"Ini pasti bukan lagi dunia manusia," batin Emely. Kelopak mata tanpa naungan alis itu bergerak perlahan, sengatan rasa sakit ikut merambat apa lagi ketika dia mulai membuka netra. Jilatan lidah api pasti sudah menghanguskan raganya. Suara cemooh, hujatan dari keluarga Marvin melalang buana di kepala, sontak sesak mengenyak dada.
Kegelapan serta bekunya udara memperkuat dugaan Emely, dia bukan lagi manusia. Tidak pernah menyangka tragisnya cara dia meninggalkan bumi. Penyesalan mengumbar di dada, andai dia bisa membela dirinya, andai kakinya bisa berlari lebih cepat, andai tubuh gemuknya mampu menggagalkan semua rencana itu ... semua hanya pengandaian.
Marvin, apakah dia merasa kehilangan? Bagaimana nasib pernikahan mereka? Bagaimana nasib keluarganya? Mereka pasti tengah berduka. Mungkinkah tunangannya itu mencemasnya, menangisinya seperti saat mendadak Emely masuk rumah sakit karena keracunan makanan? Memori itu membangkitkan kerinduan tak tertahan, penuh keluar dari bejana hatinya.
Suara benturan sepatu bersol bata dengan lantai kayu mengisi udara. Tubuh Emely tersentak, saat ini baru dia merasakan kehangatan di area punggung. Derit pintu membuka menyusul setelahnya, masih dengan langkah kaki yang sama kian dekat. Satu kedipan warna ruangan berbeda. Terbosan cahaya menyerang pupil Emely, ia harus mengerjap beberapa kali, sebelum menutupnya dengan sangat rapat, takut melihat siapa gerangan yang datang, belum lagi aroma yang sangat dibencinya terendus. Rokok. Bagi Emely, pria perokok bukan pria yang baik.
Langkah kaki itu kini menepi di sisinya, pikiran Emely makin terganggu, napasnya tertahan agar tidak ketahuan jemarinya bergetar ketakutan. Sentuhan dingin menyentuh bibir bawahnya, terus menjalar hingga ke pipi kanan.
"Buka matamu, jangan pikir aku tidak tahu kau sudah tersadar." Suara dingin bariton menghunjam pendengaran Emely.
Jemari tangan di balik selimut terkepal. Emely bersumpah tidak akan membuka matanya hingga pria itu menjauh. Pernyataan itu lengser sesaat, embusan napas hangat begitu dekat dengan wajahnya.
Kaca mata hitam menjadi pemandangan yang ditangkap mata Emely begitu terbuka. Nyaris tidak ada jarak di sana, namun dengan cepat pria berambut hitam legam itu menjauhkan diri.
"Aku kira usaha kami akan sia-sia." kata pria jangkung itu.
Dari sudut matanya, Emely melihat pria dalam balutan baju wol hitam itu membumbungkan asap rokok ke udara, lalu setelah berpaling kembali pada Emely, dia mematikan rokoknya cepat.Mata Emely menangkap langit-langit kamar di atas kepalanya, tinggi, dengan rupa bak langit biru di tengah musim panas. Tiang infus tertancap pada sisi lain, nyaris merapat ke dinding.
Mulutnya mulai bergerak, ingin melontarkan seribu satu pertanyaan. Dimanah dia saat ini? Mengapa dia di sini? Siapa pria asing itu? Kalau ini rumah sakit, mana ada rumah sakit yang menggantungkan lampu kristal dalam kamar pasiennya? Atau sebenarnya dia telah terdampar di negara lain?
"Jangan memaksakan dirimu untuk bicara," pinta pria itu, "luka di wajahmu belum sembuh sepenuhnya, gerakan sekecil apa pun akan memperlambat penyembuhan atau malah memperparah keadaanmu."
Saliva pahit lengser di tenggorokan Emely, sang pria kembali merapatkan diri ke sisi Emely. Buku jarinya menyentuh pipinya lagi. Leluasa Emely menjelajahi wajahnya, kulit pucat, hidung tinggi, dan anehnya dia memiliki bibir merah yang jarang ditemukan pada pria perokok. Andai tanpa kaca mata sialan itu, jelas terlihat ia adalah makhluk sempurna."Kau berada di rumahku," ucapnya lagi memberikan jawaban atas pertanyaan Emely, seakan dia menangkap jelas isi pikiran wanita itu. Dia memalingkan wajah ke tirai biru beludru di jendela. "Aku menemukanmu di sini ladang jagung, sebelah lumbung yang hangus menjadi abu. Terpaksa aku membawamu kemari. Ini bukan rumah sakit dan aku bukan Dokter. Kau tidak perlu mengetahui namaku. Awalnya kemungkinan hidupmu sangat kecil, tapi kau lebih kuat dari yang aku bayangkan. Aku harap, kau cepat pulih."
Emely ingin mengangguk, gips di area leher mematahkan niatnya.
"Pejamkan lagi matamu, gadis malang. Besok kau akan merasa lebih baik."
Setelah kembali melihat rupa penolongnya, Emely memejamkan mata, dia dapat merasakan selimut di naikkan, menutupi tubuhnya.
Semua perhatian ini membawanya ke masa lalu, kenanganya bersama Marvin, pria yang paling dia cintai.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝑹𝑬𝑩𝑶𝑹𝑵
De TodoSeharusnya gaun putih, sebuah pernikahan impian bersama sang pujaan. Malang, takdir mengubah haluan. Gaun merah dari tetes darah, kepedihan dari penghianatan. Dunia si manis Emely berubah, sanggupkah dia bangkit kembali dan menghadapi kejamnya kenya...