[1]

19 4 3
                                    

[scripted. | 1 ]

Siang itu hujan menghampiri dengan derasnya. Hujan yang ditemani awan-awan kelabu serta petir yang diiringi oleh suaranya yang menggelegar. Aku diam menatap pemandangan di depan aku. Aku melihat orang banyak, ada yang asing dan ada juga yang tidak asing.

Sungguh aku benci dengan suasana ini. Suara tangisan terdengar jelas. Isakan demi isakan. Kesedihan menyelimuti siang hari ini beriringan dengan hujan yang menghampiri. Jujur hatiku tidak baik baik saja.

Aku ingin meluapkan kekesalan ku. Di antara hari-hari yang dipilih harus hari ini dan saat ini. Saat waktu hidupnya masih panjang. Sungguh aku marah. aku kecewa. lantas kepada siapa amarah ini akan ku luapkan? kepada Tuhan? Tapi hati kecilku tahu semuanya ini merupakan bagian dari rencana-Nya. Rencana indah-Nya. Tapi mengapa rencana indah-Nya berarti aku harus kehilangan orang yang berharga bagiku? 

Sangat sulit untuk mengikhlaskan ketika hati sangat sulit mengucapkan selamat tinggal.

Hari ini tanggal 1. 

Dimana seharusnya awal bulan membawakan damai sejahtera yang baru karena baru menyelesaikan bulan yang begitu berat. Dan hari dimana aku biasanya merayakan kebahagiaan karena 'akhirnya bulan yang berisi penderitaan karena sekolah selesai' dan hari ini adalah hari dimana seharusnya kami berdoa mengharapkan bahwa semoga bulan yang akan datang akan jauh lebih baik dari bulan sebelumnya.

Dan di tanggal 1 ini aku ditinggalkan. Ditinggalkan oleh sahabat hidupku, saudaraku, kembaranku. Aku? Jangan tanya apabila aku baik baik saja. Lantas, bagaimana aku harus memulai bulan ini? Aku bahkan tidak tahu caranya untuk bernafas saat grafik itu berubah menjadi garis yang panjang disertai dengan suara 'beep' yang panjang.

Senyum yang ku lontarkan dan berikan semuanya hanya sebuah ilusi. Karena pada nyatanya hati ini sangatlah perih. Hatiku terlalu sakit sampai aku tak bisa meneteskan air mata lagi.

Perjuangan kembaran ku melawan musuh terbesarnya selama ia hidup akhirnya selesai. Dan tidak ada yang dapat kulakukan untuk membawanya kembali untuk mendampingi ku.

"Kalina!" Sahut seseorang. Saat aku menolehkan kepalaku kepada orang tersebut.

"Gak kesana? " tanyanya polos sambil menunjuk kearah kerumunan orang yang sedang mengucapkan selamat tinggal. Dia tak menyangka perkataannya sangat menusuk hatiku. Dia mengira bahwa senyumanku adalah senyuman yang tulus nyatanya apa yang kurasakan kontras.

"Maaf," ucapku pelan dan langsung meninggalkan acara. Aku tersenyum kecil padanya tapi aku tahu bahwa dia tahu bahwa aku tidak baik-baik saja.

Hari itu aku langsung kembali ke rumah setelah perbincangan dengan orang itu. Aku memberhentikan langkah ku di depan pintu kamar putih nan bersih itu. Aku memegang gagang pintu itu, aku menarik nafas dan membuka pintu itu secara perlahan. 

Aku secara perlahan melangkah ke dalam kamar yang dulu kita tempati berdua. Semuanya masih sama. Semuanya tersusun rapi. Tempat tidur kami masih ada di tempatnya. Kamar itu kami bagi dua dimana di satu sisi diisi dengan perabotan berwarna putih dan yang satu dengan perabotan berwarna hitam. Aku mulai berjalan keliling kamar tersebut. 

Aku melihat semua pajangan polaroid berbentuk hati yang dulu pernah kita rangkai bersama. Tak sadar senyuman terukir, dan bukan senyuman palsu tapi senyuman tulus. Aku tersenyum melihat koleksi foto-foto tersebut. 

'Dufan 2019 : Lina takut naik rollercoaster'

di kedua foto tersebut ada foto aku dan nina yang tersenyum. Nina tersenyum puas dan aku tersenyum paksa. foto kedua adalah Nina tertawa lepas dan aku yang sedang meringis.

Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunanku. Aku refleks menoleh kearah pintu putih itu.

"Masuk" ucapku pelan.

"Dek.." kakak laki-laki ku masuk, Karlo namanya. Ia duduk di samping ku sambil menundukkan kepalanya. Ia pun menangkup wajahnya di kedua tangannya. Ia kemudian mengusap wajahnya kasar. Tak lama kemudian ia memelukku pelan.

Tanpa sadar tetesan air mulai keluar dari mataku. Aku merasakan kehangatan yang tidak aku rasakan dua minggu terakhir ini. Tangisan ku pecah. Air matanya yang jarang jatuh kini berjatuhan dengan deras, tangisannya pecah. Dan saat itu air mata kami berjatuhan tanpa henti. Kami menangis sambil berpelukan.

"Bang sakit." Kata ku lirih.

"Abang juga dek... gak biasa abang juga gak bisa apa-apa" ucapnya pelan.

Kami melepaskan pelukannya dan menyeka air mata yang sempat berjatuhan dengan bebas. Aku tersenyum pahit kepadanya, aku tahu dia merasakan sakit yang sama.

"Kak kalo Nina ngeliat kita dia udah ketawa kali bang 'halah lemah banget deh kalian masa gitu doang nangis' pasti dia bakal ngomong gitu biar dia keliatan keren padahal ujung-ujungnya dia yang nangis duluan" kataku mencoba menaikkan suasana tapi kemudian air mataku turun secara perlahan.

Karlo tertawa pelan namun, rautnya berubah menjadi serius.

"Dek kita sekarang cuman berdua. Tolong kalau ada apa-apa telfon aku, kabari aku terus walaupun cuman chat. Kita harus saling jaga satu sama lain oke?" Katanya sambil menatapku serius. Aku menatap matanya yang terlihat kosong. Bahkan ekspresinya sendiri kosong yang membuatku sedih. 

"Okay bang, janji." kataku mencoba meyakinkan dia dengan mengaitkan kelingkingku dengan kelingkingnya.

Karlo terkekeh pelan, tapi iyapun tetap mengaitkan kelingkingnya tersebut.

"Just like old times?" Tanya Karlo sambil tersenyum kecil.

"Yeah, like old times." Jawabku pelan sambil tersenyum.

Hari itu sampai saat ini merupakan hari terberat yang pernah ku alami bahkan untuk keluargaku juga. Bahkan sampai sekarang rasa sakit itu masih datang. 

Semenjak itu, keluarga ku jadi menjauh. Ayah dan Ibu menjadi lebih sering bekerja untuk menghilangkan rasa sedih mereka. Abang mulai sibuk dengan urusan kuliah dia dan dia sekarang kuliah di luar kota. Dan aku yang selalu mengatasi kesedihan ini sendiri. 

Setiap kali aku coba untuk menelfon Ibu dan Ayah jawabannya selalu sama.
"I'm on a meeting hun, I'll call you back soon okay?"
"I'm sorry sweetie, Ibu lagi ketemu client nih... lanjut nanti ya"

Dan setiap aku telfon abang, dia selalu gelisah. Matanya yang bersinar sekarang kosong. Dia kacau.
"Hey Bang? Apa kabar? Are u okay?"
"Duh uhh dek abang lagi nugas, I'll call u back?"
"Yeah sure!"

People copes with loss differently. Aku yang 'haus' akan perhatian. Ayah dan Ibu yang selalu mendistraksi diri mereka dari sedihnya perasaan kehilangan. Dan Abang yang selalu mau tampak seperti ia tidak punya beban, ia cenderung menyendiri dan menjauhi diri.

Aku sekarang mengerti. Tapi juga aku kadang suka tidak menyadari bahwa sebenarnya selama ini aku kesepian. Aku yang haus akan perhatian ternyata karena aku kesepian. Sulit untuk sadar sebenarnya. Kosong. Hatiku terasa kosong dan hampa.

scripted.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang