[16] hai

2.8K 448 66
                                    

"Hai, Jul."

Gue spontan ketawa mendengar sapaannya yang kaku seperti robot. Disusul sebuah cengiran bodoh yang membuat dia terlihat bukan manusia. "Kenapa sih Kak," sahut gue, "Pasti ada maunya."

Dia lantas duduk di sebelah gue, menawarkan bakso bakar yang dibelinya. "Gue takut lo masih gak mau ngomong sama gue, jadi gue sapa dulu. Kalo sapaan gue aja gak dibales, ya berarti ngomong juga gak akan didengerin."

"Didengerin, tapi gak mau komen apa-apa."

"Oh, yaudah. Lo mau gue pergi?"

Gue diam.

Mengetes apakah dia beneran pergi kalo gue diam yang pasti dia pahami sebagai persetujuan.

Tapi dia tetap duduk di sebelah gue, memakan bakso bakar sambil menatap ke kejauhan.

"Cowok yang waktu itu lo bilang cinta pertama lo,"

Sial.

"beda jauh gak sama gue?"

"Beda jauh gimana?" tanya gue, berusaha tetap santai.

"Ya gitu..." Kak Jeff menghela napas berat, enggan menatap gue, "Gue kan orangnya gak waras. Siapa tau dia justru kayak John, isengnya kalo lagi kumat aja."

"Emang kenapa?"

"Can't you just answer it without questioning me further?"

Gue menganggukkan kepala sambil mencoba untuk gak tersenyum terlalu lebar. Telinganya udah menunjukkan tanda-tanda.

"Kayak Kak John sih."

"Oh."

"Tapi—"

"Yaudah sih, gapapa kok, nanya doang."

"—sekarang udah enggak."

Kak Jeff menoleh. "Enggak gimana?"

"Udah enggak suka."

"Oh."

"Itu kan yang mau lo denger?"

Dia ketawa hambar, menundukkan pandangannya. Satu hal yang gue pelajari dari dia adalah kalau dia malu, telinganya akan memerah dan melihat ke arah lain. Dan sekarang pun gue berhasil membuktikan kalau itu benar.

"Hahaha. Iya, iya, serah lo aja."

***

"Ayo, lo bisa nggak?"

Ini, yang waktu itu pernah dibicarakan dia waktu gue lagi ngambek.

Tanding basket sama dia langsung di lapangan, bukan di Timezone.

Gue hanya men-dribble bolanya sambil mengulur-ulur waktu. Tentu aja dengan gue melakukan ini dia pasti paham kalo gue gak bisa. Dari fisik aja udah jelas gue kalah, dia bakal lebih mudah masukin bolanya ke ring, bakal lebih mudah menjauhkan bolanya dari jangkauan gue.

"Gak bisa ah," gue bersuara pada akhirnya. Dia mengerucutkan bibir, meminta bolanya gue lempar ke arah dia. Dia menangkapnya dengan tepat. "Yaudah, gue mau main sendiri aja."

"Gak asik dong sendiri mah?"

Bersamaan dengan berakhirnya kalimat gue, bola itu dengan mulusnya memantul ke lapangan setelah masuk ke dalam ring. Gue pikir dia akan berbalik dan tersenyum sombong, tapi ternyata enggak, dia menikmati permainan solonya itu.

Mungkin bagi yang suka, main basket sendirian itu tetep aja seru. Sering juga gue liat di SMA, cowok main basket sendirian di lapangan sampai keringetan seolah dia main sama banyak orang. Begitupun dia sekarang, bolak-balik masukin bola ke ring, diambil lagi, dribble lagi, nyobain teknik yang lain.

PARTNER IN CRIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang