Bab 8- Bisikan Do'a

3.7K 204 127
                                    

        Masuk dan pintu ditutup. Bola mata yang tengah sibuk meraba isi kamar ini beralih mengintainya, nyaris netra ini tidak mau lepas dari pemilik sarung hijau yang kini juga berada di kamarku. Tadinya sengaja aku pergi ke kamar lebih awal karena mengantuk. Tapi, sampai di sini sorot mataku malah lebih tertarik pada barang-barang milik penghuni baru di kamar ini.

        Kamar yang tadinya monoton karena dihuni oleh orang pemalas sepertiku, kini terlihat lebih kontras karena dipenuhi buku-buku tebal yang tersusun rapih di rak buku. Tidak hanya itu, ada lagi yang membuatku lebih terkesan, saat memeperhatikan dinding atas meja belajar sudah ditempeli white board kecil, di sana ada sejumlah planning yang sudah ditulis menggunakan bahasa inggris tentu membuatku meringis, di sebelah planning ada ruang kosong untuk menulis agenda harian, dan beberapa judul jadwal kegiatan yang belum di isi lainnya.

        Bisa ku pastikan bahwa Kak Aziz adalah orang yang tekun, rajin, dan begitu mengahargai waktu. Salut dong aku sebagai adiknya. Malu rasanya, tingkahku masih amburadul jauh jika dibandingkan dengan Kak Aziz, ini seakan tamparan dari semesta untukku.

       Kini sosoknya sudah memakai baju santai berwana putih polos, celana putih yang tadi dipakai sudah diganti dengan sarung itu lagi. Langkahnya mulai berjalan mendekat, wajahnya yang basah semakin terlihat jelas. Tampan, putih dan wangi. Pasti Kak Aziz akan bernasib sama dengan Gus Khamni, heboh dikalangan santriwati, banyak yang mengaguminya. Hyuuuuhhh. Astaghfirullah. Setelah sekian detik tidak berkedip mataku ditiup, alhasil dibuat berkedip olehnya.

        Sebentar! Izinkan aku bernapas sejenak, keadaan seperti ini membuatku kehilangan pasokan oksigen seketika. Sejak kapan Kak Aziz sudah duduk sedekat ini denganku? Ia tengah menatapku sampai sebegitunya. Ada yang salah kah dengan wajahku? Ku tarik satu tangan kanan untuk meraba ujung bibir, siapa tahu ada sisa makanan tertinggal.

         Cup- Huuaaaah, tolong! Enak saja tanpa babibu, kening yang biasanya hanya Abi laki-laki yang berani mencium, kini Kak Aziz telah mencurinya begitu saja. Sampai ke sekian detik acara mencium kening tidak selesai begitu saja, benda kenyal itu masih menempel di kening dengan lembut. Aku jadi merasa nyaman, sampai tak terasa mataku terpejam, bukan karena merasakan bagaimana tapi, ini karena sudah mengantuk.

"Dek?" Aku terlonjak kaget, eh- ternyata sudah toh nyiumnya.

"Ish, kakak kenapa ndak bilang-bilang dulu kalau mau cium! Lama lagi," tuturku, sambil terus menguap.

        Seperti biasa aku memajukan bibir ke depan lima senti. Gaya andalan seperti ini aku keluarkan ketika sedang kesal. Melihat reaksiku seperti itu, bukannya langsung meminta maaf, dia malah terpingkal-pingkal menertawaiku begitu saja. Walaupun menyebalkan tapi, aku ikut bahagia melihat kak Aziz tidak secanggung sebelumnya. Aku suka kak Aziz yang semanis ini.

"Kak Aziz?" Tawanya terhenti, ia kembali menoleh padaku dengan senyum yang dia punya.

"Hem?"

"Kakak ini benar Kak Aziz, kan?" Kak Aziz tak begeming. Setelah pertanyaan itu terlontar dari mulutku, hening menyerang kami, Kak Aziz juga sudah tak lagi menatapku, ia memalingkan wajahnya. Jujur, aku hanya iseng bertanya seperti itu, tapi kok malah se anyeb ini, ya?

"Kak, bercanda lho," ucapku, pada akhirnya. Aku tidak suka suasana kaku. Untungnya ia kembali tersenyum dan lihatlah dia malah sudah berani mengacak-ngacak atas kepalaku yang masih ditutup hijab, menyebalkan. Ah, aku baru ingat aku belum mengganti baju dan melepas hijab.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 26, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hijrah Cinta di Bilik PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang