[7] jumpscare

3.9K 543 71
                                    

"Nggak. Jangan DDR,"

Gue mengajak dia beralih dari permainan yang langsung terlihat begitu melangkah masuk ke dalam Timezone. Terdengar beberapa kali dia tanya kenapa, yang kemudian terpaksa gue jawab meski sebenernya gue malu, "Gue kalah mulu."

"Jadi lo mau main yang bikin lo menang terus? Fine."

"Iya dong. Buat apa beli tiketnya tapi gue kalah?"

Gue lantas berhenti di depan Maximum Tune--permainan balap mobil yang selalu berhasil memenangkan gue dari siapapun yang gue ajak balapan. Kak Jeff tersenyum meremehkan gue dan langsung mendudukkan diri di kursinya, memulai permainan multiplayer.

"Harus menang dari lo atau harus posisi pertama baru lo mengakui gue menang?" tanya gue tanpa mengalihkan pandangan gue dari layar. Kepercayaan diri gue berkobar.

Pesaing gue di sebelah gak menjawab, membiarkan dirinya larut dalam permainan ketika permainan dimulai.

Gue pikir, selama gue main MT sama temen-temen gue dulu, nubruk-nubruk orang supaya gak menghalangi jalan gue adalah strategi licik gue untuk menang. Tapi ternyata pesaing gue sekarang pun berpikiran hal yang sama, beberapa kali menyerempet mobil gue supaya menyingkir dari jalannya. Gue yang gak terima menancap gas dan kabur dari dekat dia sebelum semakin damage dan kalah.

Sialnya, bersin harus datang ketika gue ditubruk lagi dari belakang oleh mobilnya Kak Jeff.

"Ah! Gak bener nih--" bersin lagi. "Kak Jeff! Sabar dong, pembalapnya lagi sakit nih?!"

"Mana boleh pembalap sakit masuk sirkuit?"

Mobilnya berhenti menganiaya mobil gue, tapi gue gak sempat membalasnya dan dia pun menang--tulisan YOU LOSE terpampang besar-besar di layar gue. Sialan.

"Lagi gak, Jul?"

"Gak," gue bangkit, jengkel.

"Ayo dong, gue kalah-kalahin deh biar lo menang. Jul!"

Gue gak mendengar. Gue sibuk mencari permainan yang sekiranya bisa membuat gue senang.

Street Basketball adalah andalan kedua gue, tapi gue tau si kating itu pasti bisa mengalahkan skor gue dengan mudah--dengan posturnya yang tinggi, otomatis lebih dekat ke ring. Tapi bodo amat, rasa gak mau kalah itu justru membakar semangat gue untuk mencetak skor sebanyak-banyaknya.

"Lo bisa main basket di lapang beneran gak?" tanya Kak Jeff, berdiri di samping gue memperhatikan bola-bola menggelinding bersamaan menghampiri gue. "Kalo lo bisa, ayo main sama gue kapan-kapan di asrama."

"Oh, lo nantangin gue?"

Senyum sombong mengembang di wajah gue saat bola lemparan pertama gue masuk.

"Biasanya gak semua yang jago di sini jago basket beneran. Soalnya di sini, lo cuma harus masukin bola ke ring. Sementara di lapangan asli, lo harus menghindari musuh dulu."

"Bisa aja," gue menyahut tanpa menoleh. "Tapi gue gak mau main sama lo."

Dia ketawa. "Kenapa?" Tangannya membantu gue menyingkirkan rambut gue yang menghalangi pandangan gue, menyelipkannya ke belakang telinga gue. "Takut kalah?"

"Shut up," desis gue.

Permainan itu berakhir dengan gue mencetak 64 skor. Tiket yang gue dapat bisa gue tuker jadi....sesuatu yang pasti gak berguna. Paling cuma dapet serutan pensil bentuk kelinci yang sangat, ugh, menggelikan buat gue.

"Kak," gue menjatuhkan pandangan gue kepada sebuah kotak kaca berisi barang random yang memiliki jepitan menggantung di atasnya bagaikan laba-laba. "Gue pernah berhasil main ini. Lo bisa gak?"

PARTNER IN CRIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang