Ternyata, gue masih sempat pulang sebelum jam sembilan. Gue menginjak bagian belakang flat shoes gue sejak Tante Ana menjauh dari jangkauan pandang gue, pulang bersama asistennya yang sedari tadi mengikuti tanpa disadari. Untung gue gak salah paham mengira dia sebagai penguntit dan membuat diri gue semakin terlihat bodoh di depan Tante Ana.
Kaki gue perih. Gue butuh plester.
Dan betapa sialnya gue mendengar jawaban bapak kios di lobi kalau plesternya belum beli lagi sejak minggu kemarin. Gue mendesah kecewa, masih harus jalan menuju lantai empat sembari merusak sepatu yang baru gue beli.
Seperti yang udah gue duga, Tania langsung menyambar gue dengan pertanyaan Gimana? Baik-baik aja? begitu gue buka pintu.
Gue masih mengatup mulut rapat-rapat, berniat mengumpulkan semua pikiran gue dulu atas apa yang terjadi barusan. Semuanya. Setiap perkataan Tante Ana dan jawaban-jawaban gue yang kadang sangat seadanya.
Baru gue bisa simpulkan apakah baik-baik aja atau enggak.
"Tan, punya plester?"
"Ada. Di laci, ambil aja."
Gue membawanya ke tempat tidur dan memasangkannya di kedua bagian yang perih. Tania memperhatikan gue dengan mata yang bertanya-tanya, tapi gue masih ingin diam. Gue hanya balas tersenyum, menghindari pandangannya, "Gue gak akan nangis lagi kok."
"Oke, berarti baik-baik aja—"
"Belum tentu."
"Kok bisa?"
"Siapa tau abis ini gue kepikiran, baru deh sadar kalo itu tuh mengisyaratkan hal yang lain."
Tania terdiam sejenak. "Tapi menurut gue enggak deh, Jul. Kak John bilang ibunya tipe orang yang frontal—kecuali...ya...sengaja menjaga ucapannya."
"Tau deh," gue bangkit dari tempat tidur, hendak ke kamar mandi, "Masih gue pikirin."
Tante Ana, menurut gue, justru orang yang sangat hati-hati sama setiap kata yang terucap dari mulutnya. Entah dia emang ngejaga ucapannya di depan gue seperti yang Tania bilang, tapi menurut gue seperti itu. Pemilihan katanya selalu tepat sasaran seolah udah terstruktur sejak awal.
Tentang Kak Jeff, Kak John, hingga Bia, beliau ceritain secara berkesinambungan selama menjelajahi satu per satu toko yang menarik, membeli beberapa barang yang diinginkannya. Gue hanya mengikuti sambil mendengarkan, sesekali merespon tanpa arti.
"Waktu Jeff berantem sama John, Tante takut John bakal pergi. Baru kali itu mereka berantem sampai benar-benar serius. Tapi untung John anaknya enggak gegabah, jadi...dia masih bisa berpikir dengan benar."
Ya, Tante. Kalo Kak Jeff yang ada di posisinya, dia pasti bakal kabur begitu aja.
"Kamu tau ceritanya kan, Julia? Jeff pasti cerita ke kamu."
"Iya, udah Tante."
"Mereka sempet gak mau bicara sama siapa-siapa habis itu," Tante Ana menggelengkan kepalanya mengingat kejadian itu, "Kacau banget. Guru BK-nya sampai berkali-kali dateng ke rumah nanyain apakah mereka udah baikan atau belum."
"Tapi Kak John udah minta maaf di rumah sakit kok..."
"Oh ya? Tante malah gak tau."
Pembahasannya mulai beralih kepada Bia. Jantung gue mulai berdebar gak karuan, dalam hati udah siap mental kalau gue bakal dibandingin habis-habisan. Di atas eskalator yang berjalan ke atas itu Tante Ana pun melanjutkan, "Bia anaknya manis banget. Sejak awal ketemu, responnya selalu bagus—"
Iya, gak kayak saya, Tante.
"—tapi sejak awal juga Jeff keliatan kurang suka sama dia."
Haha.
KAMU SEDANG MEMBACA
PARTNER IN CRIME
FanfictionSesuatu akan terjadi ketika lo melanggar jam malam di asrama. © 2019