Bab 3- Mereka Sahabatku

2.7K 146 14
                                    

"Sahabat, bagaimana bisa aku marah padamu, sedangkan kau begitu peduli  pada cacatnya hati ini.
Ku harap kau tak pernah bosan untuk terus menegurku karena hilap dan salahku. Sungguh kau penerang di kala khilafku."
.
..
...

🍁🍁🍁

          Semilir angin menerpa kulit wajahku, terasa hawa dingin mulai menjalar masuk menusuk bagian pori-pori, padahal matahari sudah mulai terbit.

         Sekitar pukul delapan pagi kini aku berada di lantai empat, lebih tepat nya di tempat jemuran, mungkin karena ini tempat jemuran jadi kulit ku merespon pagi ini begitu dingin, karena memang tempat ini lebih lepas terbuka. Ditambah udara masih terasa segar, pohon-pohon hijau masih bertaburan di lingkungan ini.

        Mata yang tidak terlalu bulat ini melihat dua manusia yang setiap harinya amat dekat denganku, mereka tengah sibuk dengan dunianya, dua karakter yang berbeda ini sedang melakukan kegiatan rutinitasnya, menjemur pakaian basah.

"Assalamu'alaikum," salamku setelah mendekat ke arah mereka.

"Wa'alaikumussalam," jawab ke duanya serempak, aku tersenyum melihat mereka kompak.

         Ku lirik empat ember yang terisi penuh pakaian basah yang berjejer di sekeliling mereka, pantas saja wajah mereka menggambarkan kelelahan. Jika begini mana tega aku hanya dengan menontonnya saja, tanpa banyak berpikir kuraih satu pakaian yang berada dalam ember tersebut, berniat ingin membantu.

"Adila, tidak usah! Takut merepotkan. Lagian kamu habis piketkan?! Udah jangan nanti capek!"

"Aduh Andini tidak usah sungkan begitu, tenang saja tenaga aku masih banyak," jawabku semangat meyakinkannya.

        Ada yang ingin ku ceritakan pada mereka. Aku cecelingukkan melihat situasi. Apakah aman untuk bercerita, syukurnya hanya ada aku, Andini, dan Fatma saja.

"Kalian janji, ya? Tidak akan bocor!? Sebenarnya hari ini aku tidak ikut piket karena terlambat. Berhubung aku sangat merindukan Ummi jadi tadi, aku putuskan ingin bertemu dengan Ummi saja di ndalem," tuturku, kali ini agak berbisik takut ada Ustadzah mendengarnya. Pasalnya aku takut dihukum dua kali, kan repot.

"Apa Bu Nyai tidak menghukum kesalahan Lo, seperti santri yang lainnya, Dil?" Celetuk Fatma menatapku seperti mengintimidasi.

        Tunggu! Ummi tidak seperti itu, ia memang mempunyai hati lembut dan penyayang tapi, bukan berarti juga ia harus memanjakanku dengan tidak menghukum ketika aku salah.

"Pagi tadi setelah cukup menasihatiku, Ummi meminta aku menyetrika kan empat baju gamis milik Abi, Ummi bilang itu sebagai hukuman. Alhamdulillahnya sudah aku kerjakan," jelasku santai, Fatma mengangguk dan tersenyum tidak enak.

"Oh begitu, hehe.. Yasudah tunggu apalagi ayo bantu kita menjemur pakaian." Aku pun mulai membantu mereka.

"Sudah tahu kabar hari ini, Dil?" tanya Fatma, memancing obrolan. Namun begitu tangan kami masih ikut bekerja. Aku menggeleng tidak tahu, 'memangnya ada kabar apa? .' -cicitku.

"Coba lihat saja teman Lo ini Dil, senyuman dari bibirnya tidak bisa jika tidak merekah, matanya pun terus bersinar memancarkan cahaya cinta," tutur Fatma membuatku sedikit bingung, kemana arah pembicaraannya.

"Huss, apaansih Fat, wong biasa saja kamu kalau ngomong suka ngawur," --tukas Andini, walaupun ia berbicara demikian sayangnya gerakan tubuhnya tidak bisa membohongi aku dan Fatma. Tingkahnya terlihat sedikit gerogi, namun berusaha bersikap biasa saja. Fatma pun hanya cengngesan menanggapinya.

Hijrah Cinta di Bilik PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang