Tiga

32 23 0
                                    

REYSA sudah rapi dan siap pergi sekolah. Reysa juga sudah memberitahu Roby dan Mariana kalau dia akan berangkat ke sekolah bersama dengan Reyhan. Reysa duduk manis di kursi tamu sambil terus melihat ke pintu kamar Reyhan, berharap Reyhan secepatnya keluar dari kamar. Akhirnya yang ditunggu muncul.

"Harus gue yang mengantar lo ke sekolah?" Reyhan masih memastikan. "Daripada lo enggak ada kerjaan di rumah, lebih baik lo antar-jemput gue ke sekolah, bermanfaat bukan?" jelas Reysa.

"Gue jadi supir ceritanya?" Reyhan merapikan baju kemejanya. "Lo yang merasa ya, gue enggak bilang begitu." Reysa berjalan keluar rumah.

"Kalau enggak lo sekolah di sekolah gue aja, gimana?" tawar Reysa. Reyhan menggeleng. "Kenapa? sekolah gue bagus, banyak juga ekstrakurikulernya." Reyhan sepertinya punya hobby diam tak menjawab orang lain.

Karena jarak rumah dan sekolah Reysa tidak terrlalu jauh, jadi mereka tidak terlalu berbicara, belum lagi Reyhan yang hobby diam menghiraukan semua perkataan kakak-nya. Sesampai di parkiran sekolah, Reysa turun sementara Reyhan tetap di dalam mobil tidak memperlihatkan batang hidungnya dan untuk sekedar melihat suasana sekolah Reysa yang terkenal terfavorit di Jakarta. Melihat adiknya tidak ada tanda-tanda akan turun, Reysa kembali membuka pintu "Thanks, jemput gue nanti pukul 15.00 wib." Tanpa basa basi lagi

"Siap bos."

Sebelum Reyhan meninggalkan sekolah Reysa, dia melihat pemandangan yang membuatnya mengepal tangan.

Seorang anak yang melawan seorang guru yang berusaha melarangnya lewat dari gerbang sekolah sebelum memasukkan baju. Peristiwa itu mengajaknya kembali kemasa lalu. Sebulan yang lalu mungkin dia yang selalu berada di depan gerbang sekolah itu. berusaha melama-lamakan waktu agar habis waktu belajarnya di gerbang sekolah mendapatkan hukuman dari pak Heri.

Terlihat jelas siswa tersebut tidak ada niat untuk memasukkan bajunya. Reyhan juga seorang siswa yang sering mengeluarkan baju, karena menurutnya memasukkan baju mengurangi percaya dirinya. Tetapi dia tidak pernah membentak atau pun melawan perintah guru itu. Prinsipnya laksanakan perintah guru, kemudian melanggarnya lagi.

Berbeda dengan siswa itu, sedikitpun tidak ada terlihat ekspresi ramah dari wajahnya, yang terrlihat di wajahnya ekspresi angkuh, sombong, merasa memiliki segalanya. "Ah sudahlah." Reyhan mengalihkan pandangannya.

Butuh lima belas menit di perjalanan, Reyhan sudah tiba di rumah. Roby dan Mariana sudah pulang seminar dari luar kota. "Sehat sayang?" Peluk langsung Mariana ketika melihat anak laki-lakinya muncul dari belakang pintu. "Sehat ma." Jawabnya cuek. "Makan tiga kali sehari Reyhan nak, selama mama di luar kota." Mariana sangat menyayangi anak-anaknya.

"Mama tenang aja."

Reyhan jelas melihat kekhawatiran itu di pupil Mariana. "Mama terlihat lelah, mama istirahat ya." Ucap Reyhan yang jarang sekali memperlihatkan perhatiannya. Kalimat itu membuat air-mata Mariana menetes di pagi ini. Terharu, anak laki-laki yang sudah menginjak umur enam belas tahun itu akhirnya sedikit menghawatirkannya walaupun itu cara Reyhan agar tidak berlama-lama dengannya. Rasa lelah Mariana hilang seketika mendengar kata-kata Reyhan. "Mama selalu semangat demi kalian sayang."

"Mama istirahat ya." Tanpa menunggu jawaban dari ibunya, dia sudah berjalan menuju kamarnya.

Mariana masih berdiri kaku di tempat semula, berulang kali masih terdengar kalimat Reyhan di telinganya. "Terima kasih Tuhan, sedikit demi sedikit anakku telah kembali." Empat tahun lalu baginya kalimat itu sudah makanan sehari-hari. Reyhan sangat menyayanginya, memperhatikannya dalam segala apapun bahkan ketika bersalah paham dengan Roby. Reyhan selalu membela bundanya, menangis agar perdebatan itu selesai.

RnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang