[12] sidak

2.8K 458 37
                                    

Gue heran, baru kali ini gue gak tergoda melihat chiller es krim. Bahkan seandainya di hadapan gue ada koleksi es krim baru, kayaknya gue tetep gak akan mengambilnya. Gue cuma terdiam memindai satu per satu makanan penutup kesukaan gue itu dengan tatapan kosong, lalu menghela napas panjang, menoleh ke arah Kak Jeff yang menunggu gue memilih.

"Lagi males ah."

"O-oh, oke."

Kita dengan gak tau malunya berjalan keluar dari minimarket tanpa beli apapun.

"Sekarang mau k—"

"Pulang aja deh yuk."

Gue melangkah duluan meninggalkan Kak Jeff yang masih mencerna apa yang barusan gue bilang. Dia gak mengucapkan sepatah katapun selama mengikuti gue kembali ke asrama. Tapi perasaan gak enak gue semakin memuncak, membuat gue berhenti secara tiba-tiba dan berbalik badan menghadapnya yang terkejut atas hal itu.

"Lo...gak usah anter gue sampe kamar, Kak," gue bergumam, menghindari tatapan matanya. "Gue lagi gak enak nutup pintu buat lo hari ini."

"Okay," balasannya itu terucap bahkan sebelum gue sempat berkedip. Ketika gue meliriknya, yang terpancar dari matanya hanya satu keraguan: apakah gue benar-benar yakin dengan alasan itu dan justru bukan hal yang lain.

Karena dia pun tau gue gak bisa bohong.

Gue pun menarik napas pendek sebelum mencoba tersenyum, melambaikan tangan gue kaku. "Daaah."

Langkah gue berlanjut sendirian.

Mendengarkan derap langkah gue di koridor yang masih sepi.

Lalu gue masuk kamar.

Menyadari kalau gue baru bisa ketemu orang tua gue lagi, semester depan.

***

Kapan terakhir kali gue keluar malem sendirian?

Sebulan yang lalu? Mungkin lebih. Pertemuan pertama gue sama seorang ahli dalam cabut di atas jam malam, yang kemudian akan selalu mengajak gue melakukannya lagi.

Gue baru menemukan hasrat memakan es krim di malam hari pukul delapan. Mengembuskan napas lega karena gue gak ketemu Bu Ainun di lobi, melanjutkan langkah gue dengan tenang. Menikmati semilir angin malam.

Gue udah lupa apa yang dulu gue lakukan saat gue kangen rumah. Yang gue inget hanya gue gak pernah nangis gara-gara itu. Gue baru pernah nangis satu kali di asrama gara-gara nonton film sedih bareng Tania. Udah cukup, gue gak mau nonton lagi Miracle in Cell No. 7.

Beruntung yang jaga di kasirnya udah ganti sama yang tadi siang, karena gue bakal malu kalo balik lagi ke sini tapi barusan gue gak beli apa-apa dan cuma ngelamun di depan kulkas es krim.

Gue tanpa banyak mikir langsung ambil dua macam es krim andalan gue. Cokelat dua-duanya dan gue gak masalah sama urusan terlalu manis. Bagi gue masih fine-fine aja.

Baru aja gue meletakkan es krimnya di meja kasir, salah satu es krim itu diambil oleh orang yang baru dateng dan berdiri di sebelah gue—menyerobot antrian.

Gue udah siap protes tapi begitu mendengar suaranya, gue diam.

"Yang ini saya ambil."

Gue hanya bisa memejamkan mata mencoba tenang, menelan kembali omelan yang hendak gue sembur barusan.

"Kenapa sih lo gak ambil yang baru aja?" tanya gue, membelakangi dia yang baru aja keluar dari minimarket dengan es krim cokelat milik gue yang diambil alih.

"Lo inget terakhir kali lo makan es banyak-banyak jam segini?"

Gue diam. Menggigit es krim gue dengan cuek.

PARTNER IN CRIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang