yang kemudian langsung berjalan ke arah ruang teater. Aku langsung mengekorinya dari belakang. Saat kami sampai kami langsung membuka pintu yang membuat semua pandangan jatuh kearah kami. 

Akhirnya Bu Dita langsung mengawali pertemuan pertama itu. Selama pertemuan itu sesekali aku melihat kearah Kalina yang menyimak dengan serius namun juga sesekali suka mengalihkan pandangannya kearah yang jendela. Entah apa yang ia liat. 

Hingga saat pembagian peran perhatian dia langsung teralihkan kembali ke Bu Dita. Saat di umumkan bahwa pemeran utama akan diisi olehnya raut wajah nya berubah menjadi khawatir. Ia hanya tersenyum kecil saat semua menatap kearahnya yang membuatku terheran-heran sebetulnya. Bahkan saat Bu Dita mengakhiri pertemuan tersebut mataku masih memperhatikannya. Aku dengan cepat langsung mengambil tasku dan menunggunya di samping pintu di luar. 

Aku sadar salah satu kebiasaan uniknya lagi, Ia selalu memilih untuk keluar paling terakhir. Hal itu menyadarkanku bahwa dia tidak suka menjadi pusat perhatian. Saat aku melihatnya keluar aku langsung menyapanya, 

"Lama banget di dalem, ngapain emangnya?" tanya ku kepadanya. Ia pun mendongkakkan kepalanya untuk melihatku. Akupun menundukkan kepalaku sedikit untuk menatapnya. 

"Bukan masalah buat lo, Alvarendra" Balasnya. Alvarendra, namaku terdengar lebih menarik apabila dia yang mengucapkannya. Setelah membalasku dia langsung berjalan kearah gerbang sekolah. 

Aku menahannya dengan menahan pergelangan tangannya. "Okay, tapi pertanyaan kemaren belum dijawab" Kataku pelan yang membuat dia membalikkan badannya untuk menghadap kearahku. 

"Besok, gue janji" Katanya sebelum akhirnya melepaskan genggamanku di pergelangan tangannya dan berlalu pergi. 

Aku menatap figurnya yang perlahan berjalan menjauh. Bisa dikatakan bahwa figur yang berjalan menjauhiku adalah orang yang unik yang membuatku selalu penasaran. Tapi rasa penasaran itu juga membuatku takut bahwa suatu hari rasa penasaranku yang tinggi ini bisa menjadi pengacau semuanya. 




scripted.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang