[9]

9 1 1
                                    

[ scripted. | 9 ]

Hari ini adalah hari kedua setelah pertemuan di ruang teater. Hal ini berarti bahwa seharusnya aku memberi jawaban kepada Alvarendra tepat kemarin. Nyatanya Alvarendra tidak hadir di sekolah yang membuatku bisa bernafas lega walaupun itu hanya 2 hari lamanya.

Hari ini juga Bang Altair memutuskan untuk pulang ke rumah dengan alasan, "I want to pay my little sister a visit," katanya di telepon kemarin. Orang tuaku? entah, mungkin mereka masih bekerja. Entah mengapa hari ini aku mendengar suara bising dari arah lantai bawah. Bahkan sepasang earphone yang tersumpal di kedua telingaku tidak membantu suara bising itu redup.

Aku kemudian meletakkan palet catku di meja kecil yang terletak tepat disamping easel kayu yang dipakai untuk menyangga lukisanku. Aku berdiri kemudian membuka pintu dan perlahan menutup pintu kamar di belakangku. Suara bising terdengar dari arah lantai bawah kemudian semakin terdengar. Aku bahkan mendengar gelak tawa, suara bang Altair dan satu suara lagi yang menurutku tidak asing. Aku dengan cepat langsung menuruni anak tangga. Aku langsung menuju kearah dapur yang merupakan sumber suara kebisingan itu di sore hari itu.

"Bang?" Tanyaku saat aku sampai di dapur. Aku membelalakan mataku saat melihat sosok Altair yang sedang memasak ditemani dengan sosok Alvarendra yang sedang duduk di meja sarapan yang berada di tengah-tengah dapur.

Sosok bang Altair memang sudah tidak mengejutkanku. Tetapi yang sama sekali tidak ku percaya adalah kehadiran sosok Alvarendra di dapur rumahku bersama yang tak lain, Altair. Tak lupa bahwa bahkan mereka sampai bercanda dan tertawa bersama.

"Loh? kok Alvarendra ada disini?" Tanyaku ke arah Bang Altair sambil menunjuk kearah Alvarendra.

Altair hanya tertawa pelan, "Jangan tanya abang, tanya langsung sama orangnya" katanya kepadaku sambil menunjuk kearah Alvarendra yang sedang tersenyum.

"Bentar bang, aku mau ngomong sama dia" kataku kepada Abang pelan dan aku langsung berjalan kearah Alvarendra yang sedang duduk dan menarik tangannya pelan ke arah taman belakang. Aku melepaskan tangan ku dan memandangnya, ia terlihat lelah.

"Okay, Lo ngapain disini?" Tanya ku sambil menatap tajam kearah Alvarendra.

Alvarendra tersenyum simpul, yang sejujurnya menurutku aneh. Bagaimana dia bisa tersenyum pada saat aku sedang menatapnya tajam.

"You still haven't answered my question about my offer. You promised yesterday. " Ucapnya yang seketika membuatku teringat tentang 2 hari yang lalu dan pertanyaan yang ia lontarkan dari beberapa hari yang lalu.Sejujurnya, bahkan sampai hari ini pertanyaannya tidak luput dari pikiranku bahkan aku harus mendistraksi diriku dengan melukis dan menulis.

"Ya kan kemarin lo gak masuk kan?" Kataku yang kemudian dengan cepat dia balas, "lo hari ini ngehindarin gue kan? Selama di sekolah lo sama sekali gak mau ngelihat ke arah gue? lo takut apa sih.. lagian it's not like we're actually dating, kenapa lo harus takut?" Katanya yang membuat ku terdiam.

Aku harus mengakui, dia benar. Ini cuman untuk sebuah drama juga, buat apa aku harus takut? Apa yang aku takuti sekarang?

"yaudah" kataku pelan tidak berani untuk menatap manik matanya.

"yaudah apaa?" tanyanya dengan nada meledek. Aku bisa melihatnya tersenyum dari ujung mataku.

Aku menatap kearahnya, "Iya, gue terima ajakan lo" kataku yang kemudian dibalas dengan senyuman hangat dari Alvarendra. Tapi yang masih ku tak bisa pungkiri adalah manik matanya yang redup walaupun bibirnya membentuk sebuah senyuman.

"Okay good, karena kalau gitu sia-sia gue booking ini," katanya sambil merongoh kantung celananya yang ternyata tersimpan dua buah tiket untuk film baru yang ada di bioskop. Aku hanya bisa menatapnya dengan tatapan tidak percaya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 04, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

scripted.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang