Puncak acaranya baru dimulai jam setengah sepuluh. Gue diem aja begitu tau dari nguping pembicaraan orang karena gak enak buat ngajak Kak Jeff pulang. Dia juga bakal bilang kalo emang sengaja pulang di atas jam malam.
Setidaknya, dia terlihat lebih baik saat gue ajak ke bagian kuliner.
"Tuh, kesukaan lo," gue menunjuk tukang jagung bakar dari kejauhan. Dia tersenyum kecil. "Pengen yang manis."
"Ah, lagi bete ya? Makan manis emang enak kalo lagi bete."
Dia menatap gue balik. "Lo makan yang manis terus walaupun lagi gak bete."
"Soalnya enak?" gue ketawa. "Ayo beli minum aja dulu."
Kak Jeff menjatuhkan pilihannya ke stand bubble tea setelah cukup lama berjalan mencari jajanan. Gue pesan yang standar aja, classic favorite, chocolate bubble tea. Sementara dia pilih milk bubble tea dengan alasan mencari yang kadar gulanya paling banyak supaya dia lebih cepat juga baikan.
Aneh, tapi bener juga.
"Gue mau tanya sesuatu."
"Boleh," gue mengangguk, "Tapi jangan yang serius-serius."
"Kalau gue jujur ke nyokap gue seperti yang dia suruh, apa yang bakal gue dapet dari lo?"
Gue berpikir sejenak. Kak Jeff enggan memalingkan pandangannya dari gue meski gue gak menatapnya balik selagi berpikir, gak nyaman. "Lo bakal denger hal baik dari gue."
"Apa, satu-satunya omongan baik tentang lo dari nyokap gue?"
Gue ketawa hambar, hampir keselek. "Ya. Satu-satunya," gue menekankan kata itu. "Serius kok. Lo tanya aja apa yang nyokap lo mau, tapi lo harus jawab dengan jujur. Soalnya dia bilang gak mau denger kebohongan lo lagi."
"Gue bohongin dia apa aja sih, perasaan cuma sekali."
"Ya gak tau. Lo omongin berdua aja."
"Tentang gue? Tentang Bia?"
"Tentang lo. Lo dan hal yang disembunyikan dari nyokap lo."
Kak Jeff berpikir keras. Kerutan di kening dan raut gelisahnya gak hilang sampai beberapa menit ke depan. Di jembatan yang menghubungkan dua jalan itu langkahnya berhenti, matanya tertuju ke suatu titik di kejauhan, masih berpikir.
"Kenapa?" tanya gue.
"Enggak. Kenapa sih lo gak mau kasih tau gue dulu hal baiknya apa? Gue kepikiran terus takut gue salah ngomong."
"Gak bisa gue kasih tau..." sahut gue pelan. "Kalo gue kasih tau sekarang, jawaban lo bisa aja berubah. Bisa aja lo bohong lagi."
"Astaga, apa nggak tau gue gak bisa bohong orangnya."
"Bisa. Buktinya nyokap lo tau lo ngebohongin dia."
Dia berdecak.
"Lagian Kak, cuma hal kecil kok-"
"Ya kenapa lo gak mau kasih tau gue sekarang kalo itu hal kecil?"
"Yang harus lo jawab yang hal besar." balas gue cepat. Memotong semua argumen yang bakal terjadi.
Tentu aja. Mengakui perasaannya adalah hal yang besar.
Meski bisa dinyatakan dengan mudah, ya atau tidak. Suka sama gue, atau enggak.
"Kasih gue clue." ucapnya bersikukuh.
"Perasaan lo."
"Ah, gue tau..."
Gue menoleh cepat, gak percaya sama apa yang baru dia bilang. Apa clue gue terlalu obvious? Ah, bego. Tau gitu gue gak perlu kasih tau...
"Gue tau," cengirnya. Semua kegelisahannya menguap.
KAMU SEDANG MEMBACA
PARTNER IN CRIME
Fiksi PenggemarSesuatu akan terjadi ketika lo melanggar jam malam di asrama. © 2019