"Lo yang buka pintunya pelan-pelan, liat situasi koridor baru gue lari kalo udah aman."
"Gimana kalo pas gue buka pintunya Bu Ainun masih ada di luar?"
"Ya bilang aja lo denger tadi dia buka pintu, lo lagi di kamar mandi."
Gue mendengus. Dengan tangan tremor gue meraih gagang pintu, menggerakkannya perlahan dan mengintip ke luar—sebisa mungkin gue hanya mengeluarkan sebagian kecil kepala gue supaya gak terlalu terlihat.
Situasi koridor sepi, lampu semua menyala dan gak ada yang berkeliling patroli.
"Aman," bisik gue, mengangguk yakin.
"Oke," Kak Jeff menarik napas dalam-dalam, "Daaah, Jul. Makan ya jagungnya."
Gue memutar mata saat dia masih sempat-sempatnya tertawa sebelum menyelinap keluar, berjalan membungkuk sampai akhirnya dia bersembunyi di balik pilar, melambaikan tangannya ke arah gue memberi gestur untuk menutup pintunya.
Fiuh.
***
Gue menghindari setiap kesempatan gue bisa bertemu Bu Ainun ketika gue pergi dan pulang kuliah. Gue gak ke mana-mana, hanya mampir ke koperasi di lobi untuk beli sticky notes. Di balik pintu yang tertutup, gue merasa berdebar teringat kembali kejadian semalam yang nyaris membuat gue trauma.
Kak Jeff sinting.
Tapi perlu gue apresiasi ketangkasannya mengatasi masalah itu tanpa menimbulkan masalah yang bisa mem-blow up persembunyian tolol di balik pintu. Saat itu gue sungguh panik sampai rasanya otak gue gak bisa berfungsi dengan benar, napas aja gak bener—tanpa dibekap pun gue udah trouble breathing. Mungkin kalau dia dan gue sama-sama gak tau harus gimana, saat ini gue akan sibuk packing untuk minggat ke kosan lain yang bahkan belum sempat gue survey.
Sumpah, gue trauma.
Gue udah pernah denger cerita kating di sela-sela ospek bahwa mitosnya akan selalu ada mahasiswa yang ditendang keluar dari asrama setiap tahunnya karena kepergok berduaan di kamar lawan jenis. Setiap gedung asrama akan memiliki korban secara bergantian, dan gue sangat tidak mau jadi orang yang membuktikan sekali lagi bahwa mitos itu bisa aja benar adanya.
Dan kejadian semalam, cukup gue dan Kak Jeff aja yang boleh tau.
Tapi bayangan gue dibekap dari belakang dan nyaris gak ada jarak di antara gue dan dia terus berputar di kepala gue setiap kali gue berusaha melupakannya. Bener apa kata orang, kalau lo berusaha melupakan sesuatu, justru yang akan terjadi adalah hal sebaliknya.
Gue nyaris bisa mendengar degup jantungnya saking deketnya. Dan embusan napas tertahan di dekat kepala gue—semakin mengacaukan sistem tubuh gue.
Gue tersentak sendiri di tempat tidur mendengar pintu kamar diketuk, siapa yang akan datang ke sini mengetuk pintu? Sejauh ini belum ada temen Tania ataupun temen gue tau kamar kita di mana.
Dengan gugup gue membukakan pintunya, merapalkan seribu mantra berharap yang berdiri di hadapan gue bukanlah Bu Ainun atau sekadar Kak Jeff dengan senyum bodohnya.
Seorang laki-laki.
"Ini kamarnya Tania Caesarina, kan?"
Dia menunjuk papan nama yang ditempel di dinding luar sebelah kusen pintu, tertera nama lengkap gue dan Tania. Gue mengangguk bingung. "Iya. Tapi Tania belum pulang."
"Oh," ekspresinya lantas berubah bingung saat menyadari sesuatu, "Belum pulang dari tadi? Gak...gak dateng ke sini sebentar terus pergi lagi?"
"Enggak."
KAMU SEDANG MEMBACA
PARTNER IN CRIME
FanfictionSesuatu akan terjadi ketika lo melanggar jam malam di asrama. © 2019